10 Mei

Kemarin sore kami disuruh pindah kamar karena kamar yang kami tempati sudah dibooking.

Alhamdulilah kamar ini lebih luas dan bersih. Ada satu tempat tidur extra dengan sprei baru. Kamar mandinya walau banyak endapan kapur juga, tapi tidak sebanyak kamar sebelumnya dan lebih bersih. Overall kami lebih suka kamar yang ini.

Sahur tiba, lagi-lagi makanan yang dijanjikan belum datang. Kami makan bubur instan dan telur rebus lagi alhamdulillah. Tepat setelah adzan Subuh makanan baru datang. Mungkin karena muslim minoritas di sini, orang-orang sini tidak paham kalau waktu sahur berakhir ketika waktu Subuh tiba.

Hari ini jadwal pesawat kembali untuk kembali ke Kupang baru terbang siang nanti. Pagi ini kami masih ada waktu untuk eksplor pasar tradisional Kalabahi.

Pulau Alor terkenal sebagai penghasil kenari. Maka misi pagi ini adalah membawa kenari pulang. Ternyata tidak semudah yang kami kira. Di pasar jumlahnya sangat terbatas, hampir tidak ada. Ada satu atau dua penjual yang menjual dengan harga yang lumayan mahal.

Kami keliling pasar untuk melihat suasana dan menemukan satu benda yang tidak lazim dijual di pasar: moko. Iya, moko dan beberapa benda antiknya nampak dipamerkan utk dijual di salah satu pojok pasar. Walaupun dipajang di pasar harganya tetap saja mahal, kisarannya antara 7-12 juta.

Karena masih penasaran, kami berlanjut mencari kenari ke Pasar Lama. Hasilnya sama nihil. Setelah bertanya sana sini, akhirnya kami menemukan kenari di sebuah kedai di luar pasar. Untuk kenari seberat setengah kg dihargai 30rb, ok lah.

Siang hari kami bersiap untuk dijemput oleh taxi yang mengantar kami tempo hari. Bandara masih tutup ketika kami tiba. Maklum, tidak banyak penerbangan ke pulau ini.
Kami tiba di Kupang petang hari. Setelah mengambil laundry dan mengantarkan cucian kotor yang baru, kami ke Tr*Mart untuk berbuka di sana. Ambu pesan sepiring nasi dengan sayur bunga pepaya dan sei sapi. Enak. Alhamdulilah. Masih belum kenyang, Abah dan anak-anak melanjutkan makan ke S*laria.

9 Mei

Kami semua bangun ketika sahur tiba. Kami ke lobby untuk mengambil jatah sahur yang dijanjikan semalam. Tidak ada tanda-tandanya. Untung ada air panas dan bekal yang sengaja kami bawa untuk sahur dari Kupang. Kami lalu masak bubur ayam instan dengan telur rebus dan menyeduh milo. Lumayan cukup mengenyangkan.Lepas sahur dan sholat subuh kami tidur kembali. Kami bangun dan siap kembali menjelajah sekitar pukul 9 pagi. Tujuan pertama pagi ini adalah mengunjungi Museum 1000 Moko yang lokasinya tidak jauh dari hotel.Selain tentu saja Moko, di museum ini juga dipamerkan berbagai artefak dan peninggalan bersejarah masyarakat Alor.

Selain relatif lengkap, koleksi di museum ini juga sangat terawat. Ada satu bagian yang khusus diperuntukkan untuk beragam kain dari seluruh pelosok Alor dengan aneka motif dan warna.

