26-27 November
Pagi itu suasana di Lembah Bada segar dan sejuk setelah semalaman diguyur hujan. Ambu dan Abah jalan pagi menyusuri jalanan desa yang datar dan membeli sayur untuk sarapan pagi.
Wak Iyan laporan kalau di belakang Kantor Kecamatan ini ada tumbuhan kangkung yang bisa kita manfaatkan untuk makan siang atau makan malam nanti. Kami bertepuk bahagia membayangkan makan kangkung siang nanti.
Setelah selesai sarapan, Moti lalu bergerak ke pertigaan jalan menuju Patung Palindo tempat kita janjian dengan Pak Beni. Hari ini kita akan ke Situs Suso’ dan beberapa situs lainnya.
Moti diparkir di depan Kantor Taman Nasional. Dari situ kami harus berjalan kaki sekitar 900m melewati area persawahan. Kami memakai sepatu supaya nyaman. Wak Iyan yang biasanya nggak ikut kalo harus jalan kaki, kali ini ikut bersiap memakai sepatunya.
Hari masih belum terlalu terik, kami menyusuri area persawahan sambil ngobrol dan bercanda. Di perjalanan kami melewati kebun coklat dan vanili.Pak Beni sempat singgah di salah satu kebun dan menunjukkan pada kami cara mengawinkan tanaman vanili supaya bisa berbuah. Vanili basah dihargai sekitar 400rb perkg sementara yang kering bisa mencapai 3jt perkg.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, sebelum tiba di kompleks, kami disambut patung pertama yaitu Watumaturu atau Patung Tidur. Bentuknya mirip dengan Palindo, hanya posisinya rebah.

Tidak jauh dari Watumaturu, terhampar lebih dari 10 buah batu besar umumnya berbentuk kalamba, benda megalitik berbentuk seperti drum/tong batu yang berbentuk silinder terpotong. Fungsinya salah satunya sebagai tempat penyimpan jenazah semacam kubur batu. Sama seperti di beberapa daerah lain di Asia Tenggara. Kalamba-kalamba ini ada yang bertutup ada yang tida. Yang bertutup nampak tutupnya sudah berserak pecah di tanah. Dari sekian banyak Kalamba ada juga yang seperti bak mandi dengan lubang dan partisi.

Selain Kalamba, ada juga Dakon, batu dengan lubang-lubang di permukaan datarnya. Lubang-lubang ini merupakan representasi konstelasi bintang dan berfungsi sebagai semacam kalender untuk menentukan waktu tanam dsb.
Ada juga batu seperti Watumaturu, hanya bentuknya lebih kecil. Batu ini asalnya dari sungai kemudian dipindahkan ke sini untuk menghindari kerusakan akibat gerusan air sungai. Memang batu-batu ini kemungkinan besar dibuat di area sungai.
Selesai menyusuri semua batu-batu besar ini, kami kembali ke Kantor Taman Nasional tempat Moti diparkir. Sekitar 100m sebelumnya tampak Wak Iyan berhenti sejenak. Lalu melanjutkan menyusul kami ke Kantor dan ikut duduk. Kami sempat bercanda dan bertanya pada Wak Iyan, “Are you OK, Wak?” Wak Iyan menjawab,”I am very very very…”. Lalu berjalan ke arah Moti, yang tak lama kemudian diikuti oleh Pak Beni yang mau mengambil motornya. Tiba-tiba Pak Beni berteriak panik, “Buuuu… Paaak… supirnya jatuh nii…”. Kontan kami pun berlarian ke arah beliau dan mendapati Wak Iyan sudah terbaring di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.
Abah secara spontan langsung memeluk Wak Iyan dan menyandarkan kepalanya di dadanya sambil menepuk pipinya dan memanggil-manggil. Petugas TN lalu berinisiatif membawakan air minum. Karena masih tak sadarkan diri, air tsb diusap ke wajah Wak Iyan. Tak lama kemudian Wak Iyan seperti menarik napas dua kali sambil mengeluarkan suara seperti ngorok. Wajahnya seketika memutih dan bibirnya membiru. Kami tidak sepenuhnya sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kami lalu memutuskan untuk membawa Wak Iyan ke Puskemas yang jaraknya hanya 2-3 menit saja dari lokasi kejadian. Dengan dibantu petugas Taman Nasional, Wak Iyan kami angkut ke dalam Moti. Seorang petugas memegangi kepala Wak Iyan sementara Ambu melepaskan sepatunya.
