9-10 Maret

Kerangka rumah semi permanen kedua sudah berdiri, maka kami pamit sebentar untuk mengeksplor Lombok.

Kami keluar dari Teluk Nara sekitar pukul 10 pagi, tidak ke arah Mataram, tetapi ke Utara menuju perhentian pertama yaitu Desa Sajang di lereng Rinjani.

Bagi Ambu ini adalah kedua kalinya mengunjungi kaki Rinjani. Sebelumnya, tahun 2001 Ambu pernah bertualang sendiri di Lombok dan sempat naik gunung Rinjani sampai ke Plawangan.

Desa Sajang yang kami kunjungi ini terkena gempa dua kali, yang pertama tanggal 29 Juli’18, lalu yang kedua tanggal 5 Agustus’18. Gempa kedua yang berkekuatan 7Mw, dirasakan di seluruh Lombok hingga ke pulau-pulau di sekitarnya.
Suasana di Desa Sajang makin mencekam ketika gempa kedua meruntuhkan sebagian Gunung Sangkareang di Barat Laut Gunung Rinjani dan menimbulkan gemuruh yang keras.
Satu setengah bulan kemudian, gempa melanda Palu Donggala. Seluruh penduduk Desa Sajang mengumpulkan uang dan mengirimnya ke Palu.

Di Sajang kami bertemu Mas Amil kenalannya Mas Olan. Mas Amil dan 1260 kawannya yang tersebar di beberapa desa di kaki Gunung Rinjani berprofesi sebagai guide dan porter untuk pendakian. Sejak gempa melanda Agustus lalu, sudah 8 bulan jalur pendakian Rinjani ditutup. Dampaknya terasa oleh penduduk sekitar yang mencari penghasilan dari pendakian.

Kami diajak keliling desa dan diperkenalkan dengan Pak RT setempat. Kami ngobrol panjang mengenai gempa dan adat budaya masyarakat Sajang. Walau diguncang gempa 2x, ternyata tidak semua rumah hancur oleh gempa. Ada semacam ‘urat’ atau jalur tertentu yang dilalui gempa. Rumah yang terkena, selain dindingnya hancur, lantainya seperti ditumbuk dari bawah, hancur berkeping. Sementara yang tidak terkena, hanya retak rambut saja. Pak RT juga bercerita soal pemangku atau kuncen Gunung Rinjani. Bagi siapapun yang hendak naik gunung dari jalur ini, hendaknya meminta ‘restu’ dari beliau. Perbaikan rumah di area ini juga kelihatannya lebih lancar dibanding di daerah lain, Teluk Nara misalnya. Penduduk diberi pilihan untuk jenis rumah yang diinginkan, apakah tembok atau kayu. Beberapa rumah nampak sudah berdiri dan siap ditempati.

Pagi harinya sudah ada 4 motor lengkap dengan pengemudinya, siap mengantar kami untuk mengeksplor Sajang dan Sembalun.

Point pertama, Pemantauan namanya. Sebetulnya ini adalah kebun milik ‘Abah’, seorang saudagar kaya keturunan Arab dari Mataram. Tanahnya luaaaaas sekali. Sebagian ditanami pohon buah, sebagian lagi dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk bercocok tanam sayuran. Tepat di bagian tanah yang menghadap Gunung Rinjani, tersapat sebuah villa tua yang terbengkalai karena Abah dan anak-anaknya sudah tidak pernah lagi datang, sayang sekali.

Dari Pemantauan kami lalu ke Bukit Selong di Sembalun. Sebelum naik bukit, kami sempat singgah di desa tradisional yang konon tempat asal muasal penduduk Sembalun yang sekarang jumlahnya ribuan.

Sembalun bukan hanya untuk pendaki gunung. Selain udara sejuk yang bikin betah, ada banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi. Selain Bukit Selong dan desa tradisional ada juga Bukit Pergasingan dan bukit-bukit lain di kaki Rinjani, air terjun, hutan bambu, perkebunan kopi dan buah, agrowisata dll.

