13 Januari 2020

Pagi ini kami didatangi oleh teman-teman dari Genpi Touna (Kabupaten Tojo Una-una) dan Dinas Pariwisata. Kami lalu diundang untuk mengunjungi Pusat Informasi Turis dan diberi buku panduan wisata untuk Tojo Una-una.

Jalanan menuju Luwuk Banggai mulus dan lebar. Pemandangan laut Teluk Tomini senantiasa menemani di kiri jalan.

Kami berhenti untuk makan siang di Bunta lalu melanjutkan perjalanan kembali dan tiba di Luwuk ba’da Ashar. Mesjid Agung yang rencananya akan kami tempati rupanya sedang dalam proses renovasi namun ada bagian dalam mesjid masih bisa dipakai untuk sholat. Toiletnya juga aman, walaupun toilet lama dan hanya 2 kamar mandi yang bisa dipakai. Parkirannya luas dan aman karena malam hari pintu pagarnya ditutup. Jadi walaupun kami sempat keliling Kota Luwuk untuk mencari mesjid lain, kami putuskan kembali ke Mesjid Agung untuk menginap.

Oh ya, petang itu kami sempat menemui Bang Acho. Beliau sudah lama menghubungi kami lewat DM IG meminta bertemu dan menawarkan diri menjadi guide gratis selama kami di Luwuk. Kami berkunjung ke rumahnya dan ngobrol sebentar lalu pamit kembali ke mesjid. Di mesjid kami didatangi boleh kawan Kak Wawan, Dr Zul dan Kak Ida. Mereka membawa sejumlah oleh-oleh makanan khas Luwuk. Lepas Maghrib kami pergi ke tepi laut untuk makan malam ikan bakar katombo (seperti ikan kembung) khas Luwuk. Laut Luwuk bersiih sekali. Pemerintahnya memang menjaga kebersihan laut sebagai pekarangan kotanya dengan melarang warga mengotori dan membang sampah ke laut. Konon Bu Susi Pudjiastuti sewaktu menjadi Mentri Kelautan selalu menyempatkan diri untuk nyebur berenang di Kilo 5, salah satu pantai terkenal di sini.

12 Januari 2020

Sebetah-betahnya kami di suatu tempat, kami harus melanjutkan perjalanan.

Pagi ini pintu Moti diketuk. Salah satu staf pengurus mesjid mengantar kue-kue dan bubur ayam untuk sarapan kami, alhamdulillah, terimakasih.

Kami lalu ke rumah Kak Wawan untuk berpamitan. Dari sekian banyak interaksi, pertemuan dengan teman-teman Poso ini adalah salah satu yang paling berkesan. Kisah berbalut persahabatan yang akan kami kenang seumur hidup.

Kami belajar banyak sekali di Poso termasuk tentang Sintuwu Maroso. Sejak ratusan tahun lalu masyarakat Poso dikenal sebagai masyarakat yang terbuka terhadap pendatang. Untuk merayakan keragaman yang ada, masyarakat Poso mempraktekkan falsafah ‘Sintuwu Maroso’ yang artinya persatuan/kerjasama yang kuat. Kearifan lokal ini dapat dijabarkan dalam tiga makna utama yaitu tuwu mombetuwunaka (hidup saling menghargai), tuwu mombepatuwu (hidup saling menghidupi), dan tuwu mombesungko (hidup saling menolong). Kearifan lokal inilah yang menjadi pengawal keharmonisan yang berlangsung ratusan tahun di Tanah Poso. .

Tragedi kemanusiaan di akhir ’98 hingga 3 tahun kemudian berhasil memporak-porandakan semua sendi kehidupan di Poso. Kekerasan massal dan konflik horizontal menghancurkan tidak hanya rumah ibadah, perkampungan dan fasilitas umum, namun yang lebih parah ialah trauma mental berkepanjangan. .

Hari ini, Poso sudah pulih sepenuhnya. Benih-benih ‘Sintuwu Maroso’ kembali disemai dan mulai tumbuh subur. Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan yang diinisiasi anak-anak muda keren di @genpeace.poso di bawah bimbingan kakak-kakaknya yang luar biasa @gprimasatya @harrymelumpi dan @linisigilipu .

Masyarakat Poso telah lulus dari ‘ujian’nya. Salah satu hadiah terbaiknya adalah pelajaran tentang damai yang sesungguhnya. Bukan damai kosong di lisan, namun damai sesungguhnya dari hati. Dan kita patut belajar banyak tentangnya.