Tujuan selanjutnya adalah Suku Kabola di Desa Kopi Dil. Suku yang tinggal di dataran tinggi ini yang masih menggunakan baju dari kulit kayu untuk upacara adat.Kami tiba bersamaan dengan staf dinas pariwisata yang tengah berkunjung untuk persiapan festival budaya. Kami juga berjumpa dengan mereka ketika di museum tadi. Kami ngobrol-ngobrol sebentar seputar budaya dan pakaian kulit kayu Suku Kabola.Kain kulit kayu dipakai manusia dari zaman prasejarah, terbukti dari penemuan pemukul kulit kayu di situs arkeologi Kabupaten Poso dan Donggala, Sulawesi Tengah.
Nah di Desa Kopi Dil ini masyarakatnya masih memakai pakaian kulit kayu untuk upacara adat hingga hari ini!Terbuat dari kulit kayu pohon disebut Pohon Ke, kulit kayu dipukul-pukul hingga lembut. Kata ketua sanggarnya, pakaian ini nyaman di cuaca dingin karena membuat badan menjadi hangat. Sebaliknya jika dikenakan di cuaca panas, akan membuat badan terasa dingin.Ibu Nirma dan kawan-kawan staf dinas pariwisata lainnya berinisiatif untuk meminta anggota sanggar memakai pakaian adatnya serta mempersembahkan tarian lego-lago khusus untuk kami. Dengan diiringi kendang dan nyanyian dari semua anggota sanggar, kami pun membentuk lingkaran dan mulai menari. Tarian berupa hentakan kaki sambil berpegangan tangan satu sama lain. Suasana menghangat. Kami larut dalam keakraban Suku Kabola.Selesai menari kami berkenalan dengan makanan pokoknya Orang Kabola sebelum mereka diperkenalkan pada nasi. Suku Kabola biasa makan jagung dicampur biji2an lain seperti lentil, kacang merah dll. Biji-bijian ini direbus dengan daun labu lalu dimakan dengan ikan asin yang dipanggang dan cabe rawit. Ketika dicontohkan cara makannya tak pelak lidah puasa kami sempat ngeces juga, gleks.Kami pun berpamitan menuju desa berikutnya, Desa Matalafang. Desa ini terletak pesisir, dari Kota Kalabahi ke arah bandara. Ibu Nirma sudah menghubungi Ketua Sanggar dan memberi tahu kedatangan kami. Selain Pak Alex hadir juga adik perempuanya yaitu Ibu Halimah. Beliau adalah mualaf karena menikah dengan pria muslim dari kampung sebelah.Jika di Larantuka, Adonara dan Lembata, ‘belis’ atau mas kawin untuk perempuan adalah gading gajah, maka belis Ibu Halimah adalah Moko. Sudah ratusan tahun Moko, benda berbentuk tambur terbuat dari tembaga atau perunggu dipakai sebagai mas kawin di Masyarakat Alor NTT. Nggak heran Alor punya julukan Pulau 1000 Moko. Memiliki moko meningkatkan status sosial dan dianggap menghargai tradisi warisan leluhur meski moko bukan buatan masyarakat Alor. Moko dikenal dikenal di Alor sejak abad 14, dibawa dari Dongson, Vietnam Utara oleh pedagang dari Tiongkok.Kami ngobrol dan duduk sambil melepas lelah. Berjalan-jalan sambil berpuasa ternyata cukup menantang buat kam, ditambah cuaca di NTT ini yang cukup panas.Dari Matalafang kami menyusuri jalan menuju ke bandara melewati beberapa pantai yang cantik. Sebuah penunjuk arah sebelum bandara menyebutkan Pantai Batu Putih. Kami pun berbelok dan mengikuti jalan. Jalannya relatif bagus, beraspal, hanya naik turun. Setelah sekitar setengah jam berkendara, kami putuskan untuk putar balik. Selain matahari yang kian meninggi, tubuh sudah tidak bisa diajak kompromi. Kami tepatnya Ambu pingin rebahan. Beloklah kami ke sebuah pantai. Beruntung ada dipan bambu yang bisa dipake rebahan. Nggak nunggu lama, ambu pun segera terlelap ditemani angin pantai sepoi-sepoi dan rindang pepohonan.Kira-kira 1 jam kemudian kami bersiap kembali. Tiba-tiba muncul seseorang dan minta bayaran sebesar 50rb. Mahal sekali.Dalam perjalanan menuju hotel Ambu sempat singgah membeli takjil. Ternyata kue-kue di Alor enak-enak lho. Makanan kecilnya mirip dengan daerah lain di Indonesia ada lumpia, kue sus dll.Setelah berbuka kami menuju warung tempat kami makan malam sebelumnya.Alhamdulilah puasa hari ke-4 bisa kami lalui walaupun sambil jalan-jalan.

