Garam untuk ternak di NTT

23-24 April

Selamat pagi Kupang😍🌅.

Setelah bersih-bersih, tanpa sarapan terlebih dahulu kami meninggalkan Pelabuhan Bolok dan bergerak menuju Kota Kupang. Sasaran pertama tentu saja sarapan😋. Tak lama setelah ambu singgah membeli sayur dan buah-buahan, terdengar seruan adek di kabin penumpang,”Bubur ayaaam”. Ternyata kami baru saja melewati gerobak bubur ayam yang sedang berjualan di tepi jalan. Tanpa perlu bertanya, kami semua sepakat untuk berhenti dan sarapan di situ. Yang jualan buburnya orang Indramayu, jadi mirip-mirip lah sama bubur ayam Cianjur kegemaran kami Ya sejak meninggalkan rumah 5 bulan yang lalu, kami hampir nggak pernah makan bubur lagi. Ada sekali waktu di rumah Ida Pedanda, kami disuguhi bubur Bali, toppingnya urap sayur. Dan sekali waktu dimasakin Pakde Bebe waktu kemping di tepi Danau Tamblingan Bali.

Selesai sarapan kami meluncur ke Kota Kupang untuk mulai melengkapi persyaratan dokumen untuk keperluan melintas ke Timor Leste. Memfotocopy pasport/SIM/KTP/STNK/BPKB/KIR, menukar dolar dll. Seluruh kelengkapan dokumen ini akan digunakan untuk mengurus izin lintas negara bersama kendaraan di Atambua nanti. Terakhir, kami ke Consulado (konsulat) Timor Leste di Kupang karena menurut informasi dari KBRI Dilli, kami harus mengurus surat pengantar untuk masuk ke Timor Leste nanti. Tiba di security, ternyata pemegang paspor Indonesia tidak memerlukan surat apapun, cukup paspor, visa (on arrival) dan dokumen kendaraan.

Matahari sudah tepat di atas kepala ketika truk mengarah ke Utara Pulau Timor, menuju perbatasan. Perjalanan ke perbatasan memakan waktu sekitar 7-8 jam. Maka kami harus berhenti di Soe atau Kefamenanu untuk bermalam.

Di pinggiran kabupaten Kupang, pedagang garam tradisional berderet di tepi jalan. Garam bubuk tak beryodium ini ditempatkan dalam wadah memanjang terbuat dari daun nipah. Selain itu dijual juga garam padat seperti stalaktit untuk campuran makanan ternak.

Memasuki Soe udara semakin sejuk. Pedagang di tepi jalan memajang aneka buah-buahan hasil tanah Soe. Primadonanya alpukat, ukurannya 2-3x alpukat biasa.

Maksud hati menginap di Kefamenanu urung karena sejuknya udara di Soe. Akhirnya kami putuskan menginap di Niki-niki. Kota kecil yang juga sejuk setelah Soe.

Area tempat kami menginap tidak terlalu luas. Pekarangan sebuah toko yang menjual keperluan sehari-hari . Walau begitu ternyata tempat ini jadi tempat singgah truk-truk yang melintas, sepinya tidak terasa karena hingga tengah malam banyak truk bergantian menepi.

Buah-buahan hasil bumi Timor jadi santapan pembuka hari ini menuju Atambua.

21-22-23 April

Berbekal jadwal kapal ASDP dan seputaran Larantuka (Adonara, Lembata dan Alor), petang ini kami diskusi keluarga untuk menentukan tujuan selanjutnya

Anak-anak pingin segera nyebrang ke Kupang, sementara Abah dan Ambu masih ingin ekplorasi di seputaran Larantuka. Di tengah diskusi Abah lalu telpon ke petugas pelabuhan memastikan jadwal kapal. Informasinya kapal ke Adonara dan sekitarnya cancel sementara kapal ASDP ke Kupang masih on. Palu diketok, Unlocking Indonesia’s Treasure menuju Kupang (keputusan yang belakangan disesali Ambu).

Malam ini kami pamit pada Bapak Pastor Keuskupan. Kami akan meninggalkan tempat kami parkir selama 4 hari ini dan menginap di pelabuhan untuk mengejar kapal ferry ASDP yang akan berangkat besok pagi.

Kenapa pakai menginap segala? Karena perayaan paskah baru saja usai sehingga akan ada arus balik dari Larantuka ke Kupang. Kapal akan penuh oleh peziarah. Jika kami lambat maka ada kemungkinan kami masih harus stay di Larantuka dan baru bisa menyebrang ke Kupang hari Jumat atau Minggu depan nanti.

Jam 9 malam itu kami masuk pelabuhan dan parkir di sana. Jam 6 pagi Abah diberitahu bahwa ada kemungkinan kendaraan besar tidak bisa berangkat karena prioritas hari itu adalah untuk penumpang tanpa kendaraan. Wah kesempatan nih, masih bisa ke Adonara dan sekitarnya pikir Ambu. Tidak lama, Abah datang kembali dengan kabar yang menusuk impian Ambu layaknya jarum nusuk balon tussss😪, impian ke Adonara dan sekitarnya kempes seketika, kami bisa berangkat pagi ini juga.