Tiba di Puskesmas, Wak Iyan langsung diresusitasi oleh dokter yang sedang bertugas. Detak jantungnya sudah sangat lemah, hampir tidak terdeteksi. Kami mulai menangis dan panik. Abah berkali-kali berusaha menelpon Teh Mela, istri Wak Iyan, namun gagal karena berkali-kali pula yang mengangkat telpon puteranya yang palling kecil, Rasya 3thn.
Setelah diresusitasi dua kali, dokter memanggil kami berdua dan menyampaikan berita kematian Wak Iyan. Wak Iyan dinyatakan sudah meninggal ketika tiba di Puskesmas (death on arrival). Dunia seakan runtuh bagi kami saat itu. Kami berpelukan dan menangis sejadi-jadinya. Kepergian Wak Iyan sangat mendadak. Siapa sangka di tengah lembah ini Wak Iyan pergi selama-lamanya. Bagaimana kami menyampaikan berita ini pada Teh Mela, Adly dan Rasya? Berbagai pikiran berkecamuk, ngapain kami jauh-jauh ke sini? Perjalanan ini dan semuanya menjadi tidak ada artinya ketika kita kehilangan orang terdekat kita.
Petugas Puskesmas lalu memanggil kami untuk menyelesaikan proses administrasi. Kami masih terisak ketika menemui dokter untuk membicarakan masalah formalin dan prosedur pembawaan jenazah kembali ke Garut. Itu satu-satunya yang terpikir saat ini, membawa jenazah kembali ke keluarga supaya mereka bisa memandang wajah Wak Iyan untuk terakhir kali dan menguburkan almarhum di tanah kelahirannya. Rupanya jumlah formalin di Puskesmas ini tidak mencukupi dan jenazah Wak Iyan baru akan diformalin di Tentena.
Waktu berjalan seperti mimpi. Dengan sinyal kembang kempis, Ambu berusaha menghubungi keluarga di Jakarta; Ibu Vay, Wan Nur dan Nenek. Semua berduka. Sementara Abah belum berhasil juga menghubungi Teh Mela. Akhirnya diutus keluarga dari Garut yaitu Bu Ani, untuk menyampaikan secara khusus berita ini ke Teh Mela.
Orang-orang mulai berdatangan ke Puskesmas. Ada polisi yang mengurus surat kematian. Ada ketua mesjid yang datang menawari untuk memandikan dan mengganti pakaian beliau. Jenazah Wak Iyan dibersihkan saja, karena proses sholat dan mengkafankan akan dilakukan di Garut dengan keluarganya nanti.
Kami lalu menghubungi Mas Herry untuk minta dicarikan info mengenai formalin dan prosedur pengiriman jenazah melalui Poso atau Palu. Lalu Mas Herry mengusulkan untuk menghubungi Mas Wawan di Poso. Mas Wawan lalu mencarikan informasi dan memberi satu nomor telpon perusahaan kasket di Palu. Semua informasi dengan mudah terkumpul, alhamdulillah.
Tiba waktunya berangkat. Diputuskan jenazah akan dibawa dengan ambulans. Ambu dan Sabiya akan mendampingi Abah membawa Moti. Hakim mendampingi jenazah Wak Iyan di ambulans. Kami lalu berpamitan pada semua, termasuk pada Pak Beni dan sekali lagi kami menangis sambil berpelukan. Pak Beni menolak bayaran jasa beliau mengantar kami dan minta upahnya diberikan saja pada keluarga Wak Iyan.
Sekitar pukul 2 kami keluar dari Lembah Bada setelah sebelumnya singgah di Kantor Polisi untuk melapor. Beberapa ibu yang berjualan di Kantor Kecamatan dan sempat ketemu Wak Iyan sempat mendatangi kami dan menyampaikan bela sungkawa.
Setelah berkali-kali berusaha, akhirnya 2,5 jam setelah kejadian, kami bisa bicara langsung dengan Teh Mela yang sudah dapat kabar duluan dari keluarga Abah yang datang langsung ke rumahnya. Walaupun sempat dikabarkan drop, kondisi Teh Mela sudah sangat tenang ketika berbicara dengan kami. Teh Mela menerima dengan ikhlas kepergian Wak Iyan dan menanti kedatangan jenazah di Garut.
Perjalanan menuju Tentena didampingi oleh Pak Sekretaris Camat yang menggunakan motor. Kondisi jalan yang rusak parah di beberapa ruas dan Moti yang lambat, maka diputuskan ambulans dan Pak Sekcam berjalan duluan supaya jenazah bisa segera diformalin.