8 Mei

Pagi selepas sholat subuh kami bersiap berangkat Pelabuhan Tenau untuk menyebrang ke Pulau Rote. Barang sudah disiapkan sejak semalam. Selain bekal pakaian dan makanan, kami juga membawa sleeping bag dan tikar. Persiapan untuk selonjoran di kapal. Kapal dijadwalkan pukul 9 pagi. Kami tiba sekitar pukul 8.

Dua hari terakhir kami memang bolak-balik ke pelabuhan dan tiket counter untuk mencari info mengenai jadwal dan harga tiket untuk menyebrang. Kami mendengar bahwa laut sedang tidak bersahabat dan ini mempengaruhi jadwal keberangkatan kapal.

Tiba di pelabuhan penumpang sudah ramai memenuhi gerbang keberangkatan. Namun pintu masih terkunci rapat. Rupanya cuaca masih tidak kondusif untuk penyebrangan. Tidak ada petugas resmi yang mengumumkan batalnya penyebarangan. Namun bagi penduduk, hal ini lazim terjadi, tanpa pengumuman resmi, mereka sudah paham apa yang terjadi.

Satu persatu penumpang pulang kembali. Kami terduduk di tepi jalan. Barang-barang kami geletakkan di atas tanah. Kami berembug untuk rencana berikutnya. Naik pesawat ke Rote rasanya masih terlalu mahal dibanding naik ferry. Maka kami pun mufakat untuk menunda kepergian ke Rote sampai cuaca tenang. Dan halnya untuk hari ini, kami putuskan untuk ke Alor dulu. Kebetulan untuk ke Alor kami memang sepakat memakai pesawat terbang dikarenakan perjalanan menggunakan kapal terlalu lama, sekitar 12 jam.

Maka Ambu segera membeli tiket return untuk berempat ke Alor yang kebetulan masih available untuk siang itu. Kami menyewa Avanza ke bandara. Dan tiba di bandara sekitar satu jam sebelum berangkat.

Satu hal yang tidak bisa dilupakan dari berpergian dengan pesawat di NTT adalah pemadandangan dari atas yang menakjubkan. Pulau-pulau kecil berpasir putih dengan laut berwana biru toska.

Kami tiba di Alor sekitar pukul 12 siang. Sebuah taxi bersedia mengantar ke kota Kalabahi sekalian berkeliling mencari hotel. Hotel pertama yang reviewnya bagus ternyata sudah penuh. Kami survei ke 3 hotel berikutnya dan akhirnya memutuskan hotel ketiga, Wisma CHT sebagai tempat menginap. Selain lebih bersih, wisma ini bersedia mengganti makanan breakfast menjadi sahur. Kami menyewa satu kamar dengan dua tempat tidur.
Setelah melatakkan barang-barang kami lalu googling mencari penyewaan sepeda motor di Alor. Alhamdulilah, tempatnya tak lebih dari 100m dari tempat kami menginap. Pemiliknya Pak Gendut. Kami ditemui oleh putra dan istri Pak Gendut. Rupanya semua motor-motor ini tidak lagi disewakan. Pak Gendut dan keluarga akan mudik ke Jawa Timur lebaran ini, makanya semua motor-motor ini akan segera dijual. Kami merayu istri dan puteranya. Karena tidak berani memutuskan, mereka lalu membangunkan Pak Gendut. Alhamdulilah, Pak Gendut setuju menyewakan dua motornya pada kami sebesar 350rb rupiah untuk dua hari.
Dari tempat Pak Gendut, kami langsung menuju ke Desa Lerabaing tempat Al Quran tertua berada.

Jalanan menuju Desa Lerabaing bersisian dengan laut yang sebetulnya teluk yang menjorok membelar Alor bagian utara ini Kalau Al Quran tertua di dunia berusia 13 abad ada di University of Birmingham, Inggris. Maka Al Quran tertua di Indonesia (atau di Asia?) ada di salah satu pulau di ujung NTT. Di Pulau Alor di Desa Lerabaing tepatnya.

Al Quran ini dibawa oleh Iang Gogo, penyebar Islam dari Ternate pada tahun 1523. Terbuat dari serat kulit pohon seperti papirus. Sekarang Al Quran ini dijaga oleh generasi ke 14, Pak Nurdin Gogo.

