26 April

Pagi ini cerah sekali. Semalaman kami parkir dan istirahat dengan nyenyak di halaman KBRI Dilli. Sinar matahari menembus celah pepohonan yang rapih berjajar di area terelit di Kota Dilli ini. Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia bertetangga dengan kediaman Presiden dan Perdana Mentri Timor Leste. Bangunan-bangunan megah, diantaranya bergaya khas arsitektur Portugal tertata apik dengan jalan-jalannya yang lebar dan bersih. Bagian sebelah barat kompleks dibatasi Avenida Portugal, sebuah ruas jalan dilengkapi dengan pedestrian yang lebar dan bersisian dengan Laut Sabu. Tampak beberapa warga Dilli melakukan olahraga pagi sambil menghirup udara yang masih bersih.Pagi itu Pak Dubes TL dan beberap atase sempat singga, ngobrol-ngobrol dengan kami dan tentu saja lihat-lihat si moti.Hari ini kami akan ke salah satu museum di Kota Dilli yaitu Timorese Resistance Archive and Museum atau Museum Perlawanan Rakyat Timor. Museum tentang perlawanan Rakyat Tmor Leste terhadap Indonesia.Museum ini bertempat di Gedung Pengadilan Timor Leste yang sempat dbakar pada kerusuhan tahun 1999. Kemudian dibangun kembali dan dibuka pada tahun 2005 dengan bantuan dari luar negri.Dalam museum ini dipamerkan kisah dan artefak-artefak bukti perlawanan rakyat Timor Leste selama di bawah kekuasaan Indonesia. Disajikan juga film dokumenter Peristiwa Liquiça, menampilkan adegan-adegan nyata tanpa sensor sama sekali, agak horor😰. Tentu saja fakta-fakta yang disajikan adalah fakta versi Timor Leste yang belum tentu sama dengan versi Indonesia.Setelah berkeliling di lantai 1, kami naik ke lantai 2 yang ternyata relatif kosong. Di ruangan ini kami bertemu dengan beberapa orang Bapak-bapak yang sedang santai mengobrol. Kami ditawari untuk duduk bersama dan kami pun lalu diajak ngobrol.Rupanya beliau-beliau ini adalah mantan aktivis mahasiswa anti integrasi. Seorang dari mereka, yang bernama Pak Timor Berre kalau tidak salah, mengaku sebagai pelaku utama di Peristiwa Dresden. Sebuah peristiwa yang sempat menjadi headline di mana Pak Harto ‘dikeplak’ kepalanya dengan gulungan koran hingga kopiahnya terjatuh.Kami berbincang santai layaknya kawan, tidak ada permusuhan atau kata-kata menyakitkan yang keluar. Kami membahas kondisi Indonesia dan Timor Leste hari ini. Bahwa apapun kondisi rakyat Timor Leste hari ini, menjadi merdeka adalah hal terpenting yang tidak rela mereka tukar dengan apapun sekalipun kemakmuran.Selesai dari museum, perut sudah lapar. Kami mencari restoran dan nampak Restoran Burger Waralaba yang sudah akrab di Tanah Air. Kita putuskan untuk parkir dan membeli makanan di situ. Apa daya, credit card Ambu yang tidak bernomor pin tidak bisa digunakan. Sementara persediaan uang dolar sudah menipis. Seorang pengunjung yang iba melihat kami gagal makan menyarankan untuk mengambil uang di Bank Mandiri tidak jauh dari restoran. Kami sudah kadung tidak semangat. Kami putuskan mencari makanan di tempat lain.Pilihan jatuh pada Jalan Alor. Tenpat kami sarapan pagi tadi. Kami pergi ke restoran yang sama, lalu memesan 4 porsi ayam penyet. Harga per porsi 2.5USD, sekitar 45ribu rupiah, hampir 2x lipat harga makanan yang sama di Kota Kupang.Selesai makan, kami menunaikan sholat Dzuhur di Mesjid An Nur tempat Moti diparkir.Selesai sholat kami bertemu dengan takmir mesjid yang ternyata dulu pernah kuliah di Bandung. Beliau bahkan mengucap dua syahadatnya dengan bimbingan Ustadz Miftah Farid. Kami ngobrol macam-macam temasuk soal regenerasi Muslim di Dilli. Dewan Mesjid mengirim beberapa putra-putri muslim Timor Leste untuk belajar di pesantren-pesantren di Indonesia. Sayang, santri-santri ini seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan Visa Pelajar. Kami berjanji untuk membicarakan issue ini pada instansi terkait.Populasi muslim Timor Leste berjumlah sekitar 45,000 atau 1,6% dari total jumlah penduduk. Mari Alkatiri, perdana menteri pertama Timor Leste adalah seorang muslim. Selain Mesjid An Nur di Campo (Kampung) Alor-Dili, ada dua mesjid lagi di Timor Leste masing-masing di Likisa dan Baucau.Konon Islam di sebarkan ke Timor Leste oleh muslim dari Maluku dan Ternate pada abad 15. Ustadz takmir cerita bahwa beliau pernah menemukan mushaf Al Quran di pelosok-pelosok Timor Leste yang masih menganut animisme. Mushaf ini dikeramatkan, disembah dan disimpan di tempat ibadahnya. Lembaran Al Quran dengan tulisan tangan ini umumnya terbuat dari kulit kayu dan berusia lebih dari lima ratus tahun. Mungkin dari para penyebar Islam itulah mushaf-mushaf tadi berasal.

Sore itu kami berniat menyambut matahari tenggelam di Patung Cristo Rei of Dili. Ikon Kota Dilli menjulang setinggi 27m dan merupakan hadiah dari Pemerintah Orde Baru kepada Pemerintah Timor Leste pada tahun 1996.

Malam harinya Ibu Flo datang lagi, kali ini suaminya, Pak Max menyusul. Obrolan dan suasana di Moti jadi meriah sekali malam itu.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *