27-28 November

Kami tiba di Garut pukul setengah lima sore, jalanan menuju rumah Wak Iyan sudah dipadati oleh orang yang hendak bertakziah.


Di rumah duka, selain kerabat Wak Iyan, juga sudah hadir Om Dudi, adiknya Abah yang tinggal di Bandung dan Om Ade, adik sepupu Abah yang tinggal di Cirebon. Bersama mereka, kami berempat diminta singgah dulu di Rumah Kang Odik, abangnya Wak Iyan.

Menjelang Maghrib kami baru bisa bertemu Teh Mela serta keluarga.Teh Mela tegar sekali. Walaupun matanya sembab, tidak ada lagi air mata yang keluar. Kami menyerahkan barang-barang Wak Iyan berupa sepatu, pakaian dan beberapa cendera mata yang dikumpulkan Wak Iyan selama di Sulawesi. Ada batu, cincin, sarung dan t-shirt pemberian beberapa kawan baik yang kami temui di Sulawesi. Juga jurnal A Iyan, tulisan tangan beliau selama di perjalanan.

Jenazah dimandikan petang itu juga dan disholatkan setelah Sholat Maghrib. Surau penuh hingga shaf terakhir. Tua muda, kecil besar, laki perempuan, semua khusu mendoakan salah satu orang terbaik di kampung ini.

Malam itu kami pamit menginap di rumah Bi Ani. Kami beristirahat dulu setelah melalui hari yang panjang.

Keesokan harinya kami putuskan untuk kembali ke Jakarta. Kami kembali ke Kampung A Iyan untuk berpamitan dan ziarah ke makam beliau.

Kami ke makan diantar oleh A Edi, abangnya Wak Iyan. Memandangi lagi pusara Wak Iyan, teringat lagi perjalanan bersama beliau selama 40 hari terakhir, kami tak kuasa menahan tangis. Orang yang dua hari yang lalu masih ngobrol dan bercengkrama sekarang tinggal pusara. Misteri kehidupan yang tak seorang pun punya jawabannya.

You’ll always be in our heart, Wak

Dari tanah makam yang lokasinya di ketinggian ini kami bisa memandang ke sebagian area desa. A Edi menunjuk sebuah jalan setapak yang membentang melingkari sebagian desa sebagai salah satu karya A Iyan dan teman-teman desanya. Juga tangga menuju makam adalah salah satu hasil sumbangan tangan Wak Iyan. Belum program-program tahunan beliau bersama IMR. Nggak heran begitu banyak warga desa yang ingin mengiringi kepergian beliau tadi malam.

Kami kembali ke Jakarta dengan hati yang masih pilu karena kehilangan namun lega, karena tanggungjawab pada keluarga sudah kami tunaikan yaitu membawa jenazah Wak Iyan kembali ke kampung halaman dan keluarganya.

Tiba di Jakarta kami menginap beberapa hari di rumah Uwan Nur. Rasa kehilangan begitu mencekam dan kami tidak ingin sendiri. Setidaknya di rumah Uwan kami bisa menghadapi kesedihan bersama-sama keluarga besar.

Kami tinggal di Jakarta selama sebulan lebih kemudian. Kebetulan, ada beberapa urusan yang minta diselesaikan. Pada saat bersamaan kami juga melakukan refleksi dari peristiwa kepergian Wak Iyan seperti dipesankan Mas Ilik dan Kak Mella, teman-teman baik kami di Semarang.  Memikirkan ulang tentang perjalanan. Mengevaluasi kembali tujuan perjalanan. Merumuskan SOP untuk Hakim dan Sabiya jika hal yang sama terjadi pada kami. Dsb. Dsb.

26-27 November

Pagi itu suasana di Lembah Bada segar dan sejuk setelah semalaman diguyur hujan. Ambu dan Abah jalan pagi menyusuri jalanan desa yang datar dan membeli sayur untuk sarapan pagi.

Wak Iyan laporan kalau di belakang Kantor Kecamatan ini ada tumbuhan kangkung yang bisa kita manfaatkan untuk makan siang atau makan malam nanti. Kami bertepuk bahagia membayangkan makan kangkung siang nanti.

Setelah selesai sarapan, Moti lalu bergerak ke pertigaan jalan menuju Patung Palindo tempat kita janjian dengan Pak Beni. Hari ini kita akan ke Situs Suso’ dan beberapa situs lainnya.

Moti diparkir di depan Kantor Taman Nasional. Dari situ kami harus berjalan kaki sekitar 900m melewati area persawahan. Kami memakai sepatu supaya nyaman. Wak Iyan yang biasanya nggak ikut kalo harus jalan kaki, kali ini ikut bersiap memakai sepatunya.

Hari masih belum terlalu terik, kami menyusuri area persawahan sambil ngobrol dan bercanda. Di perjalanan kami melewati kebun coklat dan vanili.Pak Beni sempat singgah di salah satu kebun dan  menunjukkan pada kami cara mengawinkan tanaman vanili supaya bisa berbuah. Vanili basah dihargai sekitar 400rb perkg sementara yang kering bisa mencapai 3jt perkg.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, sebelum tiba di kompleks, kami disambut patung pertama yaitu Watumaturu atau Patung Tidur. Bentuknya mirip dengan Palindo, hanya posisinya rebah.

Tidak jauh dari Watumaturu, terhampar lebih dari 10 buah batu besar umumnya berbentuk kalamba, benda megalitik berbentuk seperti drum/tong batu yang berbentuk silinder terpotong. Fungsinya salah satunya sebagai tempat penyimpan jenazah semacam kubur batu. Sama seperti di beberapa daerah lain di Asia Tenggara. Kalamba-kalamba ini ada yang bertutup ada yang tida. Yang bertutup nampak tutupnya sudah berserak pecah di tanah. Dari sekian banyak Kalamba ada juga yang seperti bak mandi dengan lubang dan partisi.

Selain Kalamba, ada juga Dakon, batu dengan lubang-lubang di permukaan datarnya. Lubang-lubang ini merupakan representasi konstelasi bintang dan berfungsi sebagai semacam kalender untuk menentukan waktu tanam dsb.

Ada juga batu seperti Watumaturu, hanya bentuknya lebih kecil. Batu ini asalnya dari sungai kemudian dipindahkan ke sini untuk menghindari kerusakan akibat gerusan air sungai. Memang batu-batu ini kemungkinan besar dibuat di area sungai.

Selesai  menyusuri semua batu-batu besar ini, kami kembali ke Kantor Taman Nasional tempat Moti diparkir. Sekitar 100m sebelumnya tampak Wak Iyan berhenti sejenak. Lalu melanjutkan menyusul kami ke Kantor dan ikut duduk. Kami sempat bercanda dan bertanya pada Wak Iyan, “Are you OK, Wak?” Wak Iyan menjawab,”I am very very very…”. Lalu berjalan ke arah Moti, yang tak lama kemudian diikuti oleh Pak Beni yang mau mengambil motornya. Tiba-tiba Pak Beni berteriak panik, “Buuuu… Paaak… supirnya jatuh nii…”. Kontan kami pun berlarian ke arah beliau dan mendapati Wak Iyan sudah terbaring di tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.

Abah secara spontan langsung memeluk Wak Iyan dan menyandarkan kepalanya di dadanya sambil menepuk pipinya dan memanggil-manggil. Petugas TN lalu berinisiatif membawakan air minum. Karena masih tak sadarkan diri, air tsb diusap ke wajah Wak Iyan. Tak lama kemudian Wak Iyan seperti menarik napas dua kali sambil mengeluarkan suara seperti ngorok. Wajahnya seketika memutih dan bibirnya membiru. Kami tidak sepenuhnya sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kami lalu memutuskan untuk membawa Wak Iyan ke Puskemas yang jaraknya hanya 2-3 menit saja dari lokasi kejadian. Dengan dibantu petugas Taman Nasional, Wak Iyan kami angkut ke dalam Moti. Seorang petugas memegangi kepala Wak Iyan sementara Ambu melepaskan sepatunya.

Tiba di Puskesmas, Wak Iyan langsung diresusitasi oleh dokter yang sedang bertugas. Detak jantungnya sudah sangat lemah, hampir tidak terdeteksi. Kami mulai menangis dan panik. Abah berkali-kali berusaha menelpon Teh Mela, istri Wak Iyan, namun gagal karena berkali-kali pula yang mengangkat telpon puteranya yang palling kecil, Rasya 3thn.

Setelah diresusitasi dua kali, dokter memanggil kami berdua dan menyampaikan berita kematian Wak Iyan. Wak Iyan dinyatakan sudah meninggal ketika tiba di Puskesmas (death on arrival). Dunia seakan runtuh bagi kami saat itu. Kami berpelukan dan menangis sejadi-jadinya. Kepergian Wak Iyan sangat mendadak. Siapa sangka di tengah lembah ini Wak Iyan pergi selama-lamanya. Bagaimana kami menyampaikan berita ini pada Teh Mela, Adly dan Rasya? Berbagai pikiran berkecamuk, ngapain kami jauh-jauh ke sini? Perjalanan ini dan semuanya menjadi tidak ada artinya ketika kita kehilangan orang terdekat kita.

Petugas Puskesmas lalu memanggil kami untuk menyelesaikan proses administrasi.  Kami masih terisak ketika menemui dokter untuk membicarakan masalah formalin dan prosedur pembawaan jenazah kembali ke Garut. Itu satu-satunya yang terpikir saat ini, membawa jenazah kembali ke keluarga supaya mereka bisa memandang wajah Wak Iyan untuk terakhir kali dan menguburkan almarhum di tanah kelahirannya. Rupanya jumlah formalin di Puskesmas ini tidak mencukupi dan jenazah Wak Iyan baru akan diformalin di Tentena.

Waktu berjalan seperti mimpi. Dengan sinyal kembang kempis, Ambu berusaha menghubungi keluarga di Jakarta; Ibu Vay, Wan Nur dan Nenek. Semua berduka. Sementara Abah belum berhasil juga menghubungi Teh Mela. Akhirnya diutus keluarga dari Garut yaitu Bu Ani, untuk menyampaikan secara khusus berita ini ke Teh Mela.

Orang-orang mulai berdatangan ke Puskesmas. Ada polisi yang mengurus surat kematian. Ada ketua mesjid yang datang menawari untuk memandikan dan mengganti pakaian beliau. Jenazah Wak Iyan dibersihkan saja, karena proses sholat dan mengkafankan akan dilakukan di Garut dengan keluarganya nanti.

Kami lalu menghubungi Mas Herry untuk minta dicarikan info mengenai formalin dan prosedur pengiriman jenazah melalui Poso atau Palu. Lalu Mas Herry mengusulkan untuk menghubungi Mas Wawan di Poso. Mas Wawan lalu mencarikan informasi dan memberi satu nomor telpon perusahaan kasket di Palu. Semua informasi dengan mudah terkumpul, alhamdulillah.

Tiba waktunya berangkat. Diputuskan jenazah akan dibawa dengan ambulans. Ambu dan Sabiya akan mendampingi Abah membawa Moti. Hakim mendampingi jenazah Wak Iyan di ambulans. Kami lalu berpamitan pada semua, termasuk pada Pak Beni dan sekali lagi kami menangis sambil berpelukan. Pak Beni menolak bayaran jasa beliau mengantar kami dan minta upahnya diberikan saja pada keluarga Wak Iyan.

Sekitar pukul 2 kami keluar dari Lembah Bada setelah sebelumnya singgah di Kantor Polisi untuk melapor. Beberapa ibu yang berjualan di Kantor Kecamatan dan sempat ketemu Wak Iyan sempat mendatangi kami dan menyampaikan bela sungkawa.

Setelah berkali-kali berusaha, akhirnya 2,5 jam setelah kejadian, kami bisa bicara langsung dengan Teh Mela yang sudah dapat kabar duluan dari keluarga Abah yang datang langsung ke rumahnya. Walaupun sempat dikabarkan drop, kondisi Teh Mela sudah sangat tenang ketika berbicara dengan kami. Teh Mela menerima dengan ikhlas kepergian Wak Iyan dan menanti kedatangan jenazah di Garut.

Perjalanan menuju Tentena didampingi oleh Pak Sekretaris Camat yang menggunakan motor. Kondisi jalan yang rusak parah di beberapa ruas dan Moti yang lambat, maka diputuskan ambulans dan Pak Sekcam berjalan duluan supaya jenazah bisa segera diformalin.

Di perjalanan pihak kasket sms dan meminta kami untuk menggunakan peti mati khusus sebagai syarat untuk penerbangan. Peti mati khusus ini dilengkapi kerangka besi dan ketentuan lainnya. Karena sinyal sudah tidak memungkinkan untuk telepon, kami sms Mas Herry dan menyampaikan pesan pihak kasket mengenai peti. Tak lama sinyal hilang total, komunikasi terputus tidak bisa dilanjutkan.

Sambil nyupir, Abah tidak henti menangis di perjalanan. Ambu berkali-kali menenangkan dan mengingatkan karena jalanan sudah mulai gelap dan di kanan jalan tebing curam menganga.

Sekitar pukul 7 malam, Moti baru tiba di Tentena. Alhamdulilah jenazah sudah diformalin. Hakim, Mas Herry dan Pak Sekcam yang mengurus semuanya. Terlihat tulisan tangan dan tanda tangan Hakim diformulir ketika kami akan membayar.

Alhamdulilah walaupun komunikasi terputus, Mas Herry sempat menerima sms kami dan sudah menyiapkan semuanya dari mulai peti mati layak terbang, ambulans serta avanza untuk kami berempat berangkat ke Palu. Setelah selesai proses admistrasi di Rumah Sakit Tentena, kami berangkat ke rumah Mas Herry untuk bersiap dan menitipkan Moti.

Tinggal satu lagi yang belum selesai yaitu tiket pesawat kami berempat. Komunikasi dan sinyal internet baru tersambung kembali ketika kami tiba di Tentena, 4 jam setelah komunikasi terakhir. Tiket pesawat dengan penerbangan bersama jenazah sisa 2 kursi, itupun kelas bisnis. Pesawat lainnya baru tiba siang atau sore hari di Bandara Soeta karena transit dulu di Makassar.

Abah lalu menelpon seseorang yang dikenalnya sewaktu bertugas sebagai wartawan di Malaysia. Beliau adalah Dubes RI di Malaysia dan orang nomor satu di Lion Air yaitu Pak Rusdi Kirana. Setelah bertanya kabar sejenak, Abah menyampaikan maksudnya dan Pak Rusdi langsung memberikan solusi berupa penukaran pesawat, dari yang tadinya Airbus menjadi Boeing. Sehingga ada selisih 6 kursi yang bisa kami tempati. Pak Rusdi juga memesankan tiket kami dan mengirim reservasinya melalui WA, kami tinggal membayarnya di loket ketika tiba di Bandara Palu nanti. Alhamdulilah. Tiket selesai.

Kami membersihkan badan, packing dan beres-beres si Moti yang akan kami tinggal entah untuk berapa lama di rumah Mas Herry di Tentena.

Perjalanan ke Palu baru dimulai pukul setengah dua belas malam. Menurut google map, perjalanan seharusnya memakan waktu sekitar 7 hingga 8 jam. Pihak kasket sebetulnya ragu kami bisa sampai tepat waktu. Jadwal pesawat pukul 7. Sementara jenazah harus tiba 3 jam sebelum pesawat berangkat, artinya jenazah harus sudah tiba pukul 4 pagi. Artinya lagi kami hanya punya waktu 5 jam untuk sampai di Palu.

Alhamdulilah, supir ambulans dan supir kendaraan yang kami tumpangi sangat terlatih. Walaupun di tengah jalan sempat turun hujan dan kempes ban, kami tiba di bandara Palu pukul 4 dini hari  atau 3,5 jam lebih awal dari perkiraan di google map. Mungkin karena Allah sayang dengan Wak Iyan, perjalanannya lancar dan dimudahkan.

Setelah mengantar jenazah Wak Iyan ke perusahaan cargo dan membayar ongkosnya, kami didrop di bandara. Tiket yang dibookingkan Pak Rusdi Kirana kami bayar di loket bandara tanpa masalah.

Kami boarding tepat waktu. Tiba di cabin, suasana sedikit chaos karena kursi beberapa penumpang termasuk kami, sudah ditempati penumpang lain. Kami diminta berdiri di bagian belakang pesawat dulu untuk menunggu petugas mengatur kursi. Sambil menunggu, pramugari meminta maaf pada kami dan mengatakan bahwa semalam pesawat ditukar yang menyebabkan kekacauan kecil ini terjadi. Kami berempat diam menutup mulut rapat-rapat sambil memandang dinding. 

Pesawat landing di Bandara Soeta tepat waktu. Uwan Nur dan Om Paat, tante dan sepupu Ambu menjemput kami di bandara. Ambulans yang akan membawa Wak Iyan ke Garut juga sudah stand by. Proses pengambilan jenazah di cargo memakan waktu sekitar 1,5 jam. Pukul setengah 12 siang kami meluncur beriringan ambulans keluar dari bandara menuju Garut.

25 November Tiba waktunya meninggalkan Pantai Siuri menuju tujuan berikutnya yaitu Lembah Bada. Sudah lama Lembah Bada atau Taman Nasional Lore Lindu ada dalam list kami. Apalagi kalau bukan karena keberadaan patung-patung megalitik yang ada di situ. Lucunya jalur menuju Lembah Bada di google map tidak ada dari Tentena, melainkan harus dari Palu. Karena ketiadaan sinyal internet, sampai sekarang jalan baru  ini belum bisa muncul di Google Map. Padahal usianya sudah dua tahun. Tidak jauh dari Pantai Siuri, jalanan akan terbelah dua, yang kanan menuju Kota Tentena, yang kiri ke Lembah Bada. Walaupun tidak terlalu lebar, jalanan menuju lembah Bada relatif mulus, setidaknya di beberapa kilometer pertama. Jalanan kebanyakan menanjak diseling dengan turunan. Di kiri jalan sesekali nampak Danau Poso seperti mengucapkan selamat jalan hingga lama-lama menghilamg berganti pamandangan hutan selang seling dengan pemandangan bukit. Menurut beberapa orang yang kami temui sebelumnya, perjalanan ke Lembah Bada akan memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam. Padahal dulunya sebelum dibangun jalan, waktu tempuhnya bisa 2 hingga 3 hari, mau tidak mau  harus menginap di jalan, biasanya di tepi sungai. Ternyata tidak semua ruas jalan mulus, setelah berjalan sekitar 1 jam, beberapa kali Ambu dan Abah harus turun dari mobil untuk memandu Wak Iyan yang menyetir supaya Moti tidak terperosok di lubang atau terlalu menepi mendekati jurang. Ada satu ruas jalan yang agak parah, jalanannya menurun curam, berlubang-lubang lalu membelok di ujungnya. Moti harus pelan-pelan bergerak jika tidak bisa-bisa terguling, naudzubillah mindzaliik. Setelah berjalan sekitar 4 jam, pelan-pelan nampaklah lembah dengan bangunan kecil-kecil seperti mainan di kejauhan. Lembah Bada di depan mata! Jalanan lalu menurun terus dan tibalah kami di Lembah Bada. Desa pertama yang menyambut kami adalah Desa Gintu dengan lapangan hijau luas di tengah desa. Kami berhenti di depan lapangan untuk bertanya mengenai Lembah Bada dan patung megalitiknya. Rupanya kami harus menempuh jarak sekitar 7km lagi untuk sampai di desa tempat patung-patung itu berada. Ambu sempat belanja bahan makanan berupa telur, tempe dan sayuran untuk makan malam ini dan sarapan besok pagi. Maklum di Lembah Bada ini sulit menemukan warung makanan apalagi yang halal. Sesampainya kami di Lore Barat, kami mencari mesjid yang hanya satu-satunya di sini. Atas saran dari beberapa jamaah, setelah sholat kami menemui Pak Camat untuk meminta izin parkir dan bermalam Kantor Kecamatan.  Pak Camat menyarankan kami untuk berkunjung ke Patung Palindo dulu sore ini karena menurut beliau lokasinya bisa dijangkau dengan Moti. Jalanan ke Palindo masih berupa tanah. Di kiri dan kanannya diapit kebun dan savana. Kami tiba menjelang senja. Siapapun yang membuat patung ini punya cita rasa seni luar biasa. Landscape yang begitu cantik menjadi ruang pamer yang menakjubkan bagi patung megalitik ini. Palindo yang artinya Sang Penghibur merupakan personifikasi dari tokoh setempat, biasanya pemimpin sebuah kelompok masyarakat. Tingginya sekitar 2.8 m dengan posisi miring, kemungkinan karena gempa. Di sekitar patung ini sedang dibangun jalan setapak yang melingkar yang sebetulnya mengganggu kealamian patung ini. Salah seorang pekerjanya, Pak Beni berpendapat sama. Kami ngobrol lalu meminta Pak Beni untuk mengantar kami melihat situs megalitik lain besok. Kami lalu kembali ke Kantor Camat untuk bersiap bermalam di sini. Setelah Maghrib hujan turun dengan lebatnya. Setelah makan malam, kami segera tidur ditemani hujan yang membuat lembah tanpa sinyal data ini semakin syahdu.
24 November Malam kami lalui tanpa memasang AC karena udara di tepi Danau Poso ini cukup sejuk. Kami menikmati matahari terbit di tepi danau. Air danau berwarna keemasan ditimpa sinar matahari. Beberapa pengunjung yang kemping semalaman nampak turun satu persatu menikmati sejuknya air danau. Di tanah samping tempat Moti parkir, tumbuh tanaman labu yang subur dan berdaun lebat. Setelah searching tentang daun labu yang rupanya banyak khasiatnya, ambu meminta ijin pada pemiliknya untuk memetik daunya dan dijadikan teman sarapan kami pagi itu bersama telur dadar dan nasi putih. Rupanya rasa daun labu itu enak sekali, renyah. Setelah sarapan, kami cuci piring di tepi danau. Kebetulan sabun cuci piring yang kami pakai ramah lingkungan dan tidak mencemari air danau. Setelah itu kami leyeh-leyeh menikmati suasana tepi danau. Semakin siang, pengunjung semakin ramai, maklum hari Minggu. Melihat ramainya pengunjung yang berenang menikmati air danau, akhirnya kami tergoda juga untuk terjun berenang. Sedang asik berenang, tiba-tiba nampak rombongan orang Bali berarak mendekati pantai sambil membawa sesajen lengkap dengan live musik gamelan Bali. Rupanya mereka mau melarung abu jenazah yang baru saja dikremasi dalam upacara Ngaben. Prosesi berlangsung sekitar 1 jam. Menjelang Maghrib kami pun naik dan berganti pakaian. Menu makan malam ini agak istimewa. Ambu sempat membeli buah-buahan sewaktu di Tentena yang diolah jadi salad buah untuk menemani makan malam hari ini. Malam hari, listrik sempat padam. Abah dan Wak Iyan minum kopi sambil ngobrol dengan pemilik warung.
23 November Pagi ini kami bertemu Mas Harry Melumpi. Beliau adalah teman Mas Gunawan dari Poso yang sudah kontak-kontakan dengan kami melalui DM IG. Begitu mengetahui kami akan singgah di Tentena, Mas Wawan lalu meminta Mas Herry untuk menemui kami. Dan terjadilah pertemuan itu pagi ini. Mas Harry adalah dosen di Universitas Kristen Tentena. Beliau adalah lulusan Universitas Sam Ratulangi Manado. Skripsinya mengenai Ikan Sidrat, semacam belut, ikan endemik yang hidup di Danau Poso. Ikan ini bertelur di laut, lalu kembali ke Danau Poso untuk tumbuh besar, mengingatkan kami pada siklus Ikan Salmon, hanya ikan salmon sebaliknya. Bertelur di sungai air tawar. Kami ngobrol banyak mengenai konflik Poso dan kondisi pasca konflik serta upaya generasi muda Poso untuk mencegah konflik yang sama terjadi lagi. Mas Harry juga memberi informasi mengenai tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Poso, antara lain Danau Poso, Air Terjun Saluopa dan Lembah Bada. Dengan dibantu Mas Harry kami menyusun rencana dan itenerary. Diputuskan untuk berangkat hari itu juga ke Saluopa dan Pantai Siuri. Namun sebelum berangkat kami harus mengisi solar dulu. Karena di rute yang akan kami tempuh hingga ke Lembah Bada nanti, tidak ada SPBU. Mas Harry lalu mengantar kami mengisi solar di SPBU Tentena. Antrian panjang sudah mengular ketika kami tiba. Selain jumlah yang terbatas, listrik sedang padam sehingga SPBU tidak bisa beroperasi. Kami lalu memutuskan untuk belanja keperluan logistik dulu di minimarket setempat. Ketika sedang berbelanja, tiba-tiba datang kabar baik dari Mas Harry. Temannya ada yang punya stock solar sekitar 35L, sesuai kebutuhan kami. Mas Herry, Wak Iyan dan anak-anak lalu berputar arah dan pergi ke tempat solar berada sementara Ambu dan Abah menyelesaikan berbelanja. Alhamdulilah, solar sudah terisi. Waktunya makan siang. Walaupun mayoritas non muslim, banyak kedai muslim yang berjualan makanan di pusat Tentena. Kami pilih salah satu kedai dan makan siang dengan menu sate sapi. Setelah drop cucian di laundry, kami lalu bergerak ke Saluopa. Jarak Saluopa dari Kota Tenena hanya sekitar 20 menit dengan si Moti.
Setelah membeli tiket, kami menyusuri jalan setapak sekitar 800m menuju air terjun. Air mengalir jernih di sungai-sungai kecil di tepian jalan setapak. Terdapat beberapa kedai dan mungkin juga homestay sepanjang jalan setapak ini.