Oh ya, kopi di sini juga ternyata istimewa lho. Ditanam di kaki Rinjani, di ketinggian 1300mdpl. Sudah memiliki sertifikat organik: tidak berpestisida, tidak berpupuk dan bahan kimia lain, baik dalam proses pemetikan, setelah panen dan pengepakan.

Dari lereng Gunung Rinjani, kami pamit pada keluarga Mas Amil untuk menuju ke Selatan, ke pantai Kute.

Kami tiba di Kute sudah malam dan memutuskan untuk menginap di hotel.

6 Maret

Besok adalah Hari Raya Besar umat Hindu yaitu Nyepi. Sebagai prelude, hari ini Ogoh-ogoh akan diarak di kota untuk kemudian dibakar. Maka pagi ini, mendadak kita berencana melihat pawai Ogoh-ogoh di Mataram. Karena dadakan dan tidak bersiap sejak awal, hampir pukul 11 siang kami baru keluar dari Teluk Nara. Sampai di Mataram hujan turun deras. Semangat melihat Ogoh-ogoh bertransformasi menjadi semangat makan bakso😅.

Setelah kenyang makan bakso, semangat melihat Ogoh-ogoh bukannya semakin kuat malah makin ciut. Akhirnya kami malah ke Epicentrum, mall kekinian di jantung Mataram. Hakim dan Sabiya tadinya mau lihat How To Train Your Dragon 3, tapi ternyata sudah turun. Akhirnya kita putar-putar sebentar memuaskan dahaga akan suasana mall😆 lalu pulang kembali ke Teluk Nara yang damai.

5 Maret

Hari ini Hakim dengan adiknya main ke pulau ikut dengan Om Olan. Setelah urusannya selesai, Om Olan kembali ke mainland dan anak-anak ditinggal. Seharian mereka keliling pulau berdua saja. Lalu pulang sendiri ke main land tanpa dijemput; menunggu kapal lalu naik dan pulang ke desa tempat kami tinggal.

Di pulau, mereka belajar berkomunikasi dengan orang baru, mencari makan siang yang sesuai budget dan mengeksplorasi pulau. Hakim juga belajar menukar uang asing di money changer. Di salah satu sudut pulau, mereka menemukan Pulau Bali dan mengamati Gunung Agung di kejauhan.

Selain materi bersifat akademis, keterampilan hidup melalui petualangan seperti ini adalah target belajar kami. Dalam konteks fitrah Elighthening Parentingnya Mbak Okinaf , fitrah yang diasah melalui pengalaman kemarin adalah fitrah bertanggungjawab, interaksi dan bertahan hidup.

Lalu bagaimana mereka bisa dilepas di pulau sendirian? Kami pakai satu tools ampuh dari EP yaitu briefing dan role playing. Kami ngobrol panjang pada malam keberangkatan. Dari mulai hal yang sifatnya prosedural seperti keberangkatan, kepulangan (waktu, tempat, biaya). Lalu ‘how to’ seperti dealing with strangers, getting lunch (area dan budget). Juga things to see and learn, what to expect, do’s and don’ts dll.

Ngomong-ngomong homeschooling nya Hakim dan Sabiya, untuk materi akademis, selain belajar sejarah, geografi, budaya melalui hal-hal yang ditemui di perjalanan, Hakim dan Sabiya juga belajar Matematika, Bahasa Inggris dan IPA memakai materi di internet dan punya target mingguan.
Untuk merekam perjalanan, Hakim menulis cerita perjalanan versinya sendiri dan Sabiya membuat scrapbook dan cerita dari memorabilia yang dikumpulkan sepanjang perjalanan.

3-4 Mar

Masih ingat PC kita yang jatuh ketika dalam perjalanan pulang dari Sawarna tempo hari. Walaupun sudah dibawa ke ‘dokter‘ dan dinyatakan OK, ternyata setelah 3 bulan, rusak juga.