Moti tiba di Ampana menjelang Ashar. Di sini kami akan mencari informasi mengenai penyebrangan ke Togean sekaligus tempat bermalam sebelum lanjut ke Luwuk esok hari. Setelah makan siang dan mengisi solar, kami mencari informasi penyebrangan. Rupanya angin dan gelombang di Teluk Tomini sedang kencang-kencangnya. Kapal ASDP biasanya akan urung berlayar dalam situasi seperti ini.

Halaman Kantor Syahbandar tepat di tepi Teluk Tomini jadi pilihan malam itu. Sambil menunggu hari gelap, kami berjalan-jalan di tepi laut yang dipadati penduduk yang sedang menonton laut yang bergolak dahsyat. Nampak beberapa orang sedang berenang dengan beraninya, mencoba menyelamatkan benda-benda tampak seperti kursi dan meja. Rupanya kursi meja ini berasal dari kedai di tepi laut yang tersapu gelombang.

Menjelang petang badai mereda dan laut mulai kalem, kami tidur dengan nyenyak malam itu.

11 Januari 2020
Pagi ini kami janjian dengan Kak Wawan dan teman-teman Genpi. Kami akan eksplor Poso dan sekitarnya.

Tujuan pertama adalah bubur Manado atau Tinutuan. Terus terang ini adalah pengalaman pertama bagi kami makan bubur Manado di tanah Sulawesi. Kami pernah makan bubur yang sama namun di Jawa sana.

Mirip dengan saudaranya di Jawa, Bubur Manado di sini direbus dengan labu kuning dan dihidangkan bersama rebusan sayur mayur seperti bayam dan jagung. Bedanya di sini ada tambahan sayur yang namanya daun gedi. Yang bikin istimewa tentu saja sambalnya, yaitu sambal roa. Selain ikan asin dan bakwan jagung, bubur di sini dihidangkan bersama tahu yang digoreng separuh matang. Bagi Ambu dan Bang Hakim yang memang penggemar bubur, hari ini adalah salah satu hari paling bersejarah karena kami makan Bubur Manado yang enaaaak sekali.

Kami lalu mengunjungi Pamannya Kak Wawan yang merupakan kakak ipar dari Santoso, tersangka teroris asal Poso yang ditembak mati tahun 2016 lalu. Kami ngobrol-ngobrol sebentar terutama mengenai Santoso dan sepak terjangnya sebelum wafat. Beliau berpendapat seharusnya orang-orang seperti Santoso mendapat perlakuan lebih baik dengan diberikan pembinaan dan upaya damai lain sebelum dieksekusi.

Mesjid bersejarah di Poso jadi tujuan berikutnya. Mesjid ini didirikan tahun 1923 oleh Baso Ali, salah satu pembawa agama Islam ke Poso. Kami sempat ketemu dengan keturunan Baso Ali yang tinggal di sebelah mesjid dan ngobrol mengenai kerukunan antar agama di Poso. Menurut beliau, apresiasi dan toleransi sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Poso karenanya tidak perlu diajarkan lagi.

Perjalanan lanjut ke Air Panas Oe Maramu di kaki Gunung Biru. Mirip dengan yang pernah kami lihat di Bajawa Flores di mana air dingin dan panas yang berasal dari dua sungai berbeda, bertemu di tengah dan menghasilkan air yang panasnya pas untuk dipakai berendam dan berenang. Tidak ada satupun dari kami yang mandi, kami hanya ngobrol dan bercanda di sini. Kak Wawan sempet bikin lomba makan belimbing wuluh segala.

Dalam perjalanan kembali ke Poso kami singgah makan durian di rumah penduduk. Pemiliknya transmigran asal Bali yang sudah lama menentap di Sulawesi Tengah.

Hari yang menyenangkan ini ditutup dengan makan seafood sambil menikmati angin laut di pinggir Teluk Tomini.

Oh ya, malam ini Moti harus pindah parkir, ada acara di GOR. Kami bergeser ke Mesjid Agung Poso untuk menginap malam ini.

10 Januari 2020

Pagi ini Kak Wawan menjemput kami untuk keliling Kota Poso dengan mobil kecil, sementara Moti istirahat di GOR.

Tempat pertama yang kami sambangi adalah lokasi awal terjadinya konflik massal di Poso. Tempat yang tadinya terminal ini tampak lengang dan kosong. Konflik yang terjadi sekitar 2 tahun sebelumnya ini sebetulnya merupakan perselisihan antara dua keluarga, tanpa usur SARA di dalamnya. Namun konflik ini merupakan bibit dari konflik SARA berkepanjangan yang terjadi kemudian.