Menurut Pak Nurdin banyak orang Ternate yang datang untuk melihat langsung Al Quran yang dibawa nenek moyang mereka ke sini 500 tahun yang lalu. Atas permintaan anggota kerajaan Ternate, Al Quran ini juga pernah dibawa Pak Nurdin ke Ternate.

Pak Nurdin bercerita juga soal Islam dan keragaman di Alor. Bahwa masyarakat pesisir umumnya muslim dan yang menghuni area pegunungan adalah penganut Nasrani. Kerukunan beragama di Alor masih sangat terjaga. Jika muslim ada acara MTQ misalnya, maka umat Nasrani akan membantu membuat panggung, menyusun kursi. Sehingga saudara muslimnya bisa fokus pada acara dan hal-hal penting lainnya. Sebuah fenomena yang sudah mulai langka di Pulau Jawa.

Setelah sekitar setengah jam mengobrol, kami pamit pada Pak Nurdin dan melanjutkan perjalanan mengeksplor bagian Barat Utara Pulau Alor. Kami sempat singgah sebentar di sebuah mesjid untuk menunaikan sholat ashar. Ketika hari sudah mulai gelap, kami berputar kembali ke Kalabahi. Magrib menjelang, kami terpaksa berbuka di jalan dengan membeli air minum mineral yang kami beli di jalan. Kami sholat Maghrib di sebuah mesjid. Lalu kembali melanjutkan perjalanan ke Kalabahi. Kami memilih sebuah kedai orang Jawa di tepi laut. Hidangannya berupa ayam goreng dan ikan bakar. Kami memesan ikan bakar dan sate ayam.

Setelah makan kami pulang dan berisitirahat.

5,6,7 Mei

Tidak banyak yang terjadi di hari-hari istirahat ini. Sesekali kami pergi keluar untuk berbelanja keperluan Ramadhan.

Villa De Kupang menyediakan sahur sebagai ganti sarapan. Tanggal 6 dini hari, sahur pertama kami berjalan lancar. Mbak Arum dari Villa De Kupang menghidangkan 3 porsi rawon dan telur ceplok utk santapan sahur. Ambu menambahkan potongan pear dan menyeduh Milo untuk Abang dan Ade.

Pagi hingga sore kami habiskan dengan istirahat, memberi tubuh kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan asupan makanan dan cairan yang terbatas di siang hari.

Sore hari ambu menyiapkan takjil untuk iftar berupa nata de coco yang dicampur buah naga, penawar dahaga penuh dengan vit.c dan antioksidan. Setelah sholat Maghrib kami lalu keluar untuk makan. Kebetulan di depan mesjid ada beberapa kedai makan muslim. Ambu dan Abah pesan gado-gado. Hakim dan Sabiya masih kenyang dan memilih tinggal di Villa sambil menunggu waktu Isya tiba.

Waktu Isya tiba, Mesjid Raya Kupang yang tadinya lengang perlahan-lahan mulai ramai. Nampak beberapa pemuda berkaos hitam sibuk mengatur lalulintas, membantu jamaah untuk menyebarang dan parkir kendaraan. Rupanya para pemuda ini dari Gabungan Pemuda Lintas Agama Kupang yang memang menyediakan diri sebagai sukarelawan di bulan Ramadhan ini.

Sholat Taraweh kedua di hari pertama Ramadhan berlangsung khusu’. Alhamdulilah.

Kami sudah menyusun jadwal untuk mengunjungi 4 pulau di NTT dengan urutan: Rote, Alor, Sabu dan Sumba. Sebagian akan dikunjungi dengan menggunakan ferry sebagian lagi dengan pesawat. Dua hari pertama puasa ini kami manfaatkan untuk survey pelabuhan dan membeli tiket. Kami juga ke bandara untuk membeli tiket pesawat Susi Air yang tidak bisa dibeli online. Rencananya kami akan pakai pesawat dari Pulau Sabu nanti.