Setelah sekitar 5 menit berjalan, mulai terdengar gemuruh air. Tak lama muncullah Saluopa, air terjun 12 tingkat di hadapan kami. Airnya deras namun jernih sekali. Di samping air terjun nampak tangga menuju ke 12 tingkat bagian atas air terjun. Setelah puas berfoto di bagian dasar, kami mulai meniti tangga, menapaki bagian air terjun tingkat demi tingkat. Wak Iyan memilih tinggal di bawah, padahal semakin ke atas, air terjun ini semakin cantik. Terasnya kadang melebar kadang menyempit, jeramnya kadang tinggi kadang pendek. Kami tiba di tingkat tertinggi air terjun. Sudah tidak ada jeram hanya kolam dengan air tenang yang jernih. Kami lalu turun kembali dan berhenti di tingkat di mana kolamnya agak lebar sehingga kami bisa berenang, bergabung dengan beberapa pemuda yang asik berenang sambil berfoto-foto. Setelah puas, kami turun. Karena hari mulai sore, pengunjung sudah pulang semua. Kesempatan untuk berfoto lagi. Setelah berganti pakaian di Moti, kami bergerak ke Pantai Siuri, tepian Danau Poso. Karena hari mulai gelap, papan nama Pantai Siuri sempat terlewat, kami harus putar balik. Setelah membayar tiket masuk di portal, kami pun masuk dan sempat melihat Danau Poso sebelum hari benar-benar gelap.
22 November Seperti biasa sekitar pukul 6, Pak Yus dan Bu Lina memanggil kami untuk sarapan. Menunya nasi goreng istimewa masakan Pak Yus. Pagi ini kami akan meninggalkan Soroako menuju Tentena. Di sebuah mesjid di Mangkutana kami berhenti untuk sholat Dzuhur. Perjalanan dilanjutkan kembali hingga hampir 3 jam sebelum kami berhenti untuk makan siang. Abah lalu bergantian menyetir dengan Wak Iyan. Sekitar pukul 4 jam kemudian, sekitar jam 7 malam kami sampai di Mesjid di Tentena. Ketika meminta izin untuk parkir pada pengurus mesjid, kami diminta bicara langsung dengan Kapolsek setempat yang kebetulan salah satu jamaah sholat. Akibatnya kami semua sak moti-motinya harus ke kantor Polisi. Mungkin mereka lebih waspada karena Poso adalah daerah bekas konflik. Sehingga lebih berhati-hati terhadap kehadiran orang asing.
Setelah Abah menerangkan siapa kami dan maksud kedatangan kami ke Tentena, kami lalu dibebaskan dan bisa kembali ke mesjid. Kami menginap di halaman mesjid satu-satunya di pusat Tentena.
21 November Sebagai pemegang lisensi ekaploitasi nikel, PT Vale memiliki kewajiban untuk menghijaukan kembali area bekas tambangnya. Prosesnya cukup rumit. Ketika membuka lahan untuk penambangan pertama kali, tanah permukaan  yang subur tidak dibuang begitu saja, melainkan disimpan untuk keperluan penghijauan kembali nantinya. Data mengenai jumlah dan jenis tanaman dicatat sebagai pedoman penghijauan. Di Nursery PT Vale dilakukan proses pembibitan untuk tanaman yang akan ditanam kembali. Ketika lahan sudah siap untuk dikembalikan ke kondisi asalnya, tanah pernukaan yang subur dikembalikan lalu ditanami bibit dari nursery. Hari ini kami dapat kesempatan untuk mengunjungi nursery. Macam-macam tanaman dikembangkan di sini. Selain pohon-pohon endemik, ditanam juga tanaman bernilai ekonomis seperti pohon gaharu. Kami sempat mencium aromanya dari secebis batang pohonnya yang dibakar. Sebuah aroma (selain rempah-rempah) yang dahulu kala menyebabkan para pedagang dari sejauh Eropa dan Timur Jauh, datang ke negri kita untuk mengangkutnya kembali ke negrinya. Selain pembibitan tanaman, di nursery ini juga dipamerkan mesin-mesin berat (yang sudah tidak terpakai) yang digunakan dalam proses penambangan. Karena untuk melihat langsung di dalam area pertambangan tentu saja tidak memungkinkan, maka di sinilah kita berkesempatan untuk menyentuh langsung mesin-mesin raksasa yang besarnya seperti dinosaurus ini. Siangnya kami dijemput Pak Yus dan makan siang di rumah makan khas Soroako. Ada kapurung, tepung sagu yang sudah dilarutkan dalam air panas sehingga bertekstur seperti lem yang dimakan dengan kuah udang yang rasanya segar asam. Ada bakwan dengan ikan teri basah dll. Terimakasih Pak Yus dan Bu Lina. Dari makan siang, Bu Lina mengajak kami makan cendol dan pisang ijo. Hampir meletus perut kami karena padatnya makanan siang itu. Siangnya kami istirahat di rumah Bu Lina. Malam harinya kami diajak makan malam sate paru di Kota Soroako. Sepulang dari makan, Pak Yus dan Bu Lina mengajak kami singgah di Expo Akademi Soroako. Kami sempat berbagi cerita mengenai perjalanan dengan teman-teman di ATS.
