10-11 November Seperti kemarin, pagii sekali Pak Yusri sudah memanggil kami untuk sarapan. Beliau sendiri yang masak. Hidangannya seafood berupa cumi dan udang segar. Setelah makan, kami memulai prosesi berpamitan. Dimulai dengan melepas Bang Jo dan Kak Alya ke sekolah. Setelah selesai berbenah Moti keluar komplek diantar oleh Pak Yusri Bu Lina dan si kecil Kimi. Solar Moti tiris, kami harus singgah di SPBU dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Sulawesi Tenggara. Antrian panjang sudah mengular di SPBU Soroako. Lagi-lagi kami dibantu oleh Pak Yusri yang kenal dengan pemilik SPBUnya. Kami tidak mungkin menunggu hingga siang hari. Dengan bantuan Pak Yusri, kami terpaksa memotong antrian. Sebelumnya Pak Yusri dan Abah sempat meminta izin pada beberapa supir truk yang sedang mengantri dan menjelaskan alasan kami diperbolehkan memotong antrian. Beberapa diantara Bapak-bapak supir ini ada yang masuk dan menengok isi Moti. Alhamdulilah, solar Moti terisi sudah. Sebelum berangkat meninggalkan Soroako kami singgah di Kedai UKM Binaan PT Vale yang menjual berbagai produk UKM sekitar Soroako. Ada camilan, lada putih dan hitam, minuman kemasan, kerajinan tangan, t-shirt dan oleh-oleh khas Soroako. Ketika sedang melihat-lihat isi kedai, tiba-tiba Pak Bupati Soroako menelpon dan meminta kami untuk berjumpa. Sayang, waktu tidak mengijinkan. Kami berjanji untuk singgah kembali dan menemui beliau di perjalanan kembali dari Sulawesi Tenggara untuk menuju Sulawesi Tengah nanti. Kami sungguh tidak menyangka perjalanan menuju Sulawesi Tenggara akan menjadi salah satu perjalanan yang paling menantang yang pernah kami lalui selama perjalanan Keliling Indonesia ini. Setelah sekitar 1.5 jam meninggalkan Soroako, tiba di perbatasan Sulawesi Selatan dan Tenggara, terpampang poster dengan gambar kakek tua yang tersenyum memamerkan satu gigi depannya yang tersisa, dengan tulisan ‘Salam Gigi Satu’. Kami terkekeh geli melihat poster itu. Rupanya ‘peringatan’ di poster tadi bukan main-main. Selama hampir kira-kira 20km berikutnya Moti melalui jalanan curam menanjak konstan di gigi satu dengan kondisi jalan berkelok-kelok tajam layaknya zig-zag. Kami tidak berani tidur, was-was mengawasi jalan dan Wak Iyan yang menyetir. Hingga akhirnya jalanan curam menurun menandai berakhirnya ‘rute gigi 1’. Waktu menunjukkan hampir jam 3 sore ketika kami tiba di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Kami singgah di salah satu warung di kota untuk makan siang. Lalu mencari solar dan mesjid. Setelah berputar-putar dan singgah di beberapa SPBU, akhirnya kami putuskan membeli solar di sebuah kios dengan harga 10rb per liter, hampir sama dengan harga Dexlite yang nihil di semua SPBU di kota ini.
Sebuah mesjid megah di tepi laut, di daratan hasil reklamasi jadi incaran kami untuk menginap malam ini. Namun kami harus menelan kekecewaan karena toilet di mesjid megah ini super jorol dan tidak terawat. Bau pesing sudah tercium 10m dari pintu masuk toilet. Kami terpaksa mencari tempat lain. Polres yang letaknya tidak jauh dari mesjid jadi pilihan. Abah berbicara dan minta izin pada tuan rumah, alhamdulillah diizinkan.
Udara panas memaksa kami semua duduk-duduk di luar menikmati angin laut yang sejuk hingga tak lama kemudiaan kami terpaksa masuk mobil karrna hujan turun. Walaupun kantornya baru, toliet di Polres inipun ‘sulit’ untuk dipakai. Pagi setelah matahari terbit kami pamit dan mencari mesjid lain. Setelah bersih-bersih dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Kendari.
Kami singgah di Kolaka untuk  makan siang, menunya Coto Makassar. Lalu mencari solar dan akhirnya membeli Pertamina Dex yang harganya hampir 12rb per liter, bahan bakar  termahal yang pernah kami beli. Kami tiba di Kendari sekitar pukul 7, langsung mencari laundry untuk mencuci pakaian yang sudah menumpuk sejak di Soroako. Malam ini kami istirahat di Mesjid Agung Kendari.
9 November Karena hari ini hari Minggu, maka Pak Yusri, Bu Lina dan ketiga putra putrinya hendak mengajak kami jalan-jalan di Kota Sorowako. Kami akan berjumpa dengan Lau Jiha, Kepala Desa Soraoko yang prestasinya membawa beliau berjumpa dengan Presiden Jokowi dan mendapat penghargaan sebagai Juara I Lomba Desa. Lau Jiha tidak seperti Kepala Desa kebanyakan. Badannya cenderung ramping tidak seperti pejabat pada umumnya. Cerdas dan kritis, maklum beliau mantan aktivis. Sejak terpilih sebagai lurah, salah satu projek utamanya yaitu membangun dan mengembangkan potensi pariwisata desanya. “Perusahaan (Penambang nikel- PT Vale) suatu hari akan pergi, kita tidak bisa terus menerus menerus menggantungkan hidup pada perusahaan. Kita harus mandiri”.
Berdasarkan pemikiran itulah dengan bekerja sama dengan PT Vale (diwakili oleh Pak Yusri) lahirlah karya-karya Lau Jiha yang memberdayakan masyarakat. Selesai ketemu Lau Jiha kami kembali ke komplek perumahan PT Vale, untuk memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Budi. Pagi tadi Pak Budi yang orang Sumbawa ini mampir ke Moti dan mengundang makan siang di rumahnya. Istrinya akan memasak Ikan Sepat. Hidangan ikan bakar beserta kuah asam khas dari Sumbawa. Hmmm… Tiba di rumah Pak Budi kami jalan-jalan sebentar tepi danau dan melihat beberapa pohon endemik Sulawesi yang tumbuh di sini salah satunya Buah Dengeng yang berulas sekilas seperti jeruk  namun asaam sekali. Digunakan dalam masakan parende yaitu  sup bening dengan cita rasa asam dan kunyit biasanya berisi ikan atau udang. Setelah puas bermain di tepi danau, kami menyambangi rumah Pak Budi. Rumah panggung ang cantik dengan pemandangan lepas ke arah danau. Kami disambut dengan semerbak harum ikan bakar. Istri Pak Budi yang cantik, Mbak Ine yang mempersiapkan semuanya sejak siang tadi. Kami melahap hidangan lezat ini dengan bahagia. Ketika sedang duduk-duduk selepas makan, Pak Yus mendengar suara yang akrab di telinganya, suara klakson raft yang biasa dipakai karyawan PT Vale untuk menyusuri Danau Matano. Kami pun berhamburan kembali ke tepi danau. Pak Yus berbincang dengan operatornya, meminta izin untuk berputar sebentar di sekitar pantai. Satu persatu kami naik ke atas raft. Raft ini cukup besar dan lebar. Di tepiannya ada banyak tempat duduk. Mungkin muat untuk 50an orang. Raft mengarah ke Pantai Ide, melalui beberapa dermaga milik rumah-rumah dinas di atasnya. Dermaga-dermaga ini dilengkapi tangga, akses langsung untuk berenang (?) di danau.  Istimewa bukan? Setelah sampai di Pantai Ide, raft memutar kembali ke arah tempat kita naik tadi. Kami turun dengan gembira, walaupun sebentar, pengalaman menyusuri Danau Matano tadi sungguh menyenangkan. Lepas dari rumah Pak Budi kami kembali ke rumah Pak Yus dan menikmati sisa sore yang akrab di pekarangan sambil ngobrol dengan beberapa kawan Pak Budi dan Bu Lina yang singgah. Malam harinya, kami sekeluarga diundang makan malam di rumah Farrel kawan baru Hakim di Soroako.  Kami bersilaturahmi dan dijamu orangtya Farrel, Pak Mula dan istrinya. Alhamdulilah terimakasih.
8 November Pagi setelah sarapan kami sudah jalan. Tujuan hari ini adalah Danau Matano di Kota Soroako. Jalanan lengang dan relatif mulus. Rumah panggung tradisional khas Sulawesi berbaris rapih di kiri dan kanan jalan. Di separuh perjalanan jalanan melebar mengingatkan kami pada jalan-jalan di pelosok Malaysia. Maklum jalan ini adalah jalur transportasi perusahaan Nikel dari Soroako menuju pelabuhan untuk selanjutnya dikirim ke negara pembelinya. Kami tiba di Soroako sekitar pukul 11 siang. Pantai Salonsa di tepi Danau Matano adalah tujuan kami siang ini. Untuk sampai di pantai ini kami harus masuk ke Kompleks Vale, perusahaan asal Brazil yang sudah puluhan tahun menambang nikel di sini. Tiba di Salonsa kami makan bakso lalu leyeh-leyeh tidur-tiduran di rerumputan di tepi pantai yang rindang dan sejuk. Orang ramai berenang di sini, maklum sekarang hari Sabtu. Airnya tenang dan sejuk. Kami berencana menginap di Pantai Ide, tidak jauh dari Salonsa. Katanya di Pantai Ide fasilitas buat pengunjung lebih lengkap, ada toilet dan warung. Kami lalu menemui security di pos masuk Kompleks. Kepala Security tidak bisa memberikan izin. Izin hanya diberikan oleh bagian ‘eksternal’ perusahaan. Karena hari ini hari Minggu, kami lalu dibawa ke rumah Pemimpin external yaitu Pak Yusri. Sampai di rumah Pak Yusri kami dipersilahkan singgah dan ngadem di rumahnya. Rata-rata rumah pegawai dj kompleks ini berupa rumah kayu panggung. Sekilas seperti bentuknya seperti rumah panggung khas tradisional Sulawesi. Rupanya INCO, pendahulu Vale, sebuah perusahaan penambangan dari Kanada memang mengadaptasi kearifan lokal dengan membuat rumah panggung bagi karyawannya. Fungsinya selain meredam panas dan lebih adem, rumah panggung juga lebih tahan terhadap gempa mengingat wilayah di seputar Danau Matano ini rawan gempa.

Oleh Pak Yusri dan Bu Lina, kami lalu dijamu. Kebetulan, perut kami baru diisi bakso saja sejak siang tadi. Bu Lina menghidangkan pisang pepe/pipih dengan sambel. Pisang pepe adalah pisang nangka yang masih mentah, lalu dipepe/dipipihkan. Kemudian dipanggang. Setelah dipanggang pisang digoreng tanpa tepung sehingga garing bagian luarnya. Lalu dimakan dengan sambal tomat terasi. Walaupun awalnya terasa ganjil, namun lama-lama  rasanya enak juga. Setelah pisang, berturut-turut Bu Lina menyajikan rujak serut, es krim dan kopi. Lengkap dan mengenyangkan, alhamdulillah.
Setelah sholat ashar berjamaah di mesjid, Abah dan Hakim membawa pulang teman, Farrel dan ayahnya Pak Mulawarman. Rupanya Farrel sering menonton channel kami di YouTube. Setelah itu datang kawan-kawan Pak Yusri yang beberapa diantaranya suka diving di Danau Matano dan sempat menemukan barang-barang artefak berharga berusia ratusan tahun. Barang-barang ini berupa senjata kuno dengan ukiran dan tanda yang khas Matano. Matano sebetulnya sudah disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai daerah pandai besi. Sejak ratusan tahun yang lalu hasil karya dari tepi danau terdalam di Indonesia ini diekspor hingga Negeri Tiongkok. Malam pun tiba. Kami tidak diizinkan untuk melaksanakan rencana kami semula untuk menginap di Pantai Ide, alih-alih kami malah disuruh menginap di rumah Bu Lina dan Pak Yusri. Kami tidak mampu menolak tawaran super baik ini. Malam harinya setelah makan malam dan jalan-jalan di Kota Soroako dengan si Moti,  kami istirahat di halaman rumah Bu Lina dan Pak Yusri. Terimakasih banyak.
7 November Di warung langganan tempat kami biasa makan selama di Toraja, kami diwanti-wanti untuk berhati-hati ketika nanti melanjutkan perjalanan ke Utara. Katanya jalanan curam dan sempit. Maka pagi ini kami sengaja berangkat pagi ketika badan masih segar dan pikiran masih awas. Selamat tinggal Homestay Rosalina. Terimakasih untuk semua kebaikan.
Ketika waktu Jumatan tiba, kami berhenti sebentar di Palopo untuk makan siang dan salat Jumat. Perjalanan kami lanjutkan kembali sambil mencari-cari solar, namun tidak ada, akhirnya kami membeli Dexlite untuk Moti. Kami bermalam di mesjid di daerah Manurung, Malili. Selesai sholat Maghrib sepasang suami istri menyapa dan menghampiri kami. Suaminya lalu keluar sebentar dan kembali dengan dua box makanan kecil dan beberapa gelas air mineral untuk kami. Terimakasih .
6 November Kemarin malam kami dapat kabar kalau hari ini akan ada pesta kematian yang diadakan tidak jauh dari tempat kami tinggal. Tentu saja kami nggak sia-siakan kesempatan ini. Pagi setelah sarapan kami pun berangkat. Hakim dengan sepedanya, kami berempat dengan si moti. Kami tiba di tempat pada saat daging sedang diabgi-bagikan. Ada beberapa ekor kerbau dan babi yang sudah dipotong. Walaupun orang asing, kami dipersilahkan untuk masuk dan duduk di salah satu pondok yang diperuntukkan bagi para tamu. Abah dan Hakim sempat ditawari tuak. Biasanya pesta kematian dilaksanakan antara bulan Desember hingga Meret. Akan tetapi jika tidak ada anggota keluarga yang ditunggu, maka pesta bisa diadakan di luar bulan-bulan itu. Seperti yang ini dilaksanakan bulan Desember. Setelah upacara selesai, jenazah siap diantarkan ke peristirahatan terakhirnya berupa kuburan berbentuk rumah. Kami tidak lama di sini, setelah sekitar setengah jam kami pamit pulang. Acara selanjutnya makan siang di warung langganan kami dekat homestay. Kami lalu menghabiskan hari ini dengan membuat video pengantar.
5 November Hari ini kami akan mengeksplor Toraja bagian Utara. Dua dari empat tujuan adalah pemandangan Tana Toraja dari ketinggian.
Dua lainnya adalah kompleks kuburan batu dan perkampungan tradisional. Adalah Lolai sering disebut sebagai negeri di awannya Toraja. Ya untuk melihat awannya kita harus keluar dari rumah seawal jam 4 pagi. Tapi kami terlalu malas untuk itu. Kami sewa mobilnya Pak Enos dan disetiri oleh Papa Amel. Orang Toraja punya tradisi unik. Jika sudah menikah dan punya anak, maka panggilannya berubah menjadi nama anaknya, mirip dengan tradisi di Arab. Maka driver kami adalah Bapak seorang bernama Amel. Dari Lolai kita bisa melihat Rantepao dan Toraja dari ketinggian. Udaranya segar dan pemandangan hijau di dominasi oleh hamparan sawah dan kebun-kebun. Di  sela-selanya Kampung Toraja bermunculan ditandai dengan Tongkonan-tongkonan yang masih nampak menjulang walaupun dari ketinggian seperti ini. Dari Lolai kami ke Batu Tumongga. Masih merupakan dataran tinggi, kami menikmati pisang goreng dan kopi cawerang di sini. Harganya muahal sekali untuk makanan yang rasanya di bawah biasa. Tujuan selanjutnya yaitu Kampung Adat Bori. Sebetulnya sejak dari Lolai tadi pagi, di sana sini jika ada batu besar, di pinggir jalan sekalipun, maka hampir dipastikan batu tsb berlubang dan ada kubur di dalamnya.
Itulah yang kami lihat di Bori. Beberapa batu besar yang dilubangi bentuk persegi empat dan di dalamnya ada peti jenazah. Sebuah kubur batu diperkirakan sudah berusia lebih dari 400 tahun, digunakan sejak tahun 1617. Selain kubur batu, di sini juga terdapat batu batu seperti menhir dengan berbagai ukuran. Jika di Selatan reprsentasi orang yang meninggal dibuat dalam bentuk pantung, maka di sini dalam bentuk menhir. Sebetulnya di Utara juga dulu dibuat patung kayu, akan tetapi patung-patung ini merupakan barang antik berharga mahal incaran kolektor sehingga seringkali hilang dicuri. Maka untuk mencegah hal itu, sekarang dipakai menhir sebagai penggantinya. Untuk bisa memasang satu menhir, keluarga dari orang yang meninggal tsb harus mengorbankan sedikitnya 24 ekor kerbau bule dalam pesta kematiannya. Dari Bori, kami ke Desa Palawa. Mirip Kete Kesu ini adalah salah satu desa tertua di Toraja Utara. Salah satu tongkonan sedang direnovasi atapnya. Biayanya mencapai hingga seratus juta karena bahan bakunya yaitu bambu sudah mulai sulit didapat. Kami bertemu seorang ibu yang memberitahu kami kalau di salah satu rumah sedang ada jenazah yang menunggu untuk dipestakan. Ambu malas lihat, hanya Abah dan Abang. Jenazah tersebut sudah dibungkus kain. Menurut Abah sih tidak berbau. Rupanya jenazah tersebut adalah tak lain dari putra ibu tadi. Beliau nampak sedih sekali ketika bercerita tentang puteranya ini pada Abah.
4 November Tujuan hari ini adalah Toraja Selatan yaitu Kete Kesu, Londa, Kambira, Suwaya lalu yang terakhir Lemo. Semua tempat-tempat ini tidak banyak berubah masih sama seperti enam tahun yang lalu ketika Ambu dan anak-anak ke sini tahun 2013 kemarin. Kete Kesu sebagai salah satu primadona wisata Toraja berusia ratusan tahun dengan kuburan tua berupa peti mati terbuat dari kayu atau batu yang diletakkan di bagian dalam dan luar gua. Kebetulan ada satu jenazah baru yang dimasukkan dan Ambu memilih untuk tidak masuk gua. Selain sebagai Desa Tertua, Kete Kesu juga dikenal sebagai Desa Pengrajin. Baik pemahat kayu maupun penenun kain. Secara usia Kete Kesu berusia sekitar 300-400 tahun. Jadi, desa-desa ini sebelumnya berlokasi di pegunungan. Lalu ketika Belanda datang, desa-desa ini dilobby oleh Belanda untuk pindah mendekati pusat pemerintahan Belanda demi mempermudah kepentingan Belanda. Londa adalah tujuan berikutnya. Masih dengan kisah Romeo dan Julietnya serta tulang belulang yang berserakan di dinding-dinding gua. Sementara di bagian luar terdapat peti-peti mati yang menggantung yang di jaman dulu dimaksudkan untuk menghindar dari ancaman binatang buas. Selain peti mati terdapat patung-patung representasi dari yang meninggal beserta harta kesayangannya. Untuk bisa memajang patung-patung ini, keluarga si mati harus berkorban sedikitnya 24 ekor kerbau. Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Kambira atau kuburan bayi. Di jaman dulu  jenazah bayi ini diletakkan di pohon yang dilubangi, lalu ditutup dengan penutup seperti ijuk. Harapannya si bayi akan ‘tumbuh’ terus bersama sang pohon. Dari Kambira kami berkunjung ke Suwaya. Sama seperti kubur-kubur di Toraja, ini adalah kompleks kuburan batu, di mana tebing batu dilubangi lalu peti mayat dimasukkan ke dalamnya. Yang unik, Suwayah di sebut Kompleks Kuburan Para Raja. Dan ada satu kuburan tepat di bawah tebing batu seperti kuburan pada umumnya. Rupanya ini adalah kuburan anggota keluarga yang Muslim. Ada gelar ‘Puang’ di depan namanya yang menandakan kalau alamarhum adalah keturunan bangsawan. Dari Suwayah kami ke lokasi terakhir yaitu Lemo. Mirip seperti Suwayah, Lemo adalah kuburan di tebing batu. Hanya di sini pemadandangannya lebih cantik. Keseluruhan dinding tebing bisa dipandangi dari jauh. Keberadaan sawah dan kebun yang mengelilinginya menambah kecantikan kompleks kuburan Lemo.
3 November Rencana semula pagi ini kami akan mengeksplor Toraja Selatan setelah rapat dengan Tim Semarang. Rapat selesai hampir pukul 11 dan hari mulai panas. Akhirnya rencana eksplor diundur ke besok. Hari ini kami akan meneruskan istirahat sementara Abah melanjutkan membuat naskah untuk video.
Kami sempat membuat satu video pengantar untuk episode di Sumatera.
Malam harinya kami semua tidur nyaman di kamar masing-masing karena ambu sewa dua kamar malam ini. Hakim dengan Wa Iyan sementara Ambu, Abah dan Sabiya tidur bertiga.
2 November Kami keluar dari Kebun Raya Enrekang tanpa mandi dan meniatkan untuk sarapan di Perbukitan Nona dalam perjalanan menuju Tana Toraja. Tempat yang sama yang kami singgahi 6 tahun yang lalu. Suasana masih sama, tidak banyak yang berubah. Oh ya, sejak di Bone kami belum menemukan solar lagi. Sepanjang jalan tidak ada satu pun SPBU yang menjual solar. Solar dijual di luar SPBU dengan harga 2x lipatnya. Menjelang tiba di Tana Toraja kami akhirnya menemukan sebuah SPBU yang menjual solar dengan antrian yang panjang tentunya. Tidak apa, kami memilih antri dan berhasil mengisi solar setelah mengantri kira-kira 30 menit saja. Target tempat menginap kami adalah Penginapan Rosalina. Hasil reviewnya bagus. Highlightnya homestay ini bersih. Dikatakan hostnya adalah sepasang suami istri bernama Enos dan Rosalina. Lokasi homestay sekitar 100m dari jalan raya. Kira-kira 2km sebelum masuk pusat kota Rantepao. Jalan masuknya luas dan ada parkiran juga. Alhamdulilah, sesuai kebutuhan. Moti diizinkan parkir. Karena tinggal 1 kamar yang available maka malam ini Ambu dan Dek Biya dapat giliran pertama bermalam di kamar. Untuk malam berikutnya kami akan menyewa dua kamar supaya Abah dan Wak Iyan juga bisa istirahat yang nyaman. Dan ketika kami hendak membayar, kami ketemu Pak Enos. Rupanya Pak Enos adalah guide kami di tahun 2013 lalu ketika mengunjungi Toraja pertama kalinya. Sayangnya kami nggak puna foto dengan beliau di kunjungan pertama. Hari ini kami istirahat saja di homestay, tidaj kemana-mana. Sabiya dan Hakim yang pergi membelikan makan untuk siang itu.
1 November Adzan Maghrib tengah berkumandang ketika kami tiba di Bone. Kami akan bermalam di Mesjid Al Markaz. Setelah makan malam dan mencari handuk Wa Iyan, kami istirahat. Paginya kami dikunjungi oleh seorang follower di Instagram, Mas Rahman namanya. Oleh beliau kami diajak keliling Kota Bone dan mengunjungi rumah budaya Bone. Kami jadi tahu kalau pada tahun 1496 Bone sudah dipimpin oleh Raja Perempuan. Dan setelahnya ada 5 Raja Perempuan lainnya yang memimpin Bone. Setelah sarapan bareng Sop Sodara yang enak, kami bergerak kembali menuju Wajo. Di sini kami dicegat oleh Kontributor TvOne bernama Om Hendra. Lagi-lagi kami ditraktir makan siang. Kami sempat mencicipi Lawa’ Ikan. Ikan mentah yang diberi perasan jeruk lalu ditaburi kelapa. Segar seperti sashimi.
Setelah makan kami lalu mengunjungi Danau Tempe. Lalu melanjutkan perjalanan ke Utara. Target untuk sampai di Tana Toraja tidak tercapai. Kami lalu menginap di Kebun Raya Enrekang.