Menjelang jam berangkat, loket penuh sesak oleh calon penumpang. Untungnya tiket sudah kami beli melalui sedikit perdebatan dengan petugas loket. Truk kami yang setiap kali menyebrang lintas pulau selalu dimasukkan dalam kategori truk, oleh petugas di sini dimasukkan dalam kategori bus. Padahal ongkos bus dan truk selisihnya lebih dari satu juta. Akhirnya kami harus membongkar bukti berupa receipt dari penyebrangan-penyebrangan sebelumnya. Untung ada satu yang ditempelkan di scrapbook Sabiya, tiket penyebrangan ke Sabang. Setelah menunjukkan bukti, kami dapat harga tiket untuk truk. Di sini juga kami dicharge tiket untuk penumpang, praktek yang tidak ada di penyeberangan pulau lain.

Sekitar jam 9 pagi, kapal akhirnya berangkat. Dan dimulailah salah satu pengalaman nyebrang laut paling ‘brutal’😁 dan tidak akan terlupakan. Selain beberapa truk dan kendaraan kecil, bagian dasar kapal ro-ro sesak oleh puluhan motor, pengemudinya dan tentu saja penumpang tanpa kendaraan. Saking penuhnya, penumpang memenuhi tangga, lorong-lorong kapal dan area-area yang tidak semestinya ditempati penumpang. Sebetulnya keadaannya cukup memprihatinkan😪. Cuman karena sebagian besar para penumpang ini adalah peziarah Samana Santa yang (mungkin) baru dicharge secara spiritual, yang ada wajah-wajah happy aja. Seenggaknya yang nampak oleh saya. Tidak ada keluhan atau wajah merengut meratapi keadaan.

Karena penuh begitu, mau tidak mau kami harus tinggal di dalam mobil (bye bye angin laut). Walaupun masih bersyukur karena bisa tinggal di dalam mobil, tapi keadaan dalam mobil sungguh puanasss puolll Kakak!😣😓😨

Kami segan menyalakan AC karena angin panas dari unit outdoor dan asap dari gensetnya akan mengenai para penumpang yang duduk mengitari kendaraan kami. Jadi seperti saunalah kami di dalam mobil. Ditambah ombak dan angin cukup kencang, membuat kapal mengalun dan membuat mabuk. Membaca, nyemil, ngobrol, (berusaha) tidur adalah aktivitas kami selama 15 jam berikutnya. Malam hari yang kami kira akan lebih sejuk, ternyata sama saja. Hingga akhirnya terdengar penumpang di luar berkemas. Lamat-lamat di kegelapan nampak kerlap kerlip lampu di Pelabuan Bolok Kupang. Sampai! Tidak pernah sebelumnya saya sebersyukur ini ketika sampai di satu tempat. Sauna berjam-jam berakhir sudah.

Jam menunjukan pukul 1 dini hari ketika kami menginjak tanah Pulau Timor. Hello again Kupang.

21 April
Seringkali planless alias tidak punya itenerary di banyak kota, aktivitas seringkali kami lakukan secara spontan. Seperti siang barusan, setelah makan siang kami ketemu angkot, main naik aja. Mengetahui kalau kami pendatang (yang sedang mati gaya), Bang Sudi, sang supir, berbaik hati menawari kami jalan-jalan putar Kota Larantuka setelah ngantar penumpang ke tujuannya masing-masing. Oleh Bang Sudi kami diajak ke Bukit Doa Fatima. Sebuah Rumah Doa yang dibangun di ketinggian dengan pemandangan Kota Larantuka ke bawahnya.

Berikutnya kami diajak ke tempat hiburan yang sepertinya lagi ngehits di Larantuka; Taman Air Panas Oka, sebuah sumber air panas di tepi laut dengan pemandangan yang keren.

Rumput nampak tumbuh di pasir pantainya, mungkin karena mineral yang dikandung dalam air panasnya.

Terkenal dengan perayaan Semana Santanya, siapa sangka Larantuka menyimpan keindahan alam yang patut dikunjungi.

Pulangnya, Bang Sudi mampir dan ngobrol-ngobrol di truk. Thank you Bang, semoga segera nikah😀

19 April


Setiap tahun, sekitar satu minggu menjelang perayaan paskah, umat Katolik di Larantuka melaksanakan tradisi Semana Santa, yang telah berlangsung lebih dari lima abad, sejak bangsa Portugis menyebarkan agama Katolik dan berdagang cendana di Kepulauan Nusa Tenggara.

Semana Santa berasal dari kata semana (pekan) dan santa (suci), yang artinya pekan suci yang dimulai dari Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci hingga Perayaan Minggu Paskah.

