15 November
Pagi jam 7 kapal merapat di pelabuhan Wanci. Kami menunggu hingga penumpang sudah turun semua. Kapal hampir kosong ketika kami sampai di pintu keluar, beberapa orang sedang berusaha keras mengeluarkan sebuah motor melalui pintu keluar penumpang. Laut bersih bening menyambut kedatangan kami begitu menginjakkan kaki di dermaga. Abah dan Hakim lalu menumpang ojek untuk mencari motor sewaan ke pasar. Sekitar setengah jam kemudian mereka kembali dengan motor masing-masing dan tambahan helm. Tujuan pertama : apalagi kalo bukan cari hotel. Hotel pertama tidak jauh dari pelabuhan. Sepertinya hotel ini populer di kalangan pemerintah. Daaan sistem manual alias masi pake bukuu. Pantesan nama hotel ini nggak muncul di aplikasi booking hotel manapun. Mereka menawarkan satu kamar dengan pemandangan ke laut. Sayang baunya apek dan harganya agak mahal. Kami lalu berlanjut ke hotel berikutnya. Hotel yang ini muncul di aplikasi booking. Tapi reviewnya kurang bagus. Setelah melihat langsung, kami paham kenapa reviewnya kurang joss. Kami akhirnya menuju hotel ketiga. Hotelnya masih baru dan reviewnya bagus. Maklum, kami agak trauma dengan hotel di pulau. Maka kami selalu hati-hati jika memilih hotel di pulau. Rupanya hotel ini jauuuuh sekali dari kota. Kami kitari hampir separuh pulau untuk sampai di sini. Hotelnya memang terpencil. Walaupun tinggal ngesot ke bandara, tapi dia satu-satunya yang ada si area ini. Kami langsung jatuh cinta sama pemadandangannya. Bangunannya juga cantik. Furniture dan ambiencenya mengingatkan pada hotel-hotel mewah di Bali dengan harga kurang dari separuhnya.  Beneran cakep. Walau jauh, kami putuskan menginap di sini. Kami booking dua malam melalui Tr*veloka supaya lebih murah. Dengan sinyal internet yang kembang kempis, berhasil juga kami booking secara online. Petang harinya kami keluar untuk berburu senja yang katanya cakep banget. Karena posisi hotel di Timur, kami harus keluar mencari pantai di bagian Barat. Karena kesorean, matahari keburu tenggelam begitu kami sampai. Nggak papa deh, masih kebagian langit yang merona merah disaput warna kebiruan, tsakeeff, alhamdulillah.
Kami lalu lanjut ke kota untuk cari makan malam dan beli air minum. Lalu balik ke hotel yang ternyata kalo malem berasa banget jauhnya.
14 November
Ada beberapa tempat yang ingin kami datangi di Baubau. Untuk memudahkan mobilisasi, kami putuskan untuk menyewa mobil. Baubau sarat dengan sejarah. Sebagai salah satu kerajaan yang masyhur di Nusantara, Kerajaan Buton meninggalkan banyak jejak berupa peninggalan sejarah di Baubau. Salah satu ikonnya adalah Benteng Keraton Buton yang dibangun abad 16 oleh Sultan Buton III. Terbuat dari batu karang, membentang sejauh 2,74km mengelilingi area seluas 23,375 ha dan diklaim sebagai benteng terluas di dunia. Di dalam benteng ini terdapat beberapa istana dan mesjid yang masih utuh berdiri terawat hingga sekarang serta rumah penduduk. Banyak fakta menarik dari  sejarah Kerajaan Buton. Raja pertamanya adalah seorang perempuan bernama Wa Kaa Kaa. Menariknya di kerjaan yang berdiri 7 abad yang lalu, bukan hanya 1 raja perempuan, setelahnya ada 5 perempuan lain yang memerintah Buton.  Rajanya yang keenam mulai memeluk agama Islam dengan gelar Sultan Murhum. Kedudukan Raja tidak diturunkan, melainkan melalui proses pemilihan oleh lembaga semacam Dewan Syuro’. Buton adalah salah satu kawasan di Indonesia yang tidak pernah dijajah Bangsa Eropa, melalui diplomasi, Kerajaan Buton menjalin kerjasama perdagangan dengan Eropa. Karenanya Pedagang Buton sudah melanglang buana keliling dunia hingga ke Madagaskar.
Setelah makan siang, kami mengeksplor area di luar Baubau dan kembali ke Baubau menjelang senja. Sebetulnya Abah ingin sekali mengunjungi area tempat komoditi  terkenal dari Buton yaitu aspal. Namun tempatnya jauh sekali dari pusat kota sehingga terpaksa dicoret dari itenerary. Kami lalu kembali ke hotel, keluar sebentar untuk makan malam dan ngopi di kios depan hotel. Kami lalu berkemas dan bersiap untuk check out karena  pukul 11 malam nanti kami akan naik Jetliner yang akan membawa kami ke Wanci. Jam 9.30 malam kami sudah sampai di Pelabuhan Baubau untuk sekalian mengembalikan mobil yang kami sewa. Setelah menunggu sekitar 15 menit di ruang tunggu, panggilan pada penumpang untuk menaiki kapal mulai berkumandang. Kami naik ke kapal dengan tidak berharap banyak akan kondisi kapal. Seperti yang sudah-sudah, kondisi kapal biasanya di bawah standar, terutama di daerah jauh dari ibukota seperti di sini. Penumpang biasanya menumpuk di dek penumpang beralas kasur yang entah sudah berapa ribu kali ditiduri. Satu kasur biasa ditempati beberapa orang karena jumlah penumpang melebihi kapasitas. Kondisi kapal biasanya panas, pengap dan berbau. Namun kami terkejut melihat kondisi kapal Jetliner milik Pelni ini. Setelah menaiki tangga, kami dihadapkan pada ruangan yang luas dengan kursi dan meja bersusun berkelompok seperti di restoran. Udaranya tidak panas dan pengap, walaupun tidak sejuk-sejuk amat karena jumlah unit AC tidak seimbang dengan luasnya ruangan. Ruangan juga relatif bersih. Kami lalu memilih sebuah tempat di tepi jendela berbagi dengan penumpang lainnya. Ambu lalu berjalan-jalan dan menemukan dua set meja kosong dengan dua bangku berhadapan di ruangan lainnya. Meski bukan di tepi jendela dan jauh dari AC, area ini cukup bersih dan nyaman. Kami berempat bisa tidur di 4 bangku ini.
Jam 11 suling kapal berbunyi 3x menandakan kapal akan berangkat meninggalkan Baubau menuju Wanci. Selamat tinggal Buton, terimakasih untuk semua kebaikan.
13 November Wak Iyan memutuskan untuk tidak ikut ke Buton dan memilih tinggal bersama Moti di Kendari. Kapal ferry cepat menuju Baubau- Buton berangkat pukul 8 pagi. Pukul 7.30 kami sudah tiba di pelabuhan Kendari diantar si Moti. Perjalanan ke Baubau akan memakan waktu sekitar 5 jam-an. Supaya nyaman kami memilih kelas VIP seharga Rp 250,000 per orang, selisih 75rb dengan kelas ekonomi. Matahari bersinar terik luar biasa ketika kami tiba di Pelabuhan Baubau. Tidak banyak opsi kendaraan yang ada di pelabuhan ini. Kami menyewa sebuah kijang Innova yang akan mengantar kami untuk memilih hotel untuk menginap malam ini. Setelah check in, kami beristirahat sebentar lalu keluar untuk makan malam. Ternyata ada taxi online di Baubau. Kami memesan taxi untuk pergi ke pusat kota. Setelah makan malam kami jalan-jalan di sekitar pelabuhan. Di taman kota ada pasar malam. Selain penjual berbagai macam barang dan makanan, ada juga yang menyewakan wahana permainan untuk anak-anak. Ada mobil-mobil mini berbatere, komidi putar dll. Meriah dan ramai. Sepertinya masyarakat Baubau cukup makmur dan memiliki daya beli yang tinggi. Maklum, Baubau terkenal sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia Timur. Orang dari berbagai penjuru datang, transit dan berbisnis di sini.
