25 April

Excitement membangunkan kami pagi ini; dengan truk kami akan melancong ke luar negri!😀

Ketika kantor dibuka pukul 8, kamilah pelintas pertama pagi itu. Abah ke bagian bea cukai untuk mengurus penyebrangan truk sementara kami menunggu di loket imigrasi. Setelah Abah selesai kami berempat mengantri di loket imigrasi untuk cek dan cap paspor kemudian naik truk kembali keluar kompleks menuju pos penjaga terluar dengan negara tetangga.

Sekitar lima meter dari pos inilah, sebuah garis kuning membentang perlambang garis batas dua negara. Kami berhenti dan turun sebentar untuk mengabadikan momen bersejarah ini.

Begitu truk melewati garis ini, resmi sudah kami keluar dari wilayah NKRI. Bye for now, Indonesia.

Ngomong-ngomong sebetulnya titik penyebrangan Indonesia- Timor Leste itu banyak sekali, hampir sepanjang garis perbatasan dan kebanyakannya tidak legal. Di titik-titik inilah ilegal enter, penyelundupan sembako, miras bahkan narkoba sering terjadi. Saat ini tentara kita ditempatkan di titik-titik ini untuk berjaga. Sekalinya piket nggak tanggung-tanggung lho, dalam satu periode penugasan mereka harus menetap di perbatasan sampai 9 bulan! Lamanyaaa….

Kantor Lintas Batas Timor Lestw berjarak tidak sampai sekilo dari Pos Lintas Batas RI. Bangunannya lebih tua dan sederhana. Kompleksnya pun jauh lebih kecil dari Mota Ain. Di sini truk kami diperiksa, lalu kami masuk ke loket imigrasi. Mengisi kartu kedatangan lalu membayar biaya Visa sebesar 30$ USD per orang. Petugas Visa menanyakan maksud dan tujuan kunjungan kami. Ketika tahu kami hanya pelancong dan tidak punya saudara di Timor, beliau lalu memberikan nomor handphonenya jika sewaktu-waktu diperlukan. Terimakasih Pak.

Oh ya, to our surprise, bahasa Indonesia masih digunakan di sini. Kami tidak ada kesulitan komunikasi sama sekali karena semua petugas di Pos Perbatasan ini lancar dan fasih berbahasa Indonesia.

Selesai dengan urusan Imigrasi, perjalanan pun dilanjutkan. Sekitar lima km pertama jalanan mulus beraspal. Tiba di Tanjung Batu, jalanan aspal mulai diganti oleh jalanan kerikil berpasir.

Bukan sekilo dua kilo tapi teruuus hingga 110 km kemudian. Di beberapa ruas jalan, lubang menganga menghadang di tengah jalan, tanda jembatan yang tak kunjung usai dibangun.

Langit biru dan laut toska khas Nusa Tenggara Timur mengikuti kami terus sepanjang perjalanan menuju ke Dilli.

Di tengah perjalanan, hp Ambu yang sudah dalam posisi roaming tiba-tiba berbunyi. Berita duka dari Tanjung Pinang: Tante Eda, adik Bundanya Ambu meninggal, allohummaghfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa wa’fu ‘anhaa. Sedih sekali, tapi kami begitu jauh, sampai Dilli saja belum. Perjalanan dilanjutkan sambil memanjatkan doa buat Tante Eda.

Niat utk masak dan makan siang di tepian pantai urung karena debu dari jalanan tak beraspal terlalu tebal. Petang sekitar pukul 3 kami tiba di tepian kota Dilli. Sebuah rombongan VIP memaksa semua mobil untuk menepi, rupanya Mendikbud RI beserta rombongan yang baru saja menghadiri Education Expo di Dilli akan melintas menuju Pos Perbatasan Moto Ain di Atambua.

Setengah jam kemudian kami tiba di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia Dilli. Bangunan megah dua tingkat berpagar tembok tinggi dengan pos security di kiri dan kanannya.

Kami menunggu beberapa saat lalu memutuskan untuk masak dan makan siang dulu sebelum masuk KBRI. Selesai makan, Abah lalu menghubungi Pak Agus salah satu Konsuler KBRI dan kami diterima oeh beliau di kantornya. Kami ngobrol-ngobrol mengenai banyak hal tentang Timor-Leste dan pernak-pernik hubungannya dengan Indonesia. Malam tiba dan kami diizinkan untuk parkir di halaman KBRI.

25 April

Belum waktu makan siang ketika kami tiba di Atambua. Tapi perut yang tadi pagi hanya diisi buah, sudah minta diisi lagi. Kami menepi di sebuah warung dan makan siang lebih awal. Ketika sedang duduk menunggu makanan, kami didatangi netizen, Pak Heri yang mengikuti perjalanan kami di YouTube. Beliau lalu mengantar kami untuk mengurus dokumen melintas ke Timor Leste.

Surat Permohonan Membawa Kendaraan (SPMK) diurus di Kantor Bea Cukai dengan membawa STNK, Paspor, SIM dan cek fisik kendaraan oleh petugas Bea Cukai. Proses memakan biaya waktu sekitar 10-15 menit saja.

Untuk penduduk di perbatasan yang sering bolak balik dua negara, pemerintah memberlakukan Kartu Lintas Batas. Kartu ini seperti pengganti paspor khusus bagi warga perbatasan saja. Timor Leste pun menerapkan kebijakan yang sama bagi warganya yang tinggal di perbatasan.

Ketika SPMK sudah ditangan, kami berpisah dengan Pak Heri dan mengantar beliau kembali ke tokonya. Perjalanan lali dilanjutkan ke Mota ain, Pos Lintas Batas Timor Leste berjarak sekitar setengah jam dari Atambua. Pos sudah tutup ketika kami tiba, sudah pukul 4 sore.

Btw, Pos Lintas Batas Terpadu ini keren banget. Fasilitas dan bangunan fisiknya baru selesai dipugar 2 tahun yang lalu. Proses pembangunannya juga kilat, kompleks ini diselesaikan hanya dalam waktu satu tahun atas perintah Presiden Jokowi.

Disebut Pos Lintas Batas Terpadu karena semua departemen sudah dalam satu atap, dari mulai Imigrasi, Perdagangan, Militer, Bea Cukai dll.

Ruang imigrasi dan fasilitas umum lainnya (seperti mushola), adem berAC.

Kami sempat ngobrol-ngobrol dengan satpam dan beberapa orang yang bertugas malam di Pos ini. Beberapa diantara mereka adalah eks Timor Timur. Keputusan berintegrasi dengan Indonesia membawa konsekuensi yang tidak ringan, berintegrasi artinya meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan sanak keluarga, meninggalkan rumah tanah dan mulai lagi dari awal. Di perbatasan ini, kami membaca kembali Tragedi Santa Cruz, Referendum Kemerdekaan Timor dan kejatuhan Orde Baru. Bahwa represi dan kekerasan tidak pernah membawa manusia kemana-mana. Kerakusan dan kekuasaan yang membabi buta hanya mendatangkan kemunduran dan derita.