Kami bawa ke Mataram untuk dibawa ke service center. Ternyata service center tidak bisa menangani dengan dua alasan, pertama, PC kami jenis all in one, mereka tidak punya resource yang bisa memperbaiki. Kedua karena PC kami dibeli di Malaysia. Apa hubungannya?😏

Setelah berkonsultasi dengan Kang Alfi, akhirnya diputuskan PC dikirimkan ke Depok, ke bengkelnya Kang Alfi.

Lion Parcel dipilih dengan pertimbangan biayanya akan lebih murah. Biaya total dengan packaging kayu sebesar Rp 511,000,-. PC diharapkan sampai 3-5 hari kemudian. Hitung-hitung sambil menunggu pembangunan rumah semi permanen berikutnya.

2 Maret

Rumah semi permanen pertama sudah selesai. Pekerjaan sudah tidak terlalu banyak. Hakim minta ijin untuk snorkeling sendiri ke Gili Trawangan. Rupanya kunjungan sekeluarga ke Gili Trawangan tempo hari, berkesan buatnya.

Malam sebelum berangkat Hakim dibriefing how to, do’s and don’ts. Paginya Hakim bangun dan sarapan lebih awal untuk ikut Om Olan yang akan ke Trawangan pagi itu. Rencananya setelah sampai di pulau, Hakim akan ikut Bang Mail yang juga jadi guide snorkeling kami tempo hari. Hakim akan snorkeling di Tiga Gili, makan siang lalu pulang kembali sendiri ke mainland. Hakim akan pulang menumpang kapalnya Sama-sama Bar, lalu jalan sendiri ke Teluk Nara.

Sore sekitar pukul 4, Hakim sudah kembali di rumah. Walaupun badannya demam, Hakim bercerita dengan antusias tentang apa yang dialaminya hari itu. Selain belajar free dive dengan Bang Mail, Hakim cerita bagaimana dia berhasil menyentuh kepala penyu dan free dive sambil menyentuh dasar patung di Gili Meno. Hakim juga cerita tentang teman snorkelingnya yang semua perempuan, dua diantaranya dari Malaysia dan ngobrol panjang dengan Hakim.

21 Februari

Selama beberapa hari pertama di Lombok, kami diajak Om Olan berkeliling ke daerah-daerah paling parah terkena gempa.

Pada 5 Agustus 2018, pukul 19:46 WITA, sebuah gempa darat berkekuatan 7 Mw melanda Pulau Lombok, Indonesia. Pusat gempa berada di 18 km barat laut Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dengan kedalaman 32 km. Gempa bumi ini merupakan gempa utama dari rangkaian gempa bumi di Pulau Lombok sejak gempa awalan 6,4 Mw akhir Juli’18. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melansir peringatan terjadinya tsunami akibat gempa ini. Sebanyak 390 tewas, 1.447+ luka-luka, 67.875 rumah rusak, 468 sekolah rusak dan 352.793 orang mengungsi.

Bangunan runtuh serta tenda dan sekolah darurat masih nampak dimana-mana.

Ambu lalu berkomunikasi dengan Tante Okina dan menjajagi kemungkinan IMR membantu satu atau dua korban gempa untuk dibangunkan hunian sementara. Dari hasil diskusi disepakati untuk membuat rumah semi permanen bagi dua keluarga. Keluarga pertama adalah Keluarga Bayi Luthfi/Pak Medi yang berprofesi sebagai buruh dan tinggal di rumah bersama istri, dua anak dan ibunya yang berusia 75 tahun. Rumah kedua milik Ibu Mar. Beliau memiliki beberapa putra angkat yang diasuh layaknya putranya sendiri.

Dengan dieksekusinya projek ini, maka kami putuskan untuk tinggal lebih lama di Lombok sambil mengawasi proses pembangunan sebagai bentuk tanggungjawab.

Abah turut membantu proses pengerjaan rumah semi permanen.