Di perjalanan pihak kasket sms dan meminta kami untuk menggunakan peti mati khusus sebagai syarat untuk penerbangan. Peti mati khusus ini dilengkapi kerangka besi dan ketentuan lainnya. Karena sinyal sudah tidak memungkinkan untuk telepon, kami sms Mas Herry dan menyampaikan pesan pihak kasket mengenai peti. Tak lama sinyal hilang total, komunikasi terputus tidak bisa dilanjutkan.
Sambil nyupir, Abah tidak henti menangis di perjalanan. Ambu berkali-kali menenangkan dan mengingatkan karena jalanan sudah mulai gelap dan di kanan jalan tebing curam menganga.
Sekitar pukul 7 malam, Moti baru tiba di Tentena. Alhamdulilah jenazah sudah diformalin. Hakim, Mas Herry dan Pak Sekcam yang mengurus semuanya. Terlihat tulisan tangan dan tanda tangan Hakim diformulir ketika kami akan membayar.
Alhamdulilah walaupun komunikasi terputus, Mas Herry sempat menerima sms kami dan sudah menyiapkan semuanya dari mulai peti mati layak terbang, ambulans serta avanza untuk kami berempat berangkat ke Palu. Setelah selesai proses admistrasi di Rumah Sakit Tentena, kami berangkat ke rumah Mas Herry untuk bersiap dan menitipkan Moti.
Tinggal satu lagi yang belum selesai yaitu tiket pesawat kami berempat. Komunikasi dan sinyal internet baru tersambung kembali ketika kami tiba di Tentena, 4 jam setelah komunikasi terakhir. Tiket pesawat dengan penerbangan bersama jenazah sisa 2 kursi, itupun kelas bisnis. Pesawat lainnya baru tiba siang atau sore hari di Bandara Soeta karena transit dulu di Makassar.
Abah lalu menelpon seseorang yang dikenalnya sewaktu bertugas sebagai wartawan di Malaysia. Beliau adalah Dubes RI di Malaysia dan orang nomor satu di Lion Air yaitu Pak Rusdi Kirana. Setelah bertanya kabar sejenak, Abah menyampaikan maksudnya dan Pak Rusdi langsung memberikan solusi berupa penukaran pesawat, dari yang tadinya Airbus menjadi Boeing. Sehingga ada selisih 6 kursi yang bisa kami tempati. Pak Rusdi juga memesankan tiket kami dan mengirim reservasinya melalui WA, kami tinggal membayarnya di loket ketika tiba di Bandara Palu nanti. Alhamdulilah. Tiket selesai.
Kami membersihkan badan, packing dan beres-beres si Moti yang akan kami tinggal entah untuk berapa lama di rumah Mas Herry di Tentena.
Perjalanan ke Palu baru dimulai pukul setengah dua belas malam. Menurut google map, perjalanan seharusnya memakan waktu sekitar 7 hingga 8 jam. Pihak kasket sebetulnya ragu kami bisa sampai tepat waktu. Jadwal pesawat pukul 7. Sementara jenazah harus tiba 3 jam sebelum pesawat berangkat, artinya jenazah harus sudah tiba pukul 4 pagi. Artinya lagi kami hanya punya waktu 5 jam untuk sampai di Palu.
Alhamdulilah, supir ambulans dan supir kendaraan yang kami tumpangi sangat terlatih. Walaupun di tengah jalan sempat turun hujan dan kempes ban, kami tiba di bandara Palu pukul 4 dini hari atau 3,5 jam lebih awal dari perkiraan di google map. Mungkin karena Allah sayang dengan Wak Iyan, perjalanannya lancar dan dimudahkan.
Setelah mengantar jenazah Wak Iyan ke perusahaan cargo dan membayar ongkosnya, kami didrop di bandara. Tiket yang dibookingkan Pak Rusdi Kirana kami bayar di loket bandara tanpa masalah.
Kami boarding tepat waktu. Tiba di cabin, suasana sedikit chaos karena kursi beberapa penumpang termasuk kami, sudah ditempati penumpang lain. Kami diminta berdiri di bagian belakang pesawat dulu untuk menunggu petugas mengatur kursi. Sambil menunggu, pramugari meminta maaf pada kami dan mengatakan bahwa semalam pesawat ditukar yang menyebabkan kekacauan kecil ini terjadi. Kami berempat diam menutup mulut rapat-rapat sambil memandang dinding.
Pesawat landing di Bandara Soeta tepat waktu. Uwan Nur dan Om Paat, tante dan sepupu Ambu menjemput kami di bandara. Ambulans yang akan membawa Wak Iyan ke Garut juga sudah stand by. Proses pengambilan jenazah di cargo memakan waktu sekitar 1,5 jam. Pukul setengah 12 siang kami meluncur beriringan ambulans keluar dari bandara menuju Garut.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!