27-28 November
Kami tiba di Garut pukul setengah lima sore, jalanan menuju rumah Wak Iyan sudah dipadati oleh orang yang hendak bertakziah.
Di rumah duka, selain kerabat Wak Iyan, juga sudah hadir Om Dudi, adiknya Abah yang tinggal di Bandung dan Om Ade, adik sepupu Abah yang tinggal di Cirebon. Bersama mereka, kami berempat diminta singgah dulu di Rumah Kang Odik, abangnya Wak Iyan.
Menjelang Maghrib kami baru bisa bertemu Teh Mela serta keluarga.Teh Mela tegar sekali. Walaupun matanya sembab, tidak ada lagi air mata yang keluar. Kami menyerahkan barang-barang Wak Iyan berupa sepatu, pakaian dan beberapa cendera mata yang dikumpulkan Wak Iyan selama di Sulawesi. Ada batu, cincin, sarung dan t-shirt pemberian beberapa kawan baik yang kami temui di Sulawesi. Juga jurnal A Iyan, tulisan tangan beliau selama di perjalanan.
Jenazah dimandikan petang itu juga dan disholatkan setelah Sholat Maghrib. Surau penuh hingga shaf terakhir. Tua muda, kecil besar, laki perempuan, semua khusu mendoakan salah satu orang terbaik di kampung ini.
Malam itu kami pamit menginap di rumah Bi Ani. Kami beristirahat dulu setelah melalui hari yang panjang.
Keesokan harinya kami putuskan untuk kembali ke Jakarta. Kami kembali ke Kampung A Iyan untuk berpamitan dan ziarah ke makam beliau.
Kami ke makan diantar oleh A Edi, abangnya Wak Iyan. Memandangi lagi pusara Wak Iyan, teringat lagi perjalanan bersama beliau selama 40 hari terakhir, kami tak kuasa menahan tangis. Orang yang dua hari yang lalu masih ngobrol dan bercengkrama sekarang tinggal pusara. Misteri kehidupan yang tak seorang pun punya jawabannya.

Dari tanah makam yang lokasinya di ketinggian ini kami bisa memandang ke sebagian area desa. A Edi menunjuk sebuah jalan setapak yang membentang melingkari sebagian desa sebagai salah satu karya A Iyan dan teman-teman desanya. Juga tangga menuju makam adalah salah satu hasil sumbangan tangan Wak Iyan. Belum program-program tahunan beliau bersama IMR. Nggak heran begitu banyak warga desa yang ingin mengiringi kepergian beliau tadi malam.
Kami kembali ke Jakarta dengan hati yang masih pilu karena kehilangan namun lega, karena tanggungjawab pada keluarga sudah kami tunaikan yaitu membawa jenazah Wak Iyan kembali ke kampung halaman dan keluarganya.
Tiba di Jakarta kami menginap beberapa hari di rumah Uwan Nur. Rasa kehilangan begitu mencekam dan kami tidak ingin sendiri. Setidaknya di rumah Uwan kami bisa menghadapi kesedihan bersama-sama keluarga besar.
Kami tinggal di Jakarta selama sebulan lebih kemudian. Kebetulan, ada beberapa urusan yang minta diselesaikan. Pada saat bersamaan kami juga melakukan refleksi dari peristiwa kepergian Wak Iyan seperti dipesankan Mas Ilik dan Kak Mella, teman-teman baik kami di Semarang. Memikirkan ulang tentang perjalanan. Mengevaluasi kembali tujuan perjalanan. Merumuskan SOP untuk Hakim dan Sabiya jika hal yang sama terjadi pada kami. Dsb. Dsb.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!