12 November Pagi ini kami keluar untuk mencari informasi mengenai perjalanan ke Buton dan Wakatobi. Moti diputuskan akan ditinggal di mainland atas pertimbangan waktu dan biaya. Kami akan berangkat ke Buton menggunakan kapal cepat yang akan berangkat esok pagi. Lalu melanjutkan perjalanan keesokan malamnya ke Wanci, Wakatobi dengan Jetliner milik Pelni. Sisa hari ini akan kami pakai untuk mengeksplor Kendari. Sasaran pertama adalah Kebun Raya Kendari. Jangan bayangkan Kebun Raya Bogor yang teduh, Kebun Raya Kendari yang baru saja rampung ini, puanasnya minta ampun. Pintu gerbang tempat membeli tiket kosong melompong, tidak ada orang. Kami terus masuk ke dalam  dengan harapan berjumpa orang. Rupanya tempat ini benar-benar kosong.
Walaupun bertitel ‘kebun raya’, sebagian besar taman berlapis paving blok atau semen. Jangankan pohon rindang, tanaman perdu pun masih jarang. Betul-betul gersang dan panas. Karena Abah dikejar deadline untuk mengedit video, maka kami putuskan untuk tinggal di sini, setidaknya sampai pekerjaan Abah selesai. Bukan hanya kosong dan gersang, toilet di tempat yang baru dibangun ini tidak ada satupun yang berfungsi. Airnya kering. Terus terang kami bingung bagaimana pemerintah setempat memutuskan membangun sebuah kebun raya di area gersang dan sulit air seperti ini. Sekitar pukul 4 sore, pekerjaan Abah selesai dan kami bisa kembali ke Kendari. Kami makan malam di S*laria di salah satu mall di Kendari lalu mencari beberapa keperluan Wak Iyan di mall yg sama. Setelah makan malam kami memenuhi undangan seorang subscriber yang kebetulan sedang haul almarhum ayah mertuanya. Walaupun perut kenyang, kami makan sedikit untuk menghormati pengundang. Malam ini kami kembali ke Mesjid Agung dan bermalam lagi di sini.
10-11 November Seperti kemarin, pagii sekali Pak Yusri sudah memanggil kami untuk sarapan. Beliau sendiri yang masak. Hidangannya seafood berupa cumi dan udang segar. Setelah makan, kami memulai prosesi berpamitan. Dimulai dengan melepas Bang Jo dan Kak Alya ke sekolah. Setelah selesai berbenah Moti keluar komplek diantar oleh Pak Yusri Bu Lina dan si kecil Kimi. Solar Moti tiris, kami harus singgah di SPBU dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Sulawesi Tenggara. Antrian panjang sudah mengular di SPBU Soroako. Lagi-lagi kami dibantu oleh Pak Yusri yang kenal dengan pemilik SPBUnya. Kami tidak mungkin menunggu hingga siang hari. Dengan bantuan Pak Yusri, kami terpaksa memotong antrian. Sebelumnya Pak Yusri dan Abah sempat meminta izin pada beberapa supir truk yang sedang mengantri dan menjelaskan alasan kami diperbolehkan memotong antrian. Beberapa diantara Bapak-bapak supir ini ada yang masuk dan menengok isi Moti. Alhamdulilah, solar Moti terisi sudah. Sebelum berangkat meninggalkan Soroako kami singgah di Kedai UKM Binaan PT Vale yang menjual berbagai produk UKM sekitar Soroako. Ada camilan, lada putih dan hitam, minuman kemasan, kerajinan tangan, t-shirt dan oleh-oleh khas Soroako. Ketika sedang melihat-lihat isi kedai, tiba-tiba Pak Bupati Soroako menelpon dan meminta kami untuk berjumpa. Sayang, waktu tidak mengijinkan. Kami berjanji untuk singgah kembali dan menemui beliau di perjalanan kembali dari Sulawesi Tenggara untuk menuju Sulawesi Tengah nanti. Kami sungguh tidak menyangka perjalanan menuju Sulawesi Tenggara akan menjadi salah satu perjalanan yang paling menantang yang pernah kami lalui selama perjalanan Keliling Indonesia ini. Setelah sekitar 1.5 jam meninggalkan Soroako, tiba di perbatasan Sulawesi Selatan dan Tenggara, terpampang poster dengan gambar kakek tua yang tersenyum memamerkan satu gigi depannya yang tersisa, dengan tulisan ‘Salam Gigi Satu’. Kami terkekeh geli melihat poster itu. Rupanya ‘peringatan’ di poster tadi bukan main-main. Selama hampir kira-kira 20km berikutnya Moti melalui jalanan curam menanjak konstan di gigi satu dengan kondisi jalan berkelok-kelok tajam layaknya zig-zag. Kami tidak berani tidur, was-was mengawasi jalan dan Wak Iyan yang menyetir. Hingga akhirnya jalanan curam menurun menandai berakhirnya ‘rute gigi 1’. Waktu menunjukkan hampir jam 3 sore ketika kami tiba di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara. Kami singgah di salah satu warung di kota untuk makan siang. Lalu mencari solar dan mesjid. Setelah berputar-putar dan singgah di beberapa SPBU, akhirnya kami putuskan membeli solar di sebuah kios dengan harga 10rb per liter, hampir sama dengan harga Dexlite yang nihil di semua SPBU di kota ini.
Sebuah mesjid megah di tepi laut, di daratan hasil reklamasi jadi incaran kami untuk menginap malam ini. Namun kami harus menelan kekecewaan karena toilet di mesjid megah ini super jorol dan tidak terawat. Bau pesing sudah tercium 10m dari pintu masuk toilet. Kami terpaksa mencari tempat lain. Polres yang letaknya tidak jauh dari mesjid jadi pilihan. Abah berbicara dan minta izin pada tuan rumah, alhamdulillah diizinkan.
Udara panas memaksa kami semua duduk-duduk di luar menikmati angin laut yang sejuk hingga tak lama kemudiaan kami terpaksa masuk mobil karrna hujan turun. Walaupun kantornya baru, toliet di Polres inipun ‘sulit’ untuk dipakai. Pagi setelah matahari terbit kami pamit dan mencari mesjid lain. Setelah bersih-bersih dan sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Kendari.
Kami singgah di Kolaka untuk  makan siang, menunya Coto Makassar. Lalu mencari solar dan akhirnya membeli Pertamina Dex yang harganya hampir 12rb per liter, bahan bakar  termahal yang pernah kami beli. Kami tiba di Kendari sekitar pukul 7, langsung mencari laundry untuk mencuci pakaian yang sudah menumpuk sejak di Soroako. Malam ini kami istirahat di Mesjid Agung Kendari.
9 November Karena hari ini hari Minggu, maka Pak Yusri, Bu Lina dan ketiga putra putrinya hendak mengajak kami jalan-jalan di Kota Sorowako. Kami akan berjumpa dengan Lau Jiha, Kepala Desa Soraoko yang prestasinya membawa beliau berjumpa dengan Presiden Jokowi dan mendapat penghargaan sebagai Juara I Lomba Desa. Lau Jiha tidak seperti Kepala Desa kebanyakan. Badannya cenderung ramping tidak seperti pejabat pada umumnya. Cerdas dan kritis, maklum beliau mantan aktivis. Sejak terpilih sebagai lurah, salah satu projek utamanya yaitu membangun dan mengembangkan potensi pariwisata desanya. “Perusahaan (Penambang nikel- PT Vale) suatu hari akan pergi, kita tidak bisa terus menerus menerus menggantungkan hidup pada perusahaan. Kita harus mandiri”.
Berdasarkan pemikiran itulah dengan bekerja sama dengan PT Vale (diwakili oleh Pak Yusri) lahirlah karya-karya Lau Jiha yang memberdayakan masyarakat. Selesai ketemu Lau Jiha kami kembali ke komplek perumahan PT Vale, untuk memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Budi. Pagi tadi Pak Budi yang orang Sumbawa ini mampir ke Moti dan mengundang makan siang di rumahnya. Istrinya akan memasak Ikan Sepat. Hidangan ikan bakar beserta kuah asam khas dari Sumbawa. Hmmm… Tiba di rumah Pak Budi kami jalan-jalan sebentar tepi danau dan melihat beberapa pohon endemik Sulawesi yang tumbuh di sini salah satunya Buah Dengeng yang berulas sekilas seperti jeruk  namun asaam sekali. Digunakan dalam masakan parende yaitu  sup bening dengan cita rasa asam dan kunyit biasanya berisi ikan atau udang. Setelah puas bermain di tepi danau, kami menyambangi rumah Pak Budi. Rumah panggung ang cantik dengan pemandangan lepas ke arah danau. Kami disambut dengan semerbak harum ikan bakar. Istri Pak Budi yang cantik, Mbak Ine yang mempersiapkan semuanya sejak siang tadi. Kami melahap hidangan lezat ini dengan bahagia. Ketika sedang duduk-duduk selepas makan, Pak Yus mendengar suara yang akrab di telinganya, suara klakson raft yang biasa dipakai karyawan PT Vale untuk menyusuri Danau Matano. Kami pun berhamburan kembali ke tepi danau. Pak Yus berbincang dengan operatornya, meminta izin untuk berputar sebentar di sekitar pantai. Satu persatu kami naik ke atas raft. Raft ini cukup besar dan lebar. Di tepiannya ada banyak tempat duduk. Mungkin muat untuk 50an orang. Raft mengarah ke Pantai Ide, melalui beberapa dermaga milik rumah-rumah dinas di atasnya. Dermaga-dermaga ini dilengkapi tangga, akses langsung untuk berenang (?) di danau.  Istimewa bukan? Setelah sampai di Pantai Ide, raft memutar kembali ke arah tempat kita naik tadi. Kami turun dengan gembira, walaupun sebentar, pengalaman menyusuri Danau Matano tadi sungguh menyenangkan. Lepas dari rumah Pak Budi kami kembali ke rumah Pak Yus dan menikmati sisa sore yang akrab di pekarangan sambil ngobrol dengan beberapa kawan Pak Budi dan Bu Lina yang singgah. Malam harinya, kami sekeluarga diundang makan malam di rumah Farrel kawan baru Hakim di Soroako.  Kami bersilaturahmi dan dijamu orangtya Farrel, Pak Mula dan istrinya. Alhamdulilah terimakasih.
8 November Pagi setelah sarapan kami sudah jalan. Tujuan hari ini adalah Danau Matano di Kota Soroako. Jalanan lengang dan relatif mulus. Rumah panggung tradisional khas Sulawesi berbaris rapih di kiri dan kanan jalan. Di separuh perjalanan jalanan melebar mengingatkan kami pada jalan-jalan di pelosok Malaysia. Maklum jalan ini adalah jalur transportasi perusahaan Nikel dari Soroako menuju pelabuhan untuk selanjutnya dikirim ke negara pembelinya. Kami tiba di Soroako sekitar pukul 11 siang. Pantai Salonsa di tepi Danau Matano adalah tujuan kami siang ini. Untuk sampai di pantai ini kami harus masuk ke Kompleks Vale, perusahaan asal Brazil yang sudah puluhan tahun menambang nikel di sini. Tiba di Salonsa kami makan bakso lalu leyeh-leyeh tidur-tiduran di rerumputan di tepi pantai yang rindang dan sejuk. Orang ramai berenang di sini, maklum sekarang hari Sabtu. Airnya tenang dan sejuk. Kami berencana menginap di Pantai Ide, tidak jauh dari Salonsa. Katanya di Pantai Ide fasilitas buat pengunjung lebih lengkap, ada toilet dan warung. Kami lalu menemui security di pos masuk Kompleks. Kepala Security tidak bisa memberikan izin. Izin hanya diberikan oleh bagian ‘eksternal’ perusahaan. Karena hari ini hari Minggu, kami lalu dibawa ke rumah Pemimpin external yaitu Pak Yusri. Sampai di rumah Pak Yusri kami dipersilahkan singgah dan ngadem di rumahnya. Rata-rata rumah pegawai dj kompleks ini berupa rumah kayu panggung. Sekilas seperti bentuknya seperti rumah panggung khas tradisional Sulawesi. Rupanya INCO, pendahulu Vale, sebuah perusahaan penambangan dari Kanada memang mengadaptasi kearifan lokal dengan membuat rumah panggung bagi karyawannya. Fungsinya selain meredam panas dan lebih adem, rumah panggung juga lebih tahan terhadap gempa mengingat wilayah di seputar Danau Matano ini rawan gempa.