Mobil lalu melewati sebuah bekas perkampungan yang sudah ditinggalkan dan dipenuhi semak belukar. Masih tampak sisa bangunan yang pernah berdiri dan kemudian dibakar saat kerusuhan.

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah makam Talasa, makam Raja Poso. Raja yang pluralis dan memilih untuk tidak memeluk satu agamapun demi kerukunan rakyatnya.

Dari makam Talasa kami ke sebuah rumah berarsitektur Belanda yang dulunya tempat tinggal misionaris Belanda yang datang ke Poso. Kami berjumpa dan ngobrol dengan Opa keturunan kesekian Raja Talasa yang kebetulan sedang ada di rumah ini.

Dari situ kemudian kami break dulu. Sementara Abah, Bang Hakim dan Kak Wawan sholat Jumat, Ambu dan Sabiya ngemil mangga bok suguhan Mamanya Kak Wawan, maniis sekali.

Setelah makan siang coto traktiran Kak Wawan (enak bener, diajak jalan-jalan, free lunch pula) kami lanjut jalan. Kami menyusuri area pecinan yang pernah jadi pusat elektroniknya Poso, sebelum kerusuhan, seperti Glodok kalo di Jakarta. Pusat pertokoan lama ini sudah usang dan terbengkalai, ditinggal para pemiliknya.

Perjalanan lalu dilanjutkan makam tua Belanda dan makam massal muslim korban kerusuhan Poso. Beberapa makam nampak berkelompok menandakan korban berasal dari dusun yang sama. Banyak jenazah korban berasal dari daerah yang jauh. Begitu banyak nyawa terkorban, tua muda, besar kecil, laki-laki perempuan, keganasan bertopeng identitas yang sungguh tidak pandang bulu.

Dari makam massal kami jalan-jalan ke Bukit Cinta memandang Poso dari ketinggian. Kota Poso tampak seperti kota mainan dengan rumah dan gedung-gedung kecil yang dibelah sungai di tengahnya.

Dari Bukit Cinta, perjalanan dilanjutkan terus ke atas ke Buyumboyo. Melawat makam remaja putri yang dibunuh dalam perjalanannya ke sekolah. Satu dari tiga remaja ini berhasil melarikan diri dan berlari kembali ke kampungnya. Kini remaja ini sudah dewasa, menikah dengan seorang pria muslim dan menjadi mualaf.

Malam itu kami menghabiskan waktu di Cafe Banua Momberata untuk baku bagi carita dengan kawan-kawan di Poso. Sedikit cerita mengenai Cafe Banua Momberata, cafe ini adalah kami yang stafnya adalah penyandang tuna rungu, keren ya.

Baku bagi carita malam itu lumayan seru dan ramai. Walau hujan dan dimulai agak lambat dari jadwal, banyak juga kawan-kawan yang datang. Terimakasih Kak Wawan dan Genpeace Poso.

9 Januari 2020

Hari ini kami akan melanjutkan perjalanan ke Utara. Persinggahan pertama adalah Kota Poso untuk berjumpa Kak Wawan dan kawan-kawan di sana.

Di tengah jalan kami singgah untuk mencicipi Durian Kuku. Disebut begitu mengikuti nama dusun tempat durian ini berasal. Rasanya manis legit, kata Hakim mirip Musang King, durian unggulan negara tetangga. Walaupun ukurannya relatif kecil, dagingnya tebal dan bijinya kecil.

Yang paling menarik perhatian adalah pembuka durian. Device yang nggak pernah kami liat sebelumnya. Ada semacam gunting yang menghadap ke bawah. Di bawahnya ada dudukan tempat durian diletakkan. Gunting ini dikendalikan dengan batang seperti pegangan gunting tanaman. Dengan satu gerakan, durian pun membuka dengan mudahnya. Kata Om penjual durian, anaknya yang membuatkan alat ini. Kreatif.

Moti langsung ke rumah Kak Wawan. Setelah telponan waktu peristiwa Wak Iyan, inilah kali pertama kami bertemu langsung Kak Wawan. Seperti kawan lama, kami larut dalam obrolan. Obrolan berkisar konflik Poso lalu dan upaya-upaya perdamaian pasca konflik yang diinisiasi oleh para pemuda. Keren. Kak Wawan juga cerita bagaimana konflik berkedok agama di Poso mencabik-cabik tatanan kehidupan masyarakatnya. “Agama mengajarkan manusia untuk mencintai sesamanya, namun manusia begitu mencintai agamanya hingga lupa mencintai sesamanya”, quote Kak Wawan.