Rumah yang dibangun seluas 5×6 m. Dengan RAB seperti berikut

17 Februari

Sebelum berangkat snorkeling, kami sarapan di pasar dulu di warung langganan Om Olan, Warung Bu Dewi. Sambil makan kita mendengarkan cerita Bu Dewi ketika gempa Agustus lalu menimpa Lombok.

Kita berangkat snorkeling bersama 3 remaja turis dari Brazil dan diguide-i oleh Bang Mail, kawan Om Olan. Bang Mail berperawakan kurus, berambut ikal dan panjang. Aksen bahasa Inggrisnya rasta banget. Hakim langsung akrab dengan beliau.

Spot pertama yang akan dikunjungi adalah patung bawah laut di Gili Meno. Berupa 48 patung yang membentuk for

masi melingkar. Patung ini juga merupakan upaya untuk pengembangbiakan terumbu karang.

Foto asli dan cerita lengkap bisa dilihat di sini.

Spot kedua berdekatan dengan spot pertama, di sini kita bisa melihat penyu hijau. Ada beberapa penyu di sini, walau tidak besar-besar seperti di Derawan, di sini penyunya jinak-jinak. Apa jangan-jangan emang penyu nggak takut manusia ya?

Dari spot kedua, kapal kemudian menepi ke Gili Air untuk makan siang. Kami makan di kapal saja karena sudah membawa bekal nasi bungkus dari Warung Dewi tadi pagi. Setelah makan, kita turun sebentar melihat suasana di Gili Air. Situasi di Gili Air berbeda jauh dengan Gili Trawangan. Di sini, jalanan masih relatif lengang. Suasana kampung nelayan masih terasa walaupun ada turis.

Di tempat ketiga kita berenang-renang aja karena terumbu dan ikannya tidak terlalu banyak. Para remaja Brazil bergantian berlompatan dari atap kapal.

Pukul 2 kita sudah sampai lagi di Sama-sama. Pengurus penginapan memberikan kelonggaran dan memberi kami kesempatan untuk bilas dan memakai kamar hingga sore ini. Terimakasih Penginapan Sama-sama.

Kami pulang kembali ke mainland menumpang kapal milik Sama-sama (juga) dan dijemput oleh Dabil. Tiba di workshop perut sudah keroncongan minta diisi. Ini sudah hari ke-3 di Lombok, tiba waktunya mencari makanan kesukaan Hakim: Ayam Taliwang. Karena di Pamenang (pusat keramaian terdekat) Ayam Taliwang tidak ada, maka diputuskan untuk ke Mataram saja. Kita iya’in aja, tanpa menyadari kalo untuk ukuran Lombok, Mataram itu jauuh dari Teluk Nara, hampir 1 jam! Kenapa ukuran Lombok? Karena tanpa macet dan kecepatan dipacu di atas 80m/jam. Besok-besok nggak pernah lagi kita berani-berani ke Mataram malam-malam, jauh bo!

16 Februari

Kami pamit pagi ini pada Om Yuli dan santri-santrinya untuk melanjutkan petualangan di Lombok.

Perburuan pertama : sarapan. Setelah mengisi perut di sebuah warteg, tanpa rencana jelas, truk diarahkan ke Sengggi. Melihat pantai biru, kami pun minggir dan duduk-duduk sambil menikmati udara pagi.

Tak lama sebuah vespa minggir. Pengemudinya turun lalu menyapa Abah. Rupanya beliau pernah melihat mobil kami di YouTube. Kenalan lah kita. Di sinilah petualangan panjang kami di Lombok, bermula. Mas Olan bekerja untuk Reggae Bar di Gili Terawangan, beliau mengolah sampah menjadi barang-barang yang berguna. Di workshopnya botol-botol kaca, plastik, kaleng diubah menjadi gelas, meja, lukisan dll. Kerennya Mas Olan melibatkan penduduk sekitar dalam proses recycling ini. Kami pun ditawari untuk mengunjungi workshop.

