22 April

Berbekal jadwal kapal ASDP dan seputaran Larantuka (Adonara, Lembata dan Alor), petang ini kami diskusi keluarga untuk menentukan tujuan selanjutnya

Anak-anak pingin segera nyebrang ke Kupang, sementara Abah dan Ambu masih ingin ekplorasi di seputaran Larantuka. Di tengah diskusi Abah lalu telpon ke petugas pelabuhan memastikan jadwal kapal. Informasinya kapal ke Adonara dan sekitarnya cancel sementara kapal ASDP ke Kupang masih on. Palu diketok, Unlocking Indonesia’s Treasure menuju Kupang (keputusan yang belakangan disesali Ambu).

Malam ini kami pamit pada Bapak Pastor Keuskupan. Kami akan meninggalkan tempat kami parkir selama 4 hari ini dan menginap di pelabuhan untuk mengejar kapal ferry ASDP yang akan berangkat besok pagi.

Kenapa pakai menginap segala? Karena perayaan paskah baru saja usai sehingga akan ada arus balik dari Larantuka ke Kupang. Kapal akan penuh oleh peziarah. Jika kami lambat maka ada kemungkinan kami masih harus stay di Larantuka dan baru bisa menyebrang ke Kupang hari Jumat atau Minggu depan nanti.

Jam 9 malam itu kami masuk pelabuhan dan parkir di sana. Jam 6 pagi Abah diberitahu bahwa ada kemungkinan kendaraan besar tidak bisa berangkat karena prioritas hari itu adalah untuk penumpang tanpa kendaraan. Wah kesempatan nih, masih bisa ke Adonara dan sekitarnya pikir Ambu. Tidak lama, Abah datang kembali dengan kabar yang menusuk impian Ambu layaknya jarum nusuk balon tussss😪, impian ke Adonara dan sekitarnya kempes seketika, kami bisa berangkat pagi ini juga.

Menjelang jam berangkat, loket penuh sesak oleh calon penumpang. Untungnya tiket sudah kami beli melalui sedikit perdebatan dengan petugas loket. Truk kami yang setiap kali menyebrang lintas pulau selalu dimasukkan dalam kategori truk, oleh petugas di sini dimasukkan dalam kategori bus. Padahal ongkos bus dan truk selisihnya lebih dari satu juta. Akhirnya kami harus membongkar bukti berupa receipt dari penyebrangan-penyebrangan sebelumnya. Untung ada satu yang ditempelkan di scrapbook Sabiya, tiket penyebrangan ke Sabang. Setelah menunjukkan bukti, kami dapat harga tiket untuk truk. Di sini juga kami dicharge tiket untuk penumpang, praktek yang tidak ada di penyeberangan pulau lain.

Sekitar jam 9 pagi, kapal akhirnya berangkat. Dan dimulailah salah satu pengalaman nyebrang laut paling ‘brutal’😁 dan tidak akan terlupakan. Selain beberapa truk dan kendaraan kecil, bagian dasar kapal ro-ro sesak oleh puluhan motor, pengemudinya dan tentu saja penumpang tanpa kendaraan. Saking penuhnya, penumpang memenuhi tangga, lorong-lorong kapal dan area-area yang tidak semestinya ditempati penumpang. Sebetulnya keadaannya cukup memprihatinkan😪. Cuman karena sebagian besar para penumpang ini adalah peziarah Samana Santa yang (mungkin) baru dicharge secara spiritual, yang ada wajah-wajah happy aja. Seenggaknya yang nampak oleh saya. Tidak ada keluhan atau wajah merengut meratapi keadaan.

Karena penuh begitu, mau tidak mau kami harus tinggal di dalam mobil (bye bye angin laut). Walaupun masih bersyukur karena bisa tinggal di dalam mobil, tapi keadaan dalam mobil sungguh puanasss puolll Kakak!😣😓😨

Kami segan menyalakan AC karena angin panas dari unit outdoor dan asap dari gensetnya akan mengenai para penumpang yang duduk mengitari kendaraan kami. Jadi seperti saunalah kami di dalam mobil. Ditambah ombak dan angin cukup kencang, membuat kapal mengalun dan membuat mabuk. Membaca, nyemil, ngobrol, (berusaha) tidur adalah aktivitas kami selama 15 jam berikutnya. Malam hari yang kami kira akan lebih sejuk, ternyata sama saja. Hingga akhirnya terdengar penumpang di luar berkemas. Lamat-lamat di kegelapan nampak kerlap kerlip lampu di Pelabuan Bolok Kupang. Sampai! Tidak pernah sebelumnya saya sebersyukur ini ketika sampai di satu tempat. Sauna berjam-jam berakhir sudah.

Jam menunjukan pukul 1 dini hari ketika kami menginjak tanah Pulau Timor. Hello again Kupang.

Garam untuk ternak di NTT

23 April

Selamat pagi Kupang😍🌅.

Setelah bersih-bersih, tanpa sarapan terlebih dahulu kami meninggalkan Pelabuhan Bolok dan bergerak menuju Kota Kupang. Sasaran pertama tentu saja sarapan😋. Tak lama setelah ambu singgah membeli sayur dan buah-buahan, terdengar seruan adek di kabin penumpang,”Bubur ayaaam”. Ternyata kami baru saja melewati gerobak bubur ayam yang sedang berjualan di tepi jalan. Tanpa perlu bertanya, kami semua sepakat untuk berhenti dan sarapan di situ. Yang jualan buburnya orang Indramayu, jadi mirip-mirip lah sama bubur ayam Cianjur kegemaran kami Ya sejak meninggalkan rumah 5 bulan yang lalu, kami hampir nggak pernah makan bubur lagi. Ada sekali waktu di rumah Ida Pedanda, kami disuguhi bubur Bali, toppingnya urap sayur. Dan sekali waktu dimasakin Pakde Bebe waktu kemping di tepi Danau Tamblingan Bali.

Selesai sarapan kami meluncur ke Kota Kupang untuk mulai melengkapi persyaratan dokumen untuk keperluan melintas ke Timor Leste. Memfotocopy pasport/SIM/KTP/STNK/BPKB/KIR, menukar dolar dll. Seluruh kelengkapan dokumen ini akan digunakan untuk mengurus izin lintas negara bersama kendaraan di Atambua nanti. Terakhir, kami ke Consulado (konsulat) Timor Leste di Kupang karena menurut informasi dari KBRI Dilli, kami harus mengurus surat pengantar untuk masuk ke Timor Leste nanti. Tiba di security, ternyata pemegang paspor Indonesia tidak memerlukan surat apapun, cukup paspor, visa (on arrival) dan dokumen kendaraan.

Matahari sudah tepat di atas kepala ketika truk mengarah ke Utara Pulau Timor, menuju perbatasan. Perjalanan ke perbatasan memakan waktu sekitar 7-8 jam. Maka kami harus berhenti di Soe atau Kefamenanu untuk bermalam.

Di pinggiran kabupaten Kupang, pedagang garam tradisional berderet di tepi jalan. Garam bubuk tak beryodium ini ditempatkan dalam wadah memanjang terbuat dari daun nipah. Selain itu dijual juga garam padat seperti stalaktit untuk campuran makanan ternak.

Memasuki Soe udara semakin sejuk. Pedagang di tepi jalan memajang aneka buah-buahan hasil tanah Soe. Primadonanya alpukat, ukurannya 2-3x alpukat biasa.

Maksud hati menginap di Kefamenanu urung karena sejuknya udara di Soe. Akhirnya kami putuskan menginap di Niki-niki. Kota kecil yang juga sejuk setelah Soe.

Area tempat kami menginap tidak terlalu luas. Pekarangan sebuah toko yang menjual keperluan sehari-hari . Walau begitu ternyata tempat ini jadi tempat singgah truk-truk yang melintas, sepinya tidak terasa karena hingga tengah malam banyak truk bergantian menepi.

Buah-buahan hasil bumi Timor jadi santapan pembuka hari ini menuju Atambua.

26 April

Pagi ini cerah sekali. Semalaman kami parkir dan istirahat dengan nyenyak di halaman KBRI Dilli. Sinar matahari menembus celah pepohonan yang rapih berjajar di area terelit di Kota Dilli ini. Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia bertetangga dengan kediaman Presiden dan Perdana Mentri Timor Leste. Bangunan-bangunan megah, diantaranya bergaya khas arsitektur Portugal tertata apik dengan jalan-jalannya yang lebar dan bersih. Bagian sebelah barat kompleks dibatasi Avenida Portugal, sebuah ruas jalan dilengkapi dengan pedestrian yang lebar dan bersisian dengan Laut Sabu. Tampak beberapa warga Dilli melakukan olahraga pagi sambil menghirup udara yang masih bersih.Pagi itu Pak Dubes TL dan beberap atase sempat singga, ngobrol-ngobrol dengan kami dan tentu saja lihat-lihat si moti.Hari ini kami akan ke salah satu museum di Kota Dilli yaitu Timorese Resistance Archive and Museum atau Museum Perlawanan Rakyat Timor. Museum tentang perlawanan Rakyat Tmor Leste terhadap Indonesia.Museum ini bertempat di Gedung Pengadilan Timor Leste yang sempat dbakar pada kerusuhan tahun 1999. Kemudian dibangun kembali dan dibuka pada tahun 2005 dengan bantuan dari luar negri.Dalam museum ini dipamerkan kisah dan artefak-artefak bukti perlawanan rakyat Timor Leste selama di bawah kekuasaan Indonesia. Disajikan juga film dokumenter Peristiwa Liquiça, menampilkan adegan-adegan nyata tanpa sensor sama sekali, agak horor😰. Tentu saja fakta-fakta yang disajikan adalah fakta versi Timor Leste yang belum tentu sama dengan versi Indonesia.Setelah berkeliling di lantai 1, kami naik ke lantai 2 yang ternyata relatif kosong. Di ruangan ini kami bertemu dengan beberapa orang Bapak-bapak yang sedang santai mengobrol. Kami ditawari untuk duduk bersama dan kami pun lalu diajak ngobrol.Rupanya beliau-beliau ini adalah mantan aktivis mahasiswa anti integrasi. Seorang dari mereka, yang bernama Pak Timor Berre kalau tidak salah, mengaku sebagai pelaku utama di Peristiwa Dresden. Sebuah peristiwa yang sempat menjadi headline di mana Pak Harto ‘dikeplak’ kepalanya dengan gulungan koran hingga kopiahnya terjatuh.Kami berbincang santai layaknya kawan, tidak ada permusuhan atau kata-kata menyakitkan yang keluar. Kami membahas kondisi Indonesia dan Timor Leste hari ini. Bahwa apapun kondisi rakyat Timor Leste hari ini, menjadi merdeka adalah hal terpenting yang tidak rela mereka tukar dengan apapun sekalipun kemakmuran.Selesai dari museum, perut sudah lapar. Kami mencari restoran dan nampak Restoran Burger Waralaba yang sudah akrab di Tanah Air. Kita putuskan untuk parkir dan membeli makanan di situ. Apa daya, credit card Ambu yang tidak bernomor pin tidak bisa digunakan. Sementara persediaan uang dolar sudah menipis. Seorang pengunjung yang iba melihat kami gagal makan menyarankan untuk mengambil uang di Bank Mandiri tidak jauh dari restoran. Kami sudah kadung tidak semangat. Kami putuskan mencari makanan di tempat lain.Pilihan jatuh pada Jalan Alor. Tenpat kami sarapan pagi tadi. Kami pergi ke restoran yang sama, lalu memesan 4 porsi ayam penyet. Harga per porsi 2.5USD, sekitar 45ribu rupiah, hampir 2x lipat harga makanan yang sama di Kota Kupang.Selesai makan, kami menunaikan sholat Dzuhur di Mesjid An Nur tempat Moti diparkir.Selesai sholat kami bertemu dengan takmir mesjid yang ternyata dulu pernah kuliah di Bandung. Beliau bahkan mengucap dua syahadatnya dengan bimbingan Ustadz Miftah Farid. Kami ngobrol macam-macam temasuk soal regenerasi Muslim di Dilli. Dewan Mesjid mengirim beberapa putra-putri muslim Timor Leste untuk belajar di pesantren-pesantren di Indonesia. Sayang, santri-santri ini seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan Visa Pelajar. Kami berjanji untuk membicarakan issue ini pada instansi terkait.Populasi muslim Timor Leste berjumlah sekitar 45,000 atau 1,6% dari total jumlah penduduk. Mari Alkatiri, perdana menteri pertama Timor Leste adalah seorang muslim. Selain Mesjid An Nur di Campo (Kampung) Alor-Dili, ada dua mesjid lagi di Timor Leste masing-masing di Likisa dan Baucau.Konon Islam di sebarkan ke Timor Leste oleh muslim dari Maluku dan Ternate pada abad 15. Ustadz takmir cerita bahwa beliau pernah menemukan mushaf Al Quran di pelosok-pelosok Timor Leste yang masih menganut animisme. Mushaf ini dikeramatkan, disembah dan disimpan di tempat ibadahnya. Lembaran Al Quran dengan tulisan tangan ini umumnya terbuat dari kulit kayu dan berusia lebih dari lima ratus tahun. Mungkin dari para penyebar Islam itulah mushaf-mushaf tadi berasal.

Sore itu kami berniat menyambut matahari tenggelam di Patung Cristo Rei of Dili. Ikon Kota Dilli menjulang setinggi 27m dan merupakan hadiah dari Pemerintah Orde Baru kepada Pemerintah Timor Leste pada tahun 1996.

Malam harinya Ibu Flo datang lagi, kali ini suaminya, Pak Max menyusul. Obrolan dan suasana di Moti jadi meriah sekali malam itu.