23 Desember
Pagi-pagi sekali kami sudah dijemput oleh Mas Robin. Lalu diajak ke Desa Langgongsari, desa Agrowisata tidak jauh dari Purwokerto. Di situlah untuk pertama kalinya kami melihat pohon durian bawor. Di kebun ini, buahnya lebat dan dibiarkan menggantung hingga menyentuh tanah.
Sebetulnya lahan yang dipakai kebun durian ini adalah lahan milik desa. Lalu pada tahun 2015 atas prakarsa Kepala Desanya Pak Rasim, dikembangkan menjadi lahan agrowisata menggunakan Dana BUMDes. Bersinergi dengan pesantren yang bersebelahan, di tanah seluas 5 hektar ini, selain ditanami Durian Bawor, ada juga peternakan sapi, kambing, kolam mujair dan pembuatan gula aren. Tampak lubang-lubang sumur resapan air di sana sini. Selain pemanfaatan yang keren, usaha ini juga mengkaryakan para lanjut usia untuk menjaga duren-duren tersebut dan digaji. Hasil perkebunan ini dimanfaatkan untuk pembangunan desa. Ini salah satu contoh pemanfaatan dana BUMDes yang super keren.
Setelah sarapan soto, kami beranjak menemui keluarga Kang Tedja dan Kang Ronny yang sudah menunggu di Kemranjen yang memang sudah janjian jauh-jauh hari untuk berburu durian bersama di Banyumas. Begitu kami tiba, prosesi belah durian pun dimulai.
Selain durian bawor, kami juga menikmati durian musang king. Kualitas dan rasa baik durian bawor maupun musang king masih dibawah ekspektasi. Sebagai penggemar durian dan pemrakarsa acara, Kang Tedja tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Maklum beliau jauh-jauh bersama Mbak Iwed naik moge dari Bogor. Lalu kami berkunjung ke Pusat Durian Sarno beramai-ramai dengan motorhome. Ber-12 kami berdesakan didalamnya. Seneng aja, karena kami bercanda dan tertawa-tawa sepanjang jalan.
Pak Sarno inilah penemu Durian Bawor. Nama lengkapnya Sarno Ahmad Darsono, seorang guru sekolah dasar di Alas Malang, Kemranjen, Banyumas. Sejak kecil beliau diajak bapaknya berkelana hingga ke pelosok desa untuk mencari durian. Cukup dengan melihat bijinya, beliau sudah tahu jenis duriannya.
Pak Sarno melihat rata-rata durian pohonnya sangat tinggi dengan buah tak begitu besar. Maka beliau memadukan 20 jenis durian lokal dengan teknik okulasi. Waktu tunggu durian hingga berbuah biasanya delapan tahun, ia obsesikan menjadi tiga hingga empat tahun. Akhir tahun 2000, pohon hasil percobaannya sudah menghasilkan 30-40 buah durian oranye yang berbeda dari aslinya. Kulitnya tiis, daging lebih tebal, warna daging buah lebih merah seperti durian kuningmas, rasa lebih puket, dan beralkohol seperti durian petruk. Ukurannya sebesar durian kumbakarna dengan berat bisa lebih dari 12 kilogram. Keistimewaan lainnya dari Durian Bawor adalah pohon berbunga dan berbuah sepanjang tahun sementara durian pada umunya hanya sekali dalam setahun.
Nama Bawor adalah sebutan bagi sosok punakawan Bagong, adik dari Petruk. Nama Petruk sendiri sudah ngetop sebagai durian lokal asal Jepara. Nama-nama ini adalah representasi nama rakyat sebagai ‘perlawanan’ nama bangsawan.
Di pusat Durian Sarno, kondisinya tidak jauh berbeda. Rasa dan kualitasnya dirasakan masih kalah dari durian musang king di negara tetangga. Usut punya usut kemungkinan penyebabnya adalah karena durian-durian tsb sudah dipetik sebelum waktunya, tidak matang pohon. Kemungkinan karena harganya yang tinggi, faktor keamanan menjadi penyebabnya.
Setelah makan siang, kami pun berpisah. Sebuah janji bertemu pun kembali tercetus. Pencegatan yang membahagiakan. Kata Mbak Oki dan Mbak Iwed, duriannya nggak penting, yang penting itu kumpul-kumpul dan ngakak-ngakaknya😘😄.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!