Sebagai selingan, hari kedua puasa kami buka puasa pakai ayam goreng layaknya anak-anak milenial😑

4 Mei

Dua hari lagi puasa, masih ada 4 pulau lagi di NTT yang ingin kami kunjungi. Sementara Hakim dan Sabiya bersikukuh untuk pulang ke Pondok Cabe untuk berlebaran dengan keluarga. Padahal rencana sebelumnya adalah dari NTT kita akan langsung ke Sulawesi via Flores. Namun melihat kondisi mental anak-anak (dan juga kami) sepertinya pulang dulu adalah jalan terbaik. Bertemu keluarga dan pulang ke rumah akan menjadi momen recharge bagi kami semua. Akhirnya dengan menanggung konsekuensi biaya dan waktu, kami putuskan untuk pulang ke rumah lebaran nanti. Lalu melanjutkan perjalanan ke Sulawesi dari Jakarta.
Sementara itu dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, kami akan istirahat selama 3 hari ke depan dan akan mulai melakukan perjalanan lagi hari puasa ke 3. Untuk itu kami mencari tempat parkir Moti sekaligus tempat kami menginap supaya bisa menjalankan ibadah puasa dengan lebih baik.
Kami mencari semacam kost-kostan atau kamar yang dikontrakkan bulanan supaya lebih murah, mudah dan aman untuk menitipkan si Moti.
Pilihan mengerucut pada dua pilihan saja. Pilihan pertama adalah kost-kostan di pinggiran jalan ramai. Bangunannya baru, ada kamar mandi di dalam. Ukurannya sedang lah untuk kami berempat tidur bersama. Selain itu, parkirannya cukup luas untuk menyimpan si Moti. Harga sewa perbulannya juga OK.
Pilihan kedua adalah Villa De Kupang. Lokasinya tidak jauh dari Mesjid Raya Kupang. Sehingga memudahkan kami untuk sholat taraweh. Kamarnya unik. Sebetulnya kapasitasnya hanya untuk dua orang, akan tetapi karena ruangannya luas, kami berempat bisa tidur dengan nyaman di sini. Tempat tidurnya bertingkat, dan bagian atasnya luas seperti mezanin. Tinggal bawa kasur tipis dan sleeping bag dari si Moti. Kekurangannya Moti hanya bisa parkir di area parkir di luar pagar. Tapi tidak masalah, karena Kupang terutama di wilayah ini, aman. Setelah menimbang akhirnya kami putuskan untuk mengambil tempat yang kedua, walaupun sedikit lebih mahal dibanding pilihan pertama karena bayaran di sini harian, tidak bulanan.
Setelah menentukan kamar yang kita inginkan, kami keluar mencari laundry dan makan siang.
Sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang lebih maju dibanding daerah NTT lainnya. Kotanya sudah tertata dengan fasilitas umum yang lengkap. Bank, Rumah Sakit, Pusat Perbelanjaan hampir sama dengan di Jawa. Maka kami tidak merasa asing di sini. Siang itu kami memilih Lippo Mall di jantung kota Kupang. Selain restorannya lengkap, ada bioskop dan supermarketnya juga lho. Hakim dan Sabiya memilih restoran sushi untuk makan siang, sekalian nostalgia makan sushi di KL. Petang harinya kami nonton ditraktir Bang Hakim, kebetulan di bioskop sedang main film Avengers.
Malam ini malam pertama istirahat panjang kami. karena setidaknya sampai 4 malam ke depan kami akan menginap di sini.

3 Mei

Pagi ini ambu baru akan beli tiket pesawat. Sengaja tidak membeli jauh hari untuk menghindari cancel atau merubah jadwal. Maklum, di daerah seperti ini kadang jadwal transportasi umum seperti bis seringkali tidak menentu.

Tiket sudah dipesan, tinggal membayar. Terjadi sebuah keajaiban di sini. Transaksi pembayaran berkali-kali gagal. Namun ajaibnya ambu mendapat konfirmasi kalau tiket sudah dibayar. Ambu lalu menghubungi pihak bank dan travel agent untuk mengkonfirmasi. Keduanya mengatakan sistemnya sudah benar. Pihak travel agent mengatakan berdasarkan data pada sistem, tiket sudah di bayar. Sementara pihak bank berdasarkan data pada sistem mengatakan bahwa transaksi gagal dan tidak serupiahpun rekening bank ambu didebet. Baiklah.

Kami menikmati pagi yang cantik di homestay ini. Pemandangannya lepas ke Laut Sabu. Langit biru dan Gunung Ile Ape atau Ile Boleng(?), nampak di kejauhan.