Oleh Pak Yusri dan Bu Lina, kami lalu dijamu. Kebetulan, perut kami baru diisi bakso saja sejak siang tadi. Bu Lina menghidangkan pisang pepe/pipih dengan sambel. Pisang pepe adalah pisang nangka yang masih mentah, lalu dipepe/dipipihkan. Kemudian dipanggang. Setelah dipanggang pisang digoreng tanpa tepung sehingga garing bagian luarnya. Lalu dimakan dengan sambal tomat terasi. Walaupun awalnya terasa ganjil, namun lama-lama  rasanya enak juga. Setelah pisang, berturut-turut Bu Lina menyajikan rujak serut, es krim dan kopi. Lengkap dan mengenyangkan, alhamdulillah.
Setelah sholat ashar berjamaah di mesjid, Abah dan Hakim membawa pulang teman, Farrel dan ayahnya Pak Mulawarman. Rupanya Farrel sering menonton channel kami di YouTube. Setelah itu datang kawan-kawan Pak Yusri yang beberapa diantaranya suka diving di Danau Matano dan sempat menemukan barang-barang artefak berharga berusia ratusan tahun. Barang-barang ini berupa senjata kuno dengan ukiran dan tanda yang khas Matano. Matano sebetulnya sudah disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai daerah pandai besi. Sejak ratusan tahun yang lalu hasil karya dari tepi danau terdalam di Indonesia ini diekspor hingga Negeri Tiongkok. Malam pun tiba. Kami tidak diizinkan untuk melaksanakan rencana kami semula untuk menginap di Pantai Ide, alih-alih kami malah disuruh menginap di rumah Bu Lina dan Pak Yusri. Kami tidak mampu menolak tawaran super baik ini. Malam harinya setelah makan malam dan jalan-jalan di Kota Soroako dengan si Moti,  kami istirahat di halaman rumah Bu Lina dan Pak Yusri. Terimakasih banyak.
7 November Di warung langganan tempat kami biasa makan selama di Toraja, kami diwanti-wanti untuk berhati-hati ketika nanti melanjutkan perjalanan ke Utara. Katanya jalanan curam dan sempit. Maka pagi ini kami sengaja berangkat pagi ketika badan masih segar dan pikiran masih awas. Selamat tinggal Homestay Rosalina. Terimakasih untuk semua kebaikan.
Ketika waktu Jumatan tiba, kami berhenti sebentar di Palopo untuk makan siang dan salat Jumat. Perjalanan kami lanjutkan kembali sambil mencari-cari solar, namun tidak ada, akhirnya kami membeli Dexlite untuk Moti. Kami bermalam di mesjid di daerah Manurung, Malili. Selesai sholat Maghrib sepasang suami istri menyapa dan menghampiri kami. Suaminya lalu keluar sebentar dan kembali dengan dua box makanan kecil dan beberapa gelas air mineral untuk kami. Terimakasih .