Kak Wawan ini terbilang istimewa, one of the kind. Di usia yang relatif muda, banyak sekali karya yang sudah dihasilkan untuk masyarakatnya. Ada Poso Babaca, lembaga non profit untuk menguatkan proses perdamaian pasca konflik melalui literasi. Sikola Mambine, gerakan pendidikan kepemimpinan perempuan akar rumput. Tana_poso, mengkampanyekan keindahan Poso untuk mereframe riwayat konflik dan kekerasan yang pernah melanda Poso, Banua Momberata sebuah ruang pertemuan inklusi sekaligus cafe di mana stafnya adalah penyandang tuna rungu, Gen Peace Poso sebuah komunitas anak muda yang aktif mengkampanyekan perdamaian dan kerukunan lintas agama. Mas Wawan juga Penerima Award Internasional N Peace 2018 untuk kategori Campaigning for Action dan delegasi Indonesia untuk berbagai konferensi internasional seperti Generation Democracy Youth Leadership dan Young Southeast Asian Leader Initiative (maaf ya kalo kurang lengkap, puanjaaang soalnya 😅). Ketika gempa Palu 2018 Mas Wawan menginisiasi Relawan SulTeng Kuat, sebuah gerakan solidaritas tanggap bencana Palu 2018.

Sambil ngobrol kami dijamu durian (lagi) dan makan siang istimewa masakan Mamanya Kak Wawan.

Setelah makan Kak Wawan nganter Moti ke GOR Poso, tempat parkir untuk bermalam nanti. Dari GOR kami lalu jalan kaki ke Pantai Penghibur. Sambil menikmati senja di tepi Teluk Tomini kami ngobrol dengan kawan-kawan Gen Peace Poso. Di sela-sela camilan, kami ngobrol tentang Konflik Poso, Lembah Bada, Gempa Palu serta aktivitas teman-teman Gen Peace.

Malamnya kami nongkrong di Mie Kuncrut. Mie paling nge-hits sePoso raya. Ngobrol seru kembali dilanjutkan. Setelah membuatkan kami mie, Kak Wawan cerita soal gempa Palu dan aktivitasnya bersama Relawan Palu Bangkit.

Malam semakin larut, kami pulang kembali ke GOR untuk beristirahat.

8 Januari

Setelah berminggu-minggu melalui proses refleksi dan evaluasi, akhirnya kita tetapkan hati untuk melanjutkan perjalanan dan menyelesaikannya hingga ke Kalimantan.

Karena jadwal pesawat ke Palu pagi banget, kami menginap di rumah Uwan Nur malam sebelum berangkat.

Pukul setengah 3 pagi kami sudah bangun. Berkemas dan bersiap berangkat ke bandara dengan taxi online. Perjalanan ke bandara berjalan lancar, alhamdulillah. Setibanya di bandara, kami memakai fasilitas mesin check in. Kebetulan tidak ada bawaan yang harus dimasukkan ke bagasi. Setelah itu kami mencari oleh-oleh tambahan buat keluarga Mas Herry dan Mas Wawan.

Pesawat landing di Bandara SIS Al Jufri Palu sekitar pukul 9 WITA. Setelah sarapan di salah satu restoran bandara, mobil travel menjemput kami ke pool elf Pamona yang akan membawa kami ke Tentena.

Ongkosnya 520rb untuk kami berempat. Setelah menunggu sekitar 15 menit, mobil pun berangkat. Kami menyusuri daerah-daerah yang terkena tsunami. Banyak lapangan kosong bekas reruntuhan di sana-sini. Ketika keluar dari Kota Palu, di area bernama Kebun Kopi, kami berjumpa macaca hitam, monyet endemik Sulawesi. Beberapa mobil nampak berhenti memberi makan primata-primata ini.

Perjalanan berlanjut hingga tiba waktunya makan siang. Menunya Ikan katombo bakar dengan camilan lalampa, nasi ketan berisi ikan yang dibungkus daun lalu dipanggang.

Hari sudah Ashar ketika kami sampai di Tentena. Mas Herry menyambut kami. Bahagia dan terharu melihat Moti kembali. Terimakasih sudah menunggu dengan sabar ya.

Moti punya dua aki/batere. Sebelum ditinggal sebulan yang lalu, satu batere sudah dilepas. Namun ternyata batere satunya terdrain oleh alarm dan tape. Walhasil si Moti nggak bisa nyala. Untung Shop and Drive meminjamkan kami satu batere cadangan. Setelah diganti baterenya, akhirnya Moti bisa dinyalakan.

Malam ini kami kembali tidur di dalam Moti. Udara Tentena yang sejuk tidak memerlukan AC, kami cukup buka jendela lebar-lebar. Selamat malam Tentena, jumpa lagi besok.