Menjelang siang kami memesan makanan di homestay. Ikan serupa pindang atau singgang terhidang untuk kami santap siang itu. Kami lalu berangkat ke bandara dengan diantar kendaraan dari hotel.

Alhamdulilah, tidak ada masalah dengan tiket kami dan kami bisa terbang kembali ke Kupang dengan selamat.

Sesampainya di Kupang, kami langsung ke Hotel Sahid untuk menjumpai Moti yang setia menunggu kami di sini. Kami menginap semalam di sini.

2 Mei
Pagi sekali kami sudah bangun dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Awal dini hari aktivitas masyarakat Lamalera sudah dimulai. Ditandai dengan keberangkatan bis satu-satunya ke Lembata, dilanjutkan dengan aktivitas terkait perburuan ikan paus.

Setelah jalan-jalan ke museum, kami langsung ke pasar barter yang berlangsung seminggu sekali di hari Kamis. Hari masih pagi, pasar masih sepi. Di sebuah lapangan terdapat beberapa ibu yang sudah siap dengan dagangannya, umumnya berasal dari desa di pegunungan. Kebanyakan mereja menggelar dagangan berupa hasil bumi seperti pisang, singkong, ubi, jagung, daun-daunan, dll. Tak lama pedagang lain mulai berdatangan. Penjual ikan basah, tahu tempe, pakaian, barang-barang kering seperti sabun, odol dsb hingga tukang obat lengkap dengan toanya.

Sementara para pembeli yang juga terdiri daei ibu-ibu juga mulai berdatangan selain berbekal uang, mereka juga membawa ikan paus kering dan ikan asin jenis lainnya.

Mengunjungi Pasar Barter melengkapi pemahaman kami tentang Ikan Paus dan orang Lamalera. Daging paus yang dikeringkan berfungsi sebagai mata uang. Satu wareng/helai daging paus kering bisa ditukar seikat daun pepaya atau seikat daun singkong. Tiga wareng daging paus sama harga dengan 12 buah pisang atau 12 tongkol jagung. Paus kering juga bisa ditukar dengan ubi, singkong dan makanan babi. Nilai tukar yang sama berlangsung selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Tidak ada inflasi di sini. Menariknya semua orang memiliki posisi tawar yang sama, semua penjual dan semua pembeli. ‘Harga’ bukan lagi angka melainkan kesepakatan dan kesefahaman berlandaskan kebutuhan masing-masing.
Jika kebutuhan makan sehari-hari dipenuhi dengan menukar daging paus, maka babi adalah investasi jangka panjang orang Lamalera. Kebutuhan besar seperti pendidikan atau perayaan tahunan dibiayai oleh hasil menjual hewan ternak.

Dari pasar kami lalu kembali ke homestay untuk berkemas dan bersiap kembali ke Lembata menumpang bis jam 4 sore nanti.

Sambil berkemas kami juga membayar biaya selama kami menginap di Homestay. Rupanya mahal sekali. Menginap dua malam kami harus merogoh kocek hampir 1,5jt! Mahal sekali! Dengan kualaitas pelayanan dan kebersihan jauh di bawah standar, harga yang dikenakan sangat-sangat mahal. Termahal yang pernah kami bayar.

Kami tiba di Lamalera menjelang jam 9 malam. Kami menyewa penginapan untuj tidur malam itu karena pesawat ke Kupang baru akan berangkat besok siang.

1 MeiPagi itu sebelum jam 7 pagi orang sudah ramai berkumpul di tepi pantai. Kali ini semuanya memakai kain, tua muda, laki-laki perempuan. Jika motif kain laki-laki umumnya berupa garis-garis atau kotak sederhana, maka kain perempuan Lembata lebih seru dan semarak. Berwarna-warni dengan segala corak. Yang paling menarik perhatian tentu saja kain yang bermotif Ikan Paus dan Manta Ray.Beberapa Pastor nampak kembali memimpin upacara pagi ini. Doa dan nyanyian berselingan seiring dengan naiknya matahari. Di akhir Misa sekitar 2 jam kemudian, seorang pastor muda putera asli Lamalera tampak memercikkan air ke perahu2 yang parkir di sepanjang pantai, sebagai lambang pemberian berkat.Selesai misa kami menyusuri pantai memandangi tulang-tulang paus dan ikan-ikan besar lainnya yang berserakan. Ada juga lemak ikan paus yang dijemur sisa hasil tangkapan sebelumnya.Kami berhenti di sebuah rumah nelayan tidak jauh dari tepi pantai. Sang kepala rumah tangga adalah salah satu penikam paus sedangkan istrinya penenun kain. Bersama Nao kami ngobrol-ngobrol soal paus dan kehidupan masyarakat Lamalera. Beliau bercerita tentang suka duka menjadi pemburu paus. Terbawa hingga ke perairan Australia. Tentang rekan-rekannya yang wafat dalam tugas karena tertarik tali hingga ke dasar laut, tenggelam dsb. Beliau juga bertugas sebagai pembawa binokular untuk mengawasi keberadaan paus lalu meneriakkan aba-aba : Baleo… Baleo… ketika melihat semburan air ke udara di kejauhan sebagai tanda kemunculan kote kolema atau paus. Lalu dua hingga 5 paledang (kapal pemburu) lalu akan turun ke laut dan berburu bersama.Pagi ini, selepas misa, satu paledang turun ke laut sebagai pembuka musim. Rupanya itu hari keberuntungan mereka dan takdir hari matinya seekor manta. Paledang pulang membawa ikan pari yang besar. Pari dipotong-potong di pantai dan dibagikan kepada sekian belas kepala keluarga yang ikut melaut serta pemilik kapal dan tuan tanah.Dulu pembagian daging hasil buruan diprioritaskan bagi janda dan orang-orang miskin, tapi jaman sudah berubah, nilai sudah bergeser. Kini prioritas ini tidak selalu diterapkan.Petang hari kembali diadakan acara. Kali ini lebih bersifat tradisional dibanding pagi tadi. Semacam pemberian berkat ke laut oleh tetua adat. Acara lalu diakhiri dengan pembagian tuak dan jagung titi.Malam ini kami semua tidur di homestay. Walaupun Sabiya tetap tidak mau tidur di kamar dan memilih tidur di teras rumah.

30 April

Moti kami titip di Hotel Sahid selama kami di Lembata. Pagi ini kami sudah bersiap kembali menuju bandara. Kali ini tidak langsung ke Lembata melainkan ke Larantuka, tempat yang sudah kami kunjungi beberapa hari yang lalu. Agak bodor, tapi mau gimana lagi.

Kalau sebelumnya kami datang bersama Moti, kali ini hanya kami berempat. Tiba di Larantuka kami menghubungi Bang Sudi, supir angkot yang sempat membawa kami jalan-jalan di Larantuka di kunjungan sebelumnya. Bersama kami turut serta Nao, seorang warganegara Jepang yang akan ke Lamalera untuk memotret prosesi perburuan paus. Tahun lalu Nao juga datang dan tinggal sebulan di Lamalera. Akan tetapi tidak berhasil mendapatkan foto yang diharapkan karena masyarakat tidak berhasil mendapatkan paus untuk diburu.

Setibanya di pelabuhan, ferry masih ngetem, masih dua jam lagi baru berangkat. Tepat jam 12 ferry akhirnya berangkat, kabin penumpang full. Salah seorang penumpang turut membawa seekor kambing, yang lalu ditempatkan di atas dek. Kambing yang malang.

Jarak Larantuka- Lembata relatif dekat. Perjalanan dengan ferry hanya memakan waktu sekitar 1.5jam saja. Tiba di pelabuhan, sudah ramai para penjemput anggota keluarga yang seharusnya tiba dari kemarin di bandara. Abah lalu menghubungi kawannya kontributor TvOne dan kita akhirnya menyewa satu double cabin untuk membawa kita ke Lamalera yang jaraknya sekitar 3 jam berkendara dari pelabuhan.

Kami sempat menunggu sekitar 20 menit di pelabuhan. Sambil menunggu, ambu membeli makan siang di warung dekat pelabuhan. Sambil makan, kami ngobrol dengan penduduk lokal yang mengerubungi kami di pelabuhan. Mereka bercerita soal belis/mas kawin gading gajah tradisi Orang Lembata yang masih dipegang teguh hingga kini.

Double cabin datang, kami duduk di tengah. Sabiya dan Hakim duduk di belakang. Di tengah perjalanan kami sempat mengangkut sepasang nenek kakek yang pulang bekerja di kebunnya.

Jalanan menuju Lamalera sebagian masih tanah sebagian lagi aspal berlubang. Terlonjak-lonjak kami dibuatnya. Sisi kiri dan kanan jalan masih berupa hutan lebat. Di beberapa ruas jalan kami melewati perkampungan yang tidak ramai. Setelah kurang lebih 3 jam menempuh perjalanan, kami memasuki jalanan aspal berbatu, Desa Lamalera sudah di depan mata. Hari sudah gelap ketika kami tiba. Leva Nuang, tradisi perburuan ikan paus baru saja dibuka dengan diadakannya Misa Arwah, misa yang diperuntukkan bagi orang-orang yang gugur ketika berburu paus. Pemandangannya yang tidak lazim tapi indah terhampar di sepanjang pantai: lilin yang dinyalakan memenuhi seluruh pantai yang tidak terlalu panjang ini. Selain lilin di pantai ada juga lilin yang dihanyutkan ke laut. Suasananya khusu sekali. Nampak di Altar yang sengaja dibangun di tepi pantai beberapa orang pendeta memimpin misa dan melantunkan doa-doa diikuti dengan takzim oleh jamaat.
Selesai dari Misa Arwah kami kembali ke penginapan. Kami menginap di penginapan milik Bapak Abel. Kami dilayani oleh Bu Angel, istrinya karena Pak Abel yang anggota KPU sedang sibuk di kota.

Sabiya memutuskan untuk menginap di pinggir pantai saja malam itu karena merasa tidak nyaman menginap di penginapan. Ambu menemani sementara Bang Hakim dan Abah tidur di penginapan. Maka berbekal tikar dan bantal, ambu berdua Sabiya pergi dan mencari spot tidur di pantai. Kami memilih sebuah celah di antara perahu-perahu yang sedang di parkir. Selain ada atapnya, tempatnya agak tersembunyi. Alhamdulilah malam itu langit cerah tak hujan dan udaranya sejuk semilir. Walau terbangun beberapa kali Ambu sempet memejamkan mata dan terlelap.

29 April 2019

Dalam perjalanan kemarin dari Kefamenanu ke Kupang, kami dapat informasi bahwa Upacara Pembukaan Berburu Paus di Lamalera Lembata akan diadakan lusa tanggal 1 Mei dan rangkaian acaranya akan di mulai besok, tanggal 30 April.

Ada rasa penyesalan karena buru-buru meninggalkan Larantuka tempo hari. Coba kami bersabar 3 hari lagi saja, maka kami bisa ke Lembata dari Larantuka dengan biaya lebih murah.

Karena kami sudah di Kupang dan untuk naik kapal ke Lembata agak jauh dari sini, maka kami putuskan untuk naik pesawat. Naik pesawat juga menghindarkan kami dari batal jalan karena ferry biasanya cancel kalau cuaca buruk. Dan kami bisa sampai tepat waktu sebelum acara dimulai.

Maka setelah bersih-bersih dan sarapan kami bersiap check out untuk menuju bandara. Pesawat kami dijadwalkan berangkat pukul 3 siang. Namun hingga hampir pukul setengah tiga belum juga ada panggilan boarding, hingga akhirnya terdengar pengumuman bahwa pesawat dicancel karena rusak.

Seluruh penumpang lalu diarahkan ke customer service utk proses refund. Para penumpang ditawari dua pilihan: refund atau dibelikan tiket pesawat ke Larantuka lalu sambung naik ferry ke Lembata. Untuk yang memilih option 2 akan diinapkan di Hotel Sahid tidak jauh dari bandara.

Kami pilih option ke2. Jadi kami bermalam di Hotel Sahid Kupang malam ini. Bisa dibilang untung, karena bisa rebahan di hotel dan makan ditanggung. Tapi dari segi waktu kami rugi. Karena besok acara Pembukaan Berburu Paus akan dimulai. Kemungkinan kami akan ketinggalan rangkaian acara di awal.