6 November Kemarin malam kami dapat kabar kalau hari ini akan ada pesta kematian yang diadakan tidak jauh dari tempat kami tinggal. Tentu saja kami nggak sia-siakan kesempatan ini. Pagi setelah sarapan kami pun berangkat. Hakim dengan sepedanya, kami berempat dengan si moti. Kami tiba di tempat pada saat daging sedang diabgi-bagikan. Ada beberapa ekor kerbau dan babi yang sudah dipotong. Walaupun orang asing, kami dipersilahkan untuk masuk dan duduk di salah satu pondok yang diperuntukkan bagi para tamu. Abah dan Hakim sempat ditawari tuak. Biasanya pesta kematian dilaksanakan antara bulan Desember hingga Meret. Akan tetapi jika tidak ada anggota keluarga yang ditunggu, maka pesta bisa diadakan di luar bulan-bulan itu. Seperti yang ini dilaksanakan bulan Desember. Setelah upacara selesai, jenazah siap diantarkan ke peristirahatan terakhirnya berupa kuburan berbentuk rumah. Kami tidak lama di sini, setelah sekitar setengah jam kami pamit pulang. Acara selanjutnya makan siang di warung langganan kami dekat homestay. Kami lalu menghabiskan hari ini dengan membuat video pengantar.
5 November Hari ini kami akan mengeksplor Toraja bagian Utara. Dua dari empat tujuan adalah pemandangan Tana Toraja dari ketinggian.
Dua lainnya adalah kompleks kuburan batu dan perkampungan tradisional. Adalah Lolai sering disebut sebagai negeri di awannya Toraja. Ya untuk melihat awannya kita harus keluar dari rumah seawal jam 4 pagi. Tapi kami terlalu malas untuk itu. Kami sewa mobilnya Pak Enos dan disetiri oleh Papa Amel. Orang Toraja punya tradisi unik. Jika sudah menikah dan punya anak, maka panggilannya berubah menjadi nama anaknya, mirip dengan tradisi di Arab. Maka driver kami adalah Bapak seorang bernama Amel. Dari Lolai kita bisa melihat Rantepao dan Toraja dari ketinggian. Udaranya segar dan pemandangan hijau di dominasi oleh hamparan sawah dan kebun-kebun. Di  sela-selanya Kampung Toraja bermunculan ditandai dengan Tongkonan-tongkonan yang masih nampak menjulang walaupun dari ketinggian seperti ini. Dari Lolai kami ke Batu Tumongga. Masih merupakan dataran tinggi, kami menikmati pisang goreng dan kopi cawerang di sini. Harganya muahal sekali untuk makanan yang rasanya di bawah biasa. Tujuan selanjutnya yaitu Kampung Adat Bori. Sebetulnya sejak dari Lolai tadi pagi, di sana sini jika ada batu besar, di pinggir jalan sekalipun, maka hampir dipastikan batu tsb berlubang dan ada kubur di dalamnya.
Itulah yang kami lihat di Bori. Beberapa batu besar yang dilubangi bentuk persegi empat dan di dalamnya ada peti jenazah. Sebuah kubur batu diperkirakan sudah berusia lebih dari 400 tahun, digunakan sejak tahun 1617. Selain kubur batu, di sini juga terdapat batu batu seperti menhir dengan berbagai ukuran. Jika di Selatan reprsentasi orang yang meninggal dibuat dalam bentuk pantung, maka di sini dalam bentuk menhir. Sebetulnya di Utara juga dulu dibuat patung kayu, akan tetapi patung-patung ini merupakan barang antik berharga mahal incaran kolektor sehingga seringkali hilang dicuri. Maka untuk mencegah hal itu, sekarang dipakai menhir sebagai penggantinya. Untuk bisa memasang satu menhir, keluarga dari orang yang meninggal tsb harus mengorbankan sedikitnya 24 ekor kerbau bule dalam pesta kematiannya. Dari Bori, kami ke Desa Palawa. Mirip Kete Kesu ini adalah salah satu desa tertua di Toraja Utara. Salah satu tongkonan sedang direnovasi atapnya. Biayanya mencapai hingga seratus juta karena bahan bakunya yaitu bambu sudah mulai sulit didapat. Kami bertemu seorang ibu yang memberitahu kami kalau di salah satu rumah sedang ada jenazah yang menunggu untuk dipestakan. Ambu malas lihat, hanya Abah dan Abang. Jenazah tersebut sudah dibungkus kain. Menurut Abah sih tidak berbau. Rupanya jenazah tersebut adalah tak lain dari putra ibu tadi. Beliau nampak sedih sekali ketika bercerita tentang puteranya ini pada Abah.