Kami sedang bersiap-siap hendak menuju katedral ketika empat orang polisi datang diantar seorang suster dari keuskupan. Abah sudah menemui suster ini tadi pagi dan beliau sudah memberikan ijin untuk parkir. Lalu kenapa tiba-tiba kami didatangi polisi? Keadaan menjadi canggung karena salah satu bapak berseragam ini datang dengan wajah yang tidak bersahabat. Lalu Abah dan Ambu secara bergantian menerangkan siapa dan maksud tujuan kedatangan kami di Larantuka. Rupanya sebagai petugas pengamanan yang bertanggungjawab atas kelangsungan dan keamanan acara, ini adalah bagian dari tugas mereka. Pak Polisi paham dan sempat foto-foto dulu sebelum pamit. Lain kali kalo cuman mau nanya-nanya doang, nggak usah pasang muka angker duluan ya Pak😉.

Sebetulnya bukan sekali ini saja kami berurusan dengan polisi. Sudah berkali-kali kami dicegat polisi di jalanan, ditanyai bahkan ditilang😁. Tapi memang baru sekali ini kami didatangi polisi dengan wajah garang ketika sedang parkir😆.

Seorang peziarah, Denis, yang juga menginap di Wisma Saron penginapan milik keuskupan, menawari kami untuk pergi ke katedral bersama-sama. Denis adalah orang asli Ruteng dan baru pertama kali juga menghadiri acara ini. Kami jadi seperti punya guide, terimakasih ya.

Kami berjalan kaki menyusuri jalanan yang sudah ditutup untuk kendaraan, menuju katedral. Di kiri dan kanan jalan rute prosesi Jumat Agung ini sudah terpasang semacam pagar bambu tempat memasang lilin. Pemasangan pagar bambu ini dilaksanakan pada upacara Tikam Turo pada hari Senin sebelumnya.

Tiba di Katedral, kami mendaftar dan membayar biaya administrasi sebesar Rp 5000,- per orang. Kami lalu diberi tanda pengenal bertuliskan ‘Peziarah’ untuk dipasang di dada.

Setelah mendapat tanda pengenal, kami jadi merasa lebih ‘tenang’ mengikuti jalannya prosesi. Maklum, walaupun kebanyakan peziarah ramah dan welcoming, kadang ada juga pandangan keheranan demi melihat kami yang muslim ini beredar di area yang umumnya dipadati umat Katolik.

Dari katedral kami lalu turun ke arah pelabuhan dan menyusuri jalanan di tepi laut. Bertemulah kami dengan kapel pertama, Kapel Tuan Ana (Yesus). Saya tadinya agak ragu untuk masuk, tapi beberapa petugas yang berjaga di halaman kapel mempersilahkan kami masuk. Akhirnya setelah melepas alas kaki, saya dan Sabiya masuk. Di dalam kapel, dekat altar terdapat sebuah peti yang berisi patung Yesus, jemaat yang masuk kemudian berbaris mengantri sambil berlutut. Tiba di depan peti, mereka mengucapkan doa kemudian mencium peti tersebut.

Tidak jauh dari kapel Tuan Ana, terdapat kapel yang lebih besar, Kapel Tuan Ma. Di Kapel Tuan Ma, patung Bunda Maria yang telah dimeteraikan dalam sebuah peti mati selama satu tahun penuh, harus dibuka dengan penuh hati-hati oleh petugas Conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah. Tampak antrian panjang di halaman Kapel. Untuk memberi kesempatan pada jemaat, kami memilih tidak masuk kapel kali ini.
Menurut legenda, Patung Tuan Ma ditemukan oleh seorang laki-laki di Pantai Larantuka sekitar 500 tahun yang lampau, sebelum agama Katolik masuk ke Flores. Patung ini berasal dari kapal Portugis yang karam di perairan sekitar Larantuka. Ia kemudian menyerahkan patung tersebut kepada Raja Larantuka. Oleh Raja, patung tsb ditempatkan di dalam rumah ibadah masyarakat Larantuka saat itu.
Prosesi diawali dengan arak-arakan perahu serta puluhan bahkan ratusan kapal motor untuk mengantar Tuan Menino (Patung Yesus) dari Kapela Tuan Menino (Kota Sau) ke Kapela Pohon Sirih di Pante Kuce, depan istana raja Larantuka.

Prosesi berlangsung terus hingga esok dini hari. Patung-patung diarak ke dan dari Katedral dari siang hingga malam hari. Suasana syahdu dan khusu’ ketika Patung Tuan Ma keluar dari katedral diiringi nyala lilin yang dipegang peziarah. Kata Sabiya, “Setiap orang yang hadir, hadir secara spiritual, bukan hanya sekedar datang dan menyaksikan”.

sebagian info berasal dari : tirto.id

Puncak Inerie di Bajawa

18 April

Gunung Inerie berlatar langit pagi ini jadi pemandangan si jendela kami pagi ini. Pak Agus(tinus), kepala Balai Pemantau Gunung Inerie berbaik hati mengijinkan kami parkir di halamannya.

Udara sejuk Bajawa membuat mager, pagi bergerak agak lamban.

Mbak Wida, Mas Iqbal serta anak-anaknya datang dan berkunjung lagi pagi ini untuk salam perpisahan serta membawa oleh-oleh kue, terimakasiiih 🙏.

Kami memang tidak banