13 Januari 2020

Pagi ini kami didatangi oleh teman-teman dari Genpi Touna (Kabupaten Tojo Una-una) dan Dinas Pariwisata. Kami lalu diundang untuk mengunjungi Pusat Informasi Turis dan diberi buku panduan wisata untuk Tojo Una-una.

Jalanan menuju Luwuk Banggai mulus dan lebar. Pemandangan laut Teluk Tomini senantiasa menemani di kiri jalan.

Kami berhenti untuk makan siang di Bunta lalu melanjutkan perjalanan kembali dan tiba di Luwuk ba’da Ashar. Mesjid Agung yang rencananya akan kami tempati rupanya sedang dalam proses renovasi namun ada bagian dalam mesjid masih bisa dipakai untuk sholat. Toiletnya juga aman, walaupun toilet lama dan hanya 2 kamar mandi yang bisa dipakai. Parkirannya luas dan aman karena malam hari pintu pagarnya ditutup. Jadi walaupun kami sempat keliling Kota Luwuk untuk mencari mesjid lain, kami putuskan kembali ke Mesjid Agung untuk menginap.

Oh ya, petang itu kami sempat menemui Bang Acho. Beliau sudah lama menghubungi kami lewat DM IG meminta bertemu dan menawarkan diri menjadi guide gratis selama kami di Luwuk. Kami berkunjung ke rumahnya dan ngobrol sebentar lalu pamit kembali ke mesjid. Di mesjid kami didatangi boleh kawan Kak Wawan, Dr Zul dan Kak Ida. Mereka membawa sejumlah oleh-oleh makanan khas Luwuk. Lepas Maghrib kami pergi ke tepi laut untuk makan malam ikan bakar katombo (seperti ikan kembung) khas Luwuk. Laut Luwuk bersiih sekali. Pemerintahnya memang menjaga kebersihan laut sebagai pekarangan kotanya dengan melarang warga mengotori dan membang sampah ke laut. Konon Bu Susi Pudjiastuti sewaktu menjadi Mentri Kelautan selalu menyempatkan diri untuk nyebur berenang di Kilo 5, salah satu pantai terkenal di sini.

12 Januari 2020

Sebetah-betahnya kami di suatu tempat, kami harus melanjutkan perjalanan.

Pagi ini pintu Moti diketuk. Salah satu staf pengurus mesjid mengantar kue-kue dan bubur ayam untuk sarapan kami, alhamdulillah, terimakasih.

Kami lalu ke rumah Kak Wawan untuk berpamitan. Dari sekian banyak interaksi, pertemuan dengan teman-teman Poso ini adalah salah satu yang paling berkesan. Kisah berbalut persahabatan yang akan kami kenang seumur hidup.

Kami belajar banyak sekali di Poso termasuk tentang Sintuwu Maroso. Sejak ratusan tahun lalu masyarakat Poso dikenal sebagai masyarakat yang terbuka terhadap pendatang. Untuk merayakan keragaman yang ada, masyarakat Poso mempraktekkan falsafah ‘Sintuwu Maroso’ yang artinya persatuan/kerjasama yang kuat. Kearifan lokal ini dapat dijabarkan dalam tiga makna utama yaitu tuwu mombetuwunaka (hidup saling menghargai), tuwu mombepatuwu (hidup saling menghidupi), dan tuwu mombesungko (hidup saling menolong). Kearifan lokal inilah yang menjadi pengawal keharmonisan yang berlangsung ratusan tahun di Tanah Poso. .

Tragedi kemanusiaan di akhir ’98 hingga 3 tahun kemudian berhasil memporak-porandakan semua sendi kehidupan di Poso. Kekerasan massal dan konflik horizontal menghancurkan tidak hanya rumah ibadah, perkampungan dan fasilitas umum, namun yang lebih parah ialah trauma mental berkepanjangan. .

Hari ini, Poso sudah pulih sepenuhnya. Benih-benih ‘Sintuwu Maroso’ kembali disemai dan mulai tumbuh subur. Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan yang diinisiasi anak-anak muda keren di @genpeace.poso di bawah bimbingan kakak-kakaknya yang luar biasa @gprimasatya @harrymelumpi dan @linisigilipu .

Masyarakat Poso telah lulus dari ‘ujian’nya. Salah satu hadiah terbaiknya adalah pelajaran tentang damai yang sesungguhnya. Bukan damai kosong di lisan, namun damai sesungguhnya dari hati. Dan kita patut belajar banyak tentangnya.

Moti tiba di Ampana menjelang Ashar. Di sini kami akan mencari informasi mengenai penyebrangan ke Togean sekaligus tempat bermalam sebelum lanjut ke Luwuk esok hari. Setelah makan siang dan mengisi solar, kami mencari informasi penyebrangan. Rupanya angin dan gelombang di Teluk Tomini sedang kencang-kencangnya. Kapal ASDP biasanya akan urung berlayar dalam situasi seperti ini.

Halaman Kantor Syahbandar tepat di tepi Teluk Tomini jadi pilihan malam itu. Sambil menunggu hari gelap, kami berjalan-jalan di tepi laut yang dipadati penduduk yang sedang menonton laut yang bergolak dahsyat. Nampak beberapa orang sedang berenang dengan beraninya, mencoba menyelamatkan benda-benda tampak seperti kursi dan meja. Rupanya kursi meja ini berasal dari kedai di tepi laut yang tersapu gelombang.

Menjelang petang badai mereda dan laut mulai kalem, kami tidur dengan nyenyak malam itu.

11 Januari 2020
Pagi ini kami janjian dengan Kak Wawan dan teman-teman Genpi. Kami akan eksplor Poso dan sekitarnya.

Tujuan pertama adalah bubur Manado atau Tinutuan. Terus terang ini adalah pengalaman pertama bagi kami makan bubur Manado di tanah Sulawesi. Kami pernah makan bubur yang sama namun di Jawa sana.

Mirip dengan saudaranya di Jawa, Bubur Manado di sini direbus dengan labu kuning dan dihidangkan bersama rebusan sayur mayur seperti bayam dan jagung. Bedanya di sini ada tambahan sayur yang namanya daun gedi. Yang bikin istimewa tentu saja sambalnya, yaitu sambal roa. Selain ikan asin dan bakwan jagung, bubur di sini dihidangkan bersama tahu yang digoreng separuh matang. Bagi Ambu dan Bang Hakim yang memang penggemar bubur, hari ini adalah salah satu hari paling bersejarah karena kami makan Bubur Manado yang enaaaak sekali.

Kami lalu mengunjungi Pamannya Kak Wawan yang merupakan kakak ipar dari Santoso, tersangka teroris asal Poso yang ditembak mati tahun 2016 lalu. Kami ngobrol-ngobrol sebentar terutama mengenai Santoso dan sepak terjangnya sebelum wafat. Beliau berpendapat seharusnya orang-orang seperti Santoso mendapat perlakuan lebih baik dengan diberikan pembinaan dan upaya damai lain sebelum dieksekusi.

Mesjid bersejarah di Poso jadi tujuan berikutnya. Mesjid ini didirikan tahun 1923 oleh Baso Ali, salah satu pembawa agama Islam ke Poso. Kami sempat ketemu dengan keturunan Baso Ali yang tinggal di sebelah mesjid dan ngobrol mengenai kerukunan antar agama di Poso. Menurut beliau, apresiasi dan toleransi sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Poso karenanya tidak perlu diajarkan lagi.

Perjalanan lanjut ke Air Panas Oe Maramu di kaki Gunung Biru. Mirip dengan yang pernah kami lihat di Bajawa Flores di mana air dingin dan panas yang berasal dari dua sungai berbeda, bertemu di tengah dan menghasilkan air yang panasnya pas untuk dipakai berendam dan berenang. Tidak ada satupun dari kami yang mandi, kami hanya ngobrol dan bercanda di sini. Kak Wawan sempet bikin lomba makan belimbing wuluh segala.

Dalam perjalanan kembali ke Poso kami singgah makan durian di rumah penduduk. Pemiliknya transmigran asal Bali yang sudah lama menentap di Sulawesi Tengah.

Hari yang menyenangkan ini ditutup dengan makan seafood sambil menikmati angin laut di pinggir Teluk Tomini.

Oh ya, malam ini Moti harus pindah parkir, ada acara di GOR. Kami bergeser ke Mesjid Agung Poso untuk menginap malam ini.

10 Januari 2020

Pagi ini Kak Wawan menjemput kami untuk keliling Kota Poso dengan mobil kecil, sementara Moti istirahat di GOR.

Tempat pertama yang kami sambangi adalah lokasi awal terjadinya konflik massal di Poso. Tempat yang tadinya terminal ini tampak lengang dan kosong. Konflik yang terjadi sekitar 2 tahun sebelumnya ini sebetulnya merupakan perselisihan antara dua keluarga, tanpa usur SARA di dalamnya. Namun konflik ini merupakan bibit dari konflik SARA berkepanjangan yang terjadi kemudian.

Mobil lalu melewati sebuah bekas perkampungan yang sudah ditinggalkan dan dipenuhi semak belukar. Masih tampak sisa bangunan yang pernah berdiri dan kemudian dibakar saat kerusuhan.

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah makam Talasa, makam Raja Poso. Raja yang pluralis dan memilih untuk tidak memeluk satu agamapun demi kerukunan rakyatnya.

Dari makam Talasa kami ke sebuah rumah berarsitektur Belanda yang dulunya tempat tinggal misionaris Belanda yang datang ke Poso. Kami berjumpa dan ngobrol dengan Opa keturunan kesekian Raja Talasa yang kebetulan sedang ada di rumah ini.

Dari situ kemudian kami break dulu. Sementara Abah, Bang Hakim dan Kak Wawan sholat Jumat, Ambu dan Sabiya ngemil mangga bok suguhan Mamanya Kak Wawan, maniis sekali.

Setelah makan siang coto traktiran Kak Wawan (enak bener, diajak jalan-jalan, free lunch pula) kami lanjut jalan. Kami menyusuri area pecinan yang pernah jadi pusat elektroniknya Poso, sebelum kerusuhan, seperti Glodok kalo di Jakarta. Pusat pertokoan lama ini sudah usang dan terbengkalai, ditinggal para pemiliknya.

Perjalanan lalu dilanjutkan makam tua Belanda dan makam massal muslim korban kerusuhan Poso. Beberapa makam nampak berkelompok menandakan korban berasal dari dusun yang sama. Banyak jenazah korban berasal dari daerah yang jauh. Begitu banyak nyawa terkorban, tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, keganasan bertopeng identitas yang sungguh tidak pandang bulu.

Dari makam massal kami jalan-jalan ke Bukit Cinta memandang Poso dari ketinggian. Kota Poso tampak seperti kota mainan dengan rumah dan gedung-gedung kecil yang dibelah sungai di tengahnya.

Dari Bukit Cinta, perjalanan dilanjutkan terus ke atas ke Buyumboyo. Melawat makam remaja putri yang dibunuh dalam perjalanannya ke sekolah. Satu dari tiga remaja ini berhasil melarikan diri dan berlari kembali ke kampungnya. Kini remaja ini sudah dewasa, menikah dengan seorang pria muslim dan menjadi mualaf.

Malam itu kami menghabiskan waktu di Cafe Banua Momberata untuk baku bagi carita dengan kawan-kawan di Poso. Sedikit cerita mengenai Cafe Banua Momberata, cafe ini adalah kami yang stafnya adalah penyandang tuna rungu, keren ya.

Baku bagi carita malam itu lumayan seru dan ramai. Walau hujan dan dimulai agak lambat dari jadwal, banyak juga kawan-kawan yang datang. Terimakasih Kak Wawan dan Genpeace Poso.

9 Januari 2020

Hari ini kami akan melanjutkan perjalanan ke Utara. Persinggahan pertama adalah Kota Poso untuk berjumpa Kak Wawan dan kawan-kawan di sana.

Di tengah jalan kami singgah untuk mencicipi Durian Kuku. Disebut begitu mengikuti nama dusun tempat durian ini berasal. Rasanya manis legit, kata Hakim mirip Musang King, durian unggulan negara tetangga. Walaupun ukurannya relatif kecil, dagingnya tebal dan bijinya kecil.

Yang paling menarik perhatian adalah pembuka durian. Device yang nggak pernah kami liat sebelumnya. Ada semacam gunting yang menghadap ke bawah. Di bawahnya ada dudukan tempat durian diletakkan. Gunting ini dikendalikan dengan batang seperti pegangan gunting tanaman. Dengan satu gerakan, durian pun membuka dengan mudahnya. Kata Om penjual durian, anaknya yang membuatkan alat ini. Kreatif.

Moti langsung ke rumah Kak Wawan. Setelah telponan waktu peristiwa Wak Iyan, inilah kali pertama kami bertemu langsung Kak Wawan. Seperti kawan lama, kami larut dalam obrolan. Obrolan berkisar konflik Poso lalu dan upaya-upaya perdamaian pasca konflik yang diinisiasi oleh para pemuda. Keren. Kak Wawan juga cerita bagaimana konflik berkedok agama di Poso mencabik-cabik tatanan kehidupan masyarakatnya. “Agama mengajarkan manusia untuk mencintai sesamanya, namun manusia begitu mencintai agamanya hingga lupa mencintai sesamanya”, quote Kak Wawan.

Kak Wawan ini terbilang istimewa, one of the kind. Di usia yang relatif muda, banyak sekali karya yang sudah dihasilkan untuk masyarakatnya. Ada Poso Babaca, lembaga non profit untuk menguatkan proses perdamaian pasca konflik melalui literasi. Sikola Mambine, gerakan pendidikan kepemimpinan perempuan akar rumput. Tana_poso, mengkampanyekan keindahan Poso untuk mereframe riwayat konflik dan kekerasan yang pernah melanda Poso, Banua Momberata sebuah ruang pertemuan inklusi sekaligus cafe di mana stafnya adalah penyandang tuna rungu, Gen Peace Poso sebuah komunitas anak muda yang aktif mengkampanyekan perdamaian dan kerukunan lintas agama. Mas Wawan juga Penerima Award Internasional N Peace 2018 untuk kategori Campaigning for Action dan delegasi Indonesia untuk berbagai konferensi internasional seperti Generation Democracy Youth Leadership dan Young Southeast Asian Leader Initiative (maaf ya kalo kurang lengkap, puanjaaang soalnya 😅). Ketika gempa Palu 2018 Mas Wawan menginisiasi Relawan SulTeng Kuat, sebuah gerakan solidaritas tanggap bencana Palu 2018.

Sambil ngobrol kami dijamu durian (lagi) dan makan siang istimewa masakan Mamanya Kak Wawan.

Setelah makan Kak Wawan nganter Moti ke GOR Poso, tempat parkir untuk bermalam nanti. Dari GOR kami lalu jalan kaki ke Pantai Penghibur. Sambil menikmati senja di tepi Teluk Tomini kami ngobrol dengan kawan-kawan Gen Peace Poso. Di sela-sela camilan, kami ngobrol tentang Konflik Poso, Lembah Bada, Gempa Palu serta aktivitas teman-teman Gen Peace.

Malamnya kami nongkrong di Mie Kuncrut. Mie paling nge-hits sePoso raya. Ngobrol seru kembali dilanjutkan. Setelah membuatkan kami mie, Kak Wawan cerita soal gempa Palu dan aktivitasnya bersama Relawan Palu Bangkit.

Malam semakin larut, kami pulang kembali ke GOR untuk beristirahat.

8 Januari

Setelah berminggu-minggu melalui proses refleksi dan evaluasi, akhirnya kita tetapkan hati untuk melanjutkan perjalanan dan menyelesaikannya hingga ke Kalimantan.

Karena jadwal pesawat ke Palu pagi banget, kami menginap di rumah Uwan Nur malam sebelum berangkat.

Pukul setengah 3 pagi kami sudah bangun. Berkemas dan bersiap berangkat ke bandara dengan taxi online. Perjalanan ke bandara berjalan lancar, alhamdulillah. Setibanya di bandara, kami memakai fasilitas mesin check in. Kebetulan tidak ada bawaan yang harus dimasukkan ke bagasi. Setelah itu kami mencari oleh-oleh tambahan buat keluarga Mas Herry dan Mas Wawan.

Pesawat landing di Bandara SIS Al Jufri Palu sekitar pukul 9 WITA. Setelah sarapan di salah satu restoran bandara, mobil travel menjemput kami ke pool elf Pamona yang akan membawa kami ke Tentena.

Ongkosnya 520rb untuk kami berempat. Setelah menunggu sekitar 15 menit, mobil pun berangkat. Kami menyusuri daerah-daerah yang terkena tsunami. Banyak lapangan kosong bekas reruntuhan di sana-sini. Ketika keluar dari Kota Palu, di area bernama Kebun Kopi, kami berjumpa macaca hitam, monyet endemik Sulawesi. Beberapa mobil nampak berhenti memberi makan primata-primata ini.

Perjalanan berlanjut hingga tiba waktunya makan siang. Menunya Ikan katombo bakar dengan camilan lalampa, nasi ketan berisi ikan yang dibungkus daun lalu dipanggang.

Hari sudah Ashar ketika kami sampai di Tentena. Mas Herry menyambut kami. Bahagia dan terharu melihat Moti kembali. Terimakasih sudah menunggu dengan sabar ya.

Moti punya dua aki/batere. Sebelum ditinggal sebulan yang lalu, satu batere sudah dilepas. Namun ternyata batere satunya terdrain oleh alarm dan tape. Walhasil si Moti nggak bisa nyala. Untung Shop and Drive meminjamkan kami satu batere cadangan. Setelah diganti baterenya, akhirnya Moti bisa dinyalakan.

Malam ini kami kembali tidur di dalam Moti. Udara Tentena yang sejuk tidak memerlukan AC, kami cukup buka jendela lebar-lebar. Selamat malam Tentena, jumpa lagi besok.

27-28 November

Kami tiba di Garut pukul setengah lima sore, jalanan menuju rumah Wak Iyan sudah dipadati oleh orang yang hendak bertakziah.


Di rumah duka, selain kerabat Wak Iyan, juga sudah hadir Om Dudi, adiknya Abah yang tinggal di Bandung dan Om Ade, adik sepupu Abah yang tinggal di Cirebon. Bersama mereka, kami berempat diminta singgah dulu di Rumah Kang Odik, abangnya Wak Iyan.

Menjelang Maghrib kami baru bisa bertemu Teh Mela serta keluarga.Teh Mela tegar sekali. Walaupun matanya sembab, tidak ada lagi air mata yang keluar. Kami menyerahkan barang-barang Wak Iyan berupa sepatu, pakaian dan beberapa cendera mata yang dikumpulkan Wak Iyan selama di Sulawesi. Ada batu, cincin, sarung dan t-shirt pemberian beberapa kawan baik yang kami temui di Sulawesi. Juga jurnal A Iyan, tulisan tangan beliau selama di perjalanan.

Jenazah dimandikan petang itu juga dan disholatkan setelah Sholat Maghrib. Surau penuh hingga shaf terakhir. Tua muda, kecil besar, laki perempuan, semua khusu mendoakan salah satu orang terbaik di kampung ini.

Malam itu kami pamit menginap di rumah Bi Ani. Kami beristirahat dulu setelah melalui hari yang panjang.

Keesokan harinya kami putuskan untuk kembali ke Jakarta. Kami kembali ke Kampung A Iyan untuk berpamitan dan ziarah ke makam beliau.

Kami ke makan diantar oleh A Edi, abangnya Wak Iyan. Memandangi lagi pusara Wak Iyan, teringat lagi perjalanan bersama beliau selama 40 hari terakhir, kami tak kuasa menahan tangis. Orang yang dua hari yang lalu masih ngobrol dan bercengkrama sekarang tinggal pusara. Misteri kehidupan yang tak seorang pun punya jawabannya.

You’ll always be in our heart, Wak

Dari tanah makam yang lokasinya di ketinggian ini kami bisa memandang ke sebagian area desa. A Edi menunjuk sebuah jalan setapak yang membentang melingkari sebagian desa sebagai salah satu karya A Iyan dan teman-teman desanya. Juga tangga menuju makam adalah salah satu hasil sumbangan tangan Wak Iyan. Belum program-program tahunan beliau bersama IMR. Nggak heran begitu banyak warga desa yang ingin mengiringi kepergian beliau tadi malam.

Kami kembali ke Jakarta dengan hati yang masih pilu karena kehilangan namun lega, karena tanggungjawab pada keluarga sudah kami tunaikan yaitu membawa jenazah Wak Iyan kembali ke kampung halaman dan keluarganya.

Tiba di Jakarta kami menginap beberapa hari di rumah Uwan Nur. Rasa kehilangan begitu mencekam dan kami tidak ingin sendiri. Setidaknya di rumah Uwan kami bisa menghadapi kesedihan bersama-sama keluarga besar.

Kami tinggal di Jakarta selama sebulan lebih kemudian. Kebetulan, ada beberapa urusan yang minta diselesaikan. Pada saat bersamaan kami juga melakukan refleksi dari peristiwa kepergian Wak Iyan seperti dipesankan Mas Ilik dan Kak Mella, teman-teman baik kami di Semarang.  Memikirkan ulang tentang perjalanan. Mengevaluasi kembali tujuan perjalanan. Merumuskan SOP untuk Hakim dan Sabiya jika hal yang sama terjadi pada kami. Dsb. Dsb.

26-27 November

Pagi itu suasana di Lembah Bada segar dan sejuk setelah semalaman diguyur hujan. Ambu dan Abah jalan pagi menyusuri jalanan desa yang datar dan membeli sayur untuk sarapan pagi.

Wak Iyan laporan kalau di belakang Kantor Kecamatan ini ada tumbuhan kangkung yang bisa kita manfaatkan untuk makan siang atau makan malam nanti. Kami bertepuk bahagia membayangkan makan kangkung siang nanti.

Setelah selesai sarapan, Moti lalu bergerak ke pertigaan jalan menuju Patung Palindo tempat kita janjian dengan Pak Beni. Hari ini kita akan ke Situs Suso’ dan beberapa situs lainnya.

Moti diparkir di depan Kantor Taman Nasional. Dari situ kami harus berjalan kaki sekitar 900m melewati area persawahan. Kami memakai sepatu supaya nyaman. Wak Iyan yang biasanya nggak ikut kalo harus jalan kaki, kali ini ikut bersiap memakai sepatunya.

Hari masih belum terlalu terik, kami menyusuri area persawahan sambil ngobrol dan bercanda. Di perjalanan kami melewati kebun coklat dan vanili.Pak Beni sempat singgah di salah satu kebun dan  menunjukkan pada kami cara mengawinkan tanaman vanili supaya bisa berbuah. Vanili basah dihargai sekitar 400rb perkg sementara yang kering bisa mencapai 3jt perkg.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, sebelum tiba di kompleks, kami disambut patung pertama yaitu Watumaturu atau Patung Tidur. Bentuknya mirip dengan Palindo, hanya posisinya rebah.

Tidak jauh dari Watumaturu, terhampar lebih dari 10 buah batu besar umumnya berbentuk kalamba, benda megalitik berbentuk seperti drum/tong batu yang berbentuk silinder terpotong. Fungsinya salah satunya sebagai tempat penyimpan jenazah semacam kubur batu. Sama seperti di beberapa daerah lain di Asia Tenggara. Kalamba-kalamba ini ada yang bertutup ada yang tida. Yang bertutup nampak tutupnya sudah berserak pecah di tanah. Dari sekian banyak Kalamba ada juga yang seperti bak mandi dengan lubang dan partisi.

Selain Kalamba, ada juga Dakon, batu dengan lubang-lubang di permukaan datarnya. Lubang-lubang ini merupakan representasi konstelasi bintang dan berfungsi sebagai semacam kalender untuk menentukan waktu tanam dsb.

Ada juga batu seperti Watumaturu, hanya bentuknya lebih kecil. Batu ini asalnya dari sungai kemudian dipindahkan ke sini untuk menghindari kerusakan akibat gerusan air sungai. Memang batu-batu ini kemungkinan besar dibuat di area sungai.

Selesai  menyusuri semua batu-batu besar ini, kami kembali ke Kantor Taman Nasional tempat Moti diparkir. Sekitar 100m sebelumnya tampak Wak Iyan berhenti sejenak. Lalu melanjutkan menyusul kami ke Kantor dan ikut duduk. Kami sempat bercanda dan bertanya pada Wak Iyan, “Are you OK, Wak?” Wak Iyan menjawab,”I am very very very…”. Lalu berjalan ke arah Moti, yang tak lama kemudian diikuti oleh Pak Beni yang mau mengambil motornya. Tiba-tiba Pak Beni berteriak panik, “Buuuu… Paaak… supirnya jatuh nii…”. Kontan kami pun berlarian ke arah beliau dan mendapati Wak Iyan sudah terbaring di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.

Abah secara spontan langsung memeluk Wak Iyan dan menyandarkan kepalanya di dadanya sambil menepuk pipinya dan memanggil-manggil. Petugas TN lalu berinisiatif membawakan air minum. Karena masih tak sadarkan diri, air tsb diusap ke wajah Wak Iyan. Tak lama kemudian Wak Iyan seperti menarik napas dua kali sambil mengeluarkan suara seperti ngorok. Wajahnya seketika memutih dan bibirnya membiru. Kami tidak sepenuhnya sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kami lalu memutuskan untuk membawa Wak Iyan ke Puskemas yang jaraknya hanya 2-3 menit saja dari lokasi kejadian. Dengan dibantu petugas Taman Nasional, Wak Iyan kami angkut ke dalam Moti. Seorang petugas memegangi kepala Wak Iyan sementara Ambu melepaskan sepatunya.

Tiba di Puskesmas, Wak Iyan langsung diresusitasi oleh dokter yang sedang bertugas. Detak jantungnya sudah sangat lemah, hampir tidak terdeteksi. Kami mulai menangis dan panik. Abah berkali-kali berusaha menelpon Teh Mela, istri Wak Iyan, namun gagal karena berkali-kali pula yang mengangkat telpon puteranya yang palling kecil, Rasya 3thn.

Setelah diresusitasi dua kali, dokter memanggil kami berdua dan menyampaikan berita kematian Wak Iyan. Wak Iyan dinyatakan sudah meninggal ketika tiba di Puskesmas (death on arrival). Dunia seakan runtuh bagi kami saat itu. Kami berpelukan dan menangis sejadi-jadinya. Kepergian Wak Iyan sangat mendadak. Siapa sangka di tengah lembah ini Wak Iyan pergi selama-lamanya. Bagaimana kami menyampaikan berita ini pada Teh Mela, Adly dan Rasya? Berbagai pikiran berkecamuk, ngapain kami jauh-jauh ke sini? Perjalanan ini dan semuanya menjadi tidak ada artinya ketika kita kehilangan orang terdekat kita.

Petugas Puskesmas lalu memanggil kami untuk menyelesaikan proses administrasi.  Kami masih terisak ketika menemui dokter untuk membicarakan masalah formalin dan prosedur pembawaan jenazah kembali ke Garut. Itu satu-satunya yang terpikir saat ini, membawa jenazah kembali ke keluarga supaya mereka bisa memandang wajah Wak Iyan untuk terakhir kali dan menguburkan almarhum di tanah kelahirannya. Rupanya jumlah formalin di Puskesmas ini tidak mencukupi dan jenazah Wak Iyan baru akan diformalin di Tentena.

Waktu berjalan seperti mimpi. Dengan sinyal kembang kempis, Ambu berusaha menghubungi keluarga di Jakarta; Ibu Vay, Wan Nur dan Nenek. Semua berduka. Sementara Abah belum berhasil juga menghubungi Teh Mela. Akhirnya diutus keluarga dari Garut yaitu Bu Ani, untuk menyampaikan secara khusus berita ini ke Teh Mela.

Orang-orang mulai berdatangan ke Puskesmas. Ada polisi yang mengurus surat kematian. Ada ketua mesjid yang datang menawari untuk memandikan dan mengganti pakaian beliau. Jenazah Wak Iyan dibersihkan saja, karena proses sholat dan mengkafankan akan dilakukan di Garut dengan keluarganya nanti.

Kami lalu menghubungi Mas Herry untuk minta dicarikan info mengenai formalin dan prosedur pengiriman jenazah melalui Poso atau Palu. Lalu Mas Herry mengusulkan untuk menghubungi Mas Wawan di Poso. Mas Wawan lalu mencarikan informasi dan memberi satu nomor telpon perusahaan kasket di Palu. Semua informasi dengan mudah terkumpul, alhamdulillah.

Tiba waktunya berangkat. Diputuskan jenazah akan dibawa dengan ambulans. Ambu dan Sabiya akan mendampingi Abah membawa Moti. Hakim mendampingi jenazah Wak Iyan di ambulans. Kami lalu berpamitan pada semua, termasuk pada Pak Beni dan sekali lagi kami menangis sambil berpelukan. Pak Beni menolak bayaran jasa beliau mengantar kami dan minta upahnya diberikan saja pada keluarga Wak Iyan.

Sekitar pukul 2 kami keluar dari Lembah Bada setelah sebelumnya singgah di Kantor Polisi untuk melapor. Beberapa ibu yang berjualan di Kantor Kecamatan dan sempat ketemu Wak Iyan sempat mendatangi kami dan menyampaikan bela sungkawa.

Setelah berkali-kali berusaha, akhirnya 2,5 jam setelah kejadian, kami bisa bicara langsung dengan Teh Mela yang sudah dapat kabar duluan dari keluarga Abah yang datang langsung ke rumahnya. Walaupun sempat dikabarkan drop, kondisi Teh Mela sudah sangat tenang ketika berbicara dengan kami. Teh Mela menerima dengan ikhlas kepergian Wak Iyan dan menanti kedatangan jenazah di Garut.

Perjalanan menuju Tentena didampingi oleh Pak Sekretaris Camat yang menggunakan motor. Kondisi jalan yang rusak parah di beberapa ruas dan Moti yang lambat, maka diputuskan ambulans dan Pak Sekcam berjalan duluan supaya jenazah bisa segera diformalin.

Di perjalanan pihak kasket sms dan meminta kami untuk menggunakan peti mati khusus sebagai syarat untuk penerbangan. Peti mati khusus ini dilengkapi kerangka besi dan ketentuan lainnya. Karena sinyal sudah tidak memungkinkan untuk telepon, kami sms Mas Herry dan menyampaikan pesan pihak kasket mengenai peti. Tak lama sinyal hilang total, komunikasi terputus tidak bisa dilanjutkan.

Sambil nyupir, Abah tidak henti menangis di perjalanan. Ambu berkali-kali menenangkan dan mengingatkan karena jalanan sudah mulai gelap dan di kanan jalan tebing curam menganga.

Sekitar pukul 7 malam, Moti baru tiba di Tentena. Alhamdulilah jenazah sudah diformalin. Hakim, Mas Herry dan Pak Sekcam yang mengurus semuanya. Terlihat tulisan tangan dan tanda tangan Hakim diformulir ketika kami akan membayar.

Alhamdulilah walaupun komunikasi terputus, Mas Herry sempat menerima sms kami dan sudah menyiapkan semuanya dari mulai peti mati layak terbang, ambulans serta avanza untuk kami berempat berangkat ke Palu. Setelah selesai proses admistrasi di Rumah Sakit Tentena, kami berangkat ke rumah Mas Herry untuk bersiap dan menitipkan Moti.

Tinggal satu lagi yang belum selesai yaitu tiket pesawat kami berempat. Komunikasi dan sinyal internet baru tersambung kembali ketika kami tiba di Tentena, 4 jam setelah komunikasi terakhir. Tiket pesawat dengan penerbangan bersama jenazah sisa 2 kursi, itupun kelas bisnis. Pesawat lainnya baru tiba siang atau sore hari di Bandara Soeta karena transit dulu di Makassar.

Abah lalu menelpon seseorang yang dikenalnya sewaktu bertugas sebagai wartawan di Malaysia. Beliau adalah Dubes RI di Malaysia dan orang nomor satu di Lion Air yaitu Pak Rusdi Kirana. Setelah bertanya kabar sejenak, Abah menyampaikan maksudnya dan Pak Rusdi langsung memberikan solusi berupa penukaran pesawat, dari yang tadinya Airbus menjadi Boeing. Sehingga ada selisih 6 kursi yang bisa kami tempati. Pak Rusdi juga memesankan tiket kami dan mengirim reservasinya melalui WA, kami tinggal membayarnya di loket ketika tiba di Bandara Palu nanti. Alhamdulilah. Tiket selesai.

Kami membersihkan badan, packing dan beres-beres si Moti yang akan kami tinggal entah untuk berapa lama di rumah Mas Herry di Tentena.

Perjalanan ke Palu baru dimulai pukul setengah dua belas malam. Menurut google map, perjalanan seharusnya memakan waktu sekitar 7 hingga 8 jam. Pihak kasket sebetulnya ragu kami bisa sampai tepat waktu. Jadwal pesawat pukul 7. Sementara jenazah harus tiba 3 jam sebelum pesawat berangkat, artinya jenazah harus sudah tiba pukul 4 pagi. Artinya lagi kami hanya punya waktu 5 jam untuk sampai di Palu.

Alhamdulilah, supir ambulans dan supir kendaraan yang kami tumpangi sangat terlatih. Walaupun di tengah jalan sempat turun hujan dan kempes ban, kami tiba di bandara Palu pukul 4 dini hari  atau 3,5 jam lebih awal dari perkiraan di google map. Mungkin karena Allah sayang dengan Wak Iyan, perjalanannya lancar dan dimudahkan.

Setelah mengantar jenazah Wak Iyan ke perusahaan cargo dan membayar ongkosnya, kami didrop di bandara. Tiket yang dibookingkan Pak Rusdi Kirana kami bayar di loket bandara tanpa masalah.

Kami boarding tepat waktu. Tiba di cabin, suasana sedikit chaos karena kursi beberapa penumpang termasuk kami, sudah ditempati penumpang lain. Kami diminta berdiri di bagian belakang pesawat dulu untuk menunggu petugas mengatur kursi. Sambil menunggu, pramugari meminta maaf pada kami dan mengatakan bahwa semalam pesawat ditukar yang menyebabkan kekacauan kecil ini terjadi. Kami berempat diam menutup mulut rapat-rapat sambil memandang dinding. 

Pesawat landing di Bandara Soeta tepat waktu. Uwan Nur dan Om Paat, tante dan sepupu Ambu menjemput kami di bandara. Ambulans yang akan membawa Wak Iyan ke Garut juga sudah stand by. Proses pengambilan jenazah di cargo memakan waktu sekitar 1,5 jam. Pukul setengah 12 siang kami meluncur beriringan ambulans keluar dari bandara menuju Garut.

25 November Tiba waktunya meninggalkan Pantai Siuri menuju tujuan berikutnya yaitu Lembah Bada. Sudah lama Lembah Bada atau Taman Nasional Lore Lindu ada dalam list kami. Apalagi kalau bukan karena keberadaan patung-patung megalitik yang ada di situ. Lucunya jalur menuju Lembah Bada di google map tidak ada dari Tentena, melainkan harus dari Palu. Karena ketiadaan sinyal internet, sampai sekarang jalan baru  ini belum bisa muncul di Google Map. Padahal usianya sudah dua tahun. Tidak jauh dari Pantai Siuri, jalanan akan terbelah dua, yang kanan menuju Kota Tentena, yang kiri ke Lembah Bada. Walaupun tidak terlalu lebar, jalanan menuju lembah Bada relatif mulus, setidaknya di beberapa kilometer pertama. Jalanan kebanyakan menanjak diseling dengan turunan. Di kiri jalan sesekali nampak Danau Poso seperti mengucapkan selamat jalan hingga lama-lama menghilamg berganti pamandangan hutan selang seling dengan pemandangan bukit. Menurut beberapa orang yang kami temui sebelumnya, perjalanan ke Lembah Bada akan memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam. Padahal dulunya sebelum dibangun jalan, waktu tempuhnya bisa 2 hingga 3 hari, mau tidak mau  harus menginap di jalan, biasanya di tepi sungai. Ternyata tidak semua ruas jalan mulus, setelah berjalan sekitar 1 jam, beberapa kali Ambu dan Abah harus turun dari mobil untuk memandu Wak Iyan yang menyetir supaya Moti tidak terperosok di lubang atau terlalu menepi mendekati jurang. Ada satu ruas jalan yang agak parah, jalanannya menurun curam, berlubang-lubang lalu membelok di ujungnya. Moti harus pelan-pelan bergerak jika tidak bisa-bisa terguling, naudzubillah mindzaliik. Setelah berjalan sekitar 4 jam, pelan-pelan nampaklah lembah dengan bangunan kecil-kecil seperti mainan di kejauhan. Lembah Bada di depan mata! Jalanan lalu menurun terus dan tibalah kami di Lembah Bada. Desa pertama yang menyambut kami adalah Desa Gintu dengan lapangan hijau luas di tengah desa. Kami berhenti di depan lapangan untuk bertanya mengenai Lembah Bada dan patung megalitiknya. Rupanya kami harus menempuh jarak sekitar 7km lagi untuk sampai di desa tempat patung-patung itu berada. Ambu sempat belanja bahan makanan berupa telur, tempe dan sayuran untuk makan malam ini dan sarapan besok pagi. Maklum di Lembah Bada ini sulit menemukan warung makanan apalagi yang halal. Sesampainya kami di Lore Barat, kami mencari mesjid yang hanya satu-satunya di sini. Atas saran dari beberapa jamaah, setelah sholat kami menemui Pak Camat untuk meminta izin parkir dan bermalam Kantor Kecamatan.  Pak Camat menyarankan kami untuk berkunjung ke Patung Palindo dulu sore ini karena menurut beliau lokasinya bisa dijangkau dengan Moti. Jalanan ke Palindo masih berupa tanah. Di kiri dan kanannya diapit kebun dan savana. Kami tiba menjelang senja. Siapapun yang membuat patung ini punya cita rasa seni luar biasa. Landscape yang begitu cantik menjadi ruang pamer yang menakjubkan bagi patung megalitik ini. Palindo yang artinya Sang Penghibur merupakan personifikasi dari tokoh setempat, biasanya pemimpin sebuah kelompok masyarakat. Tingginya sekitar 2.8 m dengan posisi miring, kemungkinan karena gempa. Di sekitar patung ini sedang dibangun jalan setapak yang melingkar yang sebetulnya mengganggu kealamian patung ini. Salah seorang pekerjanya, Pak Beni berpendapat sama. Kami ngobrol lalu meminta Pak Beni untuk mengantar kami melihat situs megalitik lain besok. Kami lalu kembali ke Kantor Camat untuk bersiap bermalam di sini. Setelah Maghrib hujan turun dengan lebatnya. Setelah makan malam, kami segera tidur ditemani hujan yang membuat lembah tanpa sinyal data ini semakin syahdu.
24 November Malam kami lalui tanpa memasang AC karena udara di tepi Danau Poso ini cukup sejuk. Kami menikmati matahari terbit di tepi danau. Air danau berwarna keemasan ditimpa sinar matahari. Beberapa pengunjung yang kemping semalaman nampak turun satu persatu menikmati sejuknya air danau. Di tanah samping tempat Moti parkir, tumbuh tanaman labu yang subur dan berdaun lebat. Setelah searching tentang daun labu yang rupanya banyak khasiatnya, ambu meminta ijin pada pemiliknya untuk memetik daunya dan dijadikan teman sarapan kami pagi itu bersama telur dadar dan nasi putih. Rupanya rasa daun labu itu enak sekali, renyah. Setelah sarapan, kami cuci piring di tepi danau. Kebetulan sabun cuci piring yang kami pakai ramah lingkungan dan tidak mencemari air danau. Setelah itu kami leyeh-leyeh menikmati suasana tepi danau. Semakin siang, pengunjung semakin ramai, maklum hari Minggu. Melihat ramainya pengunjung yang berenang menikmati air danau, akhirnya kami tergoda juga untuk terjun berenang. Sedang asik berenang, tiba-tiba nampak rombongan orang Bali berarak mendekati pantai sambil membawa sesajen lengkap dengan live musik gamelan Bali. Rupanya mereka mau melarung abu jenazah yang baru saja dikremasi dalam upacara Ngaben. Prosesi berlangsung sekitar 1 jam. Menjelang Maghrib kami pun naik dan berganti pakaian. Menu makan malam ini agak istimewa. Ambu sempat membeli buah-buahan sewaktu di Tentena yang diolah jadi salad buah untuk menemani makan malam hari ini. Malam hari, listrik sempat padam. Abah dan Wak Iyan minum kopi sambil ngobrol dengan pemilik warung.