20 November Sewaktu kami meninggalkan Soroako minggu lalu, Pak Bupati mendadak mengajak kami bertemu dan tinggal lebih lama di Soroako. Akan tetapi kami tidak bisa memenuhi permintaan beliau saat itu dan berjanji akan kembali ke Soroako dalam perjalanan ke Utara. Janji kami penuhi, tapi Pak Bupati sedang ada kesibukan dan tidak bisa menemui kami. Selain dengan Pak Bupati, niat kami ke Soroako karena akan ketemu kembali dengan Keluarga Pak Yus dan Bu Lina. Hari sudah sore ketika kami tiba di Soroako. Kedatangan kami disambut Bu Lina dengan keceriaannya yang nggak pernah habis dan tentunya Kimi si kecil yang menggemaskan. Menjelang malam, Bu Lina memanggil tukang bakso dan kami rame-rame ditraktir bakso. Malam harinya kami diajak melihat proses pengolahan nikel dari jarak lebih dekat.
Memandangi dari luar hiruk pikuk pabrik pemurnian nikel. Menatap asap yang mengepul dan langit yang memerah ketika proses yang melibatkan suhu ribuan derajat sedang berlangsung. Memegang langsung sisa hasil pengolahan yang sudah dingin dan masih mengandung besi dan nikel. Sisa hasil pengolahan ini diangkut menggunakan kendaraan khusus karena suhunya masih sekitar 1500°C. Kami diajak makan di semacam pasar malamnya Soroako, hasil karya Lurah Lau Jiha. Tempat hang out muda mudinya Soroako. Hakim makan nasi kuning  Manado yang membuatnya jatuh cinta dan terobsesi untuk mencari nasi kuning setibanya di Manado nanti.
19 November Pagi setelah sholat subuh kami bergegas mandi. Jalan panjang menanti kita hari ini. Setelah mengambil cucian dan sarapan Sop Kikil Bypas, kami keluar dari Kendari menuju Kolaka.  Di Kolaka kami isi solar kemudian mencari warung untuk makan siang. Waktu Abah ke toilet warung, nampak airnya jernih sekali. Kebetulan persediaan air di Moti sudab menipis, kami minta air di warung ini dan dijinkan, alhamdulillah. Ketika kami hendak berangkat, datang serombongan bapak-bapak & ibu-ibu PNS, rupanya mereka viewer. Setelah berfoto, kami pun berangkat. Kami melewati Kota Kolaka dan berencana bermalam di Kolaka Utara, sama seperti ketika berangkat. Belum sampai di Polres tempat kami menginap sebelumnya, kami menemukan sebuah mesjid di tepi jalan. Berbeda dengan pengalaman kami sebelumnya di Kolaka Utara, mesjid ini bersih, airnya juga jernih. Kami putuskan bermalam di sini. Malam itu Abah yang bertugas untuk masak. Kami makan makan malam mie instan hasil masakan chef Abah.
18 November Pagi sekali kami sudah bangun. Pesawat yang akan membawa kami kembali ke Kendari akan terbang pukul 7 pagi ini. Walaupun ditawari, kami nggak nafsu sarapan pagi ini. Kami memilih menghabiskan waktu memandangi sunrise di beranda hotel sambil minum kopi. Sebetulnya Ambu agak nyesel beli tiket hari ini. Seharusnya kami stay satu atau dua hari lagi. Tapi ya sudahlah, lesson learnt. Lain kali mikir dulu sebelum pencet tombol ‘beli’ tiket. Sampai di Palu, Wak Iyan sudah menunggu di bandara. Kami ngedrop cucian di laundry lalu sarapan. Setelah sarapan Abah mencari tukang las untuk memperbaiki bagian meja lipat yg rusak. Kami lalu ke Museum Kendari. Selain sedang mati listrik, museumnya buluk  nggak terlalu terawat akhirnya kami skip. Kami lalu ke mesjid terapung Kendari, ikon baru primadona Kota Kendari. Mesjidnya memang cantik dan megah. Tapi begitu kami masuk ke toiletnya, kesan megah pupus seketika. Toilet dan tempat wudhunya super kotor. Untuk perempuan harus memakai toilet laki-laki yang hanya di pisah semacam triplek separuh badan. Kami urung memakai toiletnya. Entah siapa yang berwenang merawat mesjid ini, gagal memahami bahwa segala fasilitas penunjang mesjid adalah bagian dari mesjid dan harus dirawat sama baiknya dengan bangunan utamanya. Toilet yang rusak, ubin yang pecah di sana sini (padahal bangunan baru) menunjukkan bahwa mesjid cantik ini tidak dibangun dengan kesadaran dan motivasi yang utuh. Karena fasilitas yang buruk serta pelarangan menginap di area masjid, kami kembali menginap di Mesjid Agung Kendari malam ini.