Di tengah jalan Mas Olan memberitahu kalau bannya kempes. Kami lalu menunggu beliau di Pantai Melaka. Tak lama Mas Olan datang bersama adiknya, Dabil. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke workshop.

Tiba di workshop, kami berkenalan dengan Bangkit dan 2 kawannya yang baru tiba dari Jakarta. Kami lalu disuguhi makan siang ikan bakar dan plecing kangkung yang memang sudah dicari semenjak tiba di pulau seribu pantai ini. Nikmatnya tiada tara.

Sorenya kita berangkat ke Gili Trawangan ditemani Om Olan, Bangkit dan dua kawannya, dengan kapal penumpang. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit. Kami tiba di pelabuhan yang berdekatan dengan Reggae Bar Sama-sama. Kebetulan pemiliknya, Pak Bro, sedang duduk-duduk di depan. Kami lalu singgah dan ngobrol-ngobrol di tepi jalan.

Jalan satu-satunya di Trawangan ini padat dan ramai oleh turis yang lalu lalang, sebagian besar bule. Orang lokal hanya satu dua saja yang nampak. Sekilas, kita tidak merasa sedang di Lombok.

Oleh Pak Bro kami ditawari untuk menginap di Penginapan Sama-sama dengan harga spesial. Penginapannya terletak di belakang bar. Lelah oleh aktivitas seharian membuat kami lelap tidur tanpa terganggu suara bar yang semakin ramai menjelang tengah malam.

15 Februari

Akhirnya tiba juga hari kami meninggalkan Bali. Pagi ini kami sudah di Pesantren Bali Bina Insani untuk sama-sama dengan santri sini nyebrang ke Lombok. Kebetulan adik-adik santri ini akan ikut lomba Pramuka di Pesantren Haramayn di Narmada Lombok.

Setelah persiapan selesai, bismillah, kami pun berangkat ke Pelabuhan Padang Bai. Rombongan sempat berhenti sebentar di sebuah SPBU dekat pelabuhan untuk mengambil peralatan yang belum terangkut.

Kira-kira pukul 10 kami tiba di pelabuhan. Kendaraan yang mengantar sebagian santri dan peralatannya akan kembali ke Tabanan. Maka seluruh barang diangkut ke truk untuk memudahkan ketika penyebrangan nanti. Mulai dari tenda sampai barang bantuan buat korban gempa Lombok masuk ke truk. Ruang toilet pun penuh terisi. Setelah barang masuk truk, kami pun siap untuk naik kapal. Rombongan santri dan Om Yuli jalan duluan masuk ke kapal, kami menyusul di belakangnya. Alhamdulilah penyebrangan selama 4 jam berjalan lancar. Menjelang sore, kami tiba di Lembar.

Pesantren Haramayn mengirimkan satu kendaraan untuk mengangkut barang. Maka sebagian barang diturunkan supaya ada ruang kosong untuk mengangkut santri.

Hari sudah gelap ketika kami tiba di Haramayn. Hujan turun tidak berhenti sejak di pelabuhan tadi. Rombongan yang naik pick up kuyup kehujanan.

Suasana di Pesantren Haramayn sebagai penyelenggara lomba, sudah gegap gempita oleh persiapan. Sebuah panggung pusat aktivitas sudah berdiri. Berbagai spanduk dan atribut pramuka nampak di sana sini menyambut peserta yang mulai berdatangan. Suara musik Islami dari pengeras suara silih berganti dengan pengumuman dalam bahasa Inggris, heboh dan meriah.

Setelah sholat Maghrib kami keluar sebentar mencari makan, tidak banyak pilihannya. Yang penting perut kenyang dan kami bisa tidur nyenyak malam ini setelah hari yang cukup melelahkan.

14 Februari

Rencana akan berangkat lepas Subuh, tinggal rencana. Seperti biasa, Tante Lela istri Om Yuli, sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Terimakasih ya Tante Om🤗. Hampir pukul 8 kami baru keluar dari Tabanan menuju Denpasar.

Tiba di Dishub Denpasar, antrian sudah mengular tapi tidak terlalu crowded. Setelah antri di dua loket, akhirnya truk mulai masuk area pengecekan. Pos pertama, pengecekan emisi. Di pos kedua ada petugas yang bertanya truk kami jenis apa lalu berlanjut liat-liat dan masuk ke dalam. Aksi ini diikuti oleh beberapa kawannya dengan keingintahuan yang sama. Bahkan Kepala Dishubnya juga ikut masuk dan ngobrol dengan kami di dalam truk. Singkat cerita, setelah pos pengecekan yang kedua, truk tidak lagi diperiksa, lolos sampai ke pos pengecapan😀. Dapat dispensasi ceritanya😋. Total waktu proses uji KIR kali ini kurang dari 1 jam.

Dari Dishub, kami janjian dengan Mas Nusa, kawan baru yang menghubungi kami melalui IG. Beliau menawarkan untuk berjumpa di Kedai Kopi Bhineka di Jalan Gajah Mada.

Mas Nusa bersama Mas Gobind yang jumpa kami tempo hari, bermaksud akan melakukan perjalanan keliling dunia menggunakan motorhome. Beliau sudah survey motorhome di Australia. Kami saling tukar cerita.


Selesai ngobrol, di parkiran ada beberapa orang sedang mengamati truk kami. Mereka bertanya-tanya mengenai perjalanan. Di ujung obrolan, salah satu kawan baru ini menawarkan cottagenya untuk kami inapi jika kami transit kelak hendak menyebrang dari Padang Bai ke Lembar. Terimakasih ya😊.

Dari jantung Denpasar, kami segera melesat ke Uluwatu. Janji pada diri sendiri untuk nonton Tari Kecak ‘beneran’ di sana. Kali ini kami nonton bertiga aja, Abah yang sudah pernah melihat pertunjukan ini memilih menunggu di truk sambil ngedit video.

Yess, kami tiba tepat waktu. Arena tari masih sepi dan kami bisa memilih tempat dengan leluasa. Dan ternyata beberapa saat kemudian, situasinya menjadi sangat tidak ‘yes’. Setelah dapat tempat duduk strategis, kami harus berjuang mengahadapi matahari sore yang pas ‘nyebrot’ (apa basa endosanya ya?) puanaaaas poll malih😖 Setelah menunggu satu jam, akhirnya pertunjukan dimulai juga (legaaaa).

Setiap penonton dibekali selembar kertas berisi jalan cerita, yang berfungsi sebagai penahan panas juga😋. Jadi kita bisa mengikuti jalan ceritanya walau tidak paham bahasanya.

Walaupun pertunjukan sudah dimulai, penonton masih berdatangan. ‘Kursi’ beton yang melingkari arena full sudah. Lama-lama ada yang duduk di bawah, lesehan. Sungguh kurang profesional untuk sebuah pertunjukan yang dibanderol seharga 150ribu. Banyak sekali komentar mengenai ini di media-media online. Sepertinya penyelenggaranya tidak terlalu perduli, toh pertunjukannya selalu full.

Semakin petang, pertunjukan semakin ‘panas’. Ada Hanoman yang berinteraksi dan selfie dengan penonton, ada api berkobar dan seruan serupa mantra ‘kecak’ pun semakin riuh bergemuruh. Suasananya makin magis karena dilatari langit merah senja.

Setelah pertunjukan selesai, penyelenggara mempersilahkan penonton untuk berfoto dengan pemain. Kami? Lari secepat kilat kembali ke truk😋, supaya nggak terjebak macet ketika semua kendaraan serentak keluar dari Uluwatu. Kami pulang ke Tabanan ke Pesantren Bali Bina Insani untuk sama-sama nyebrang ke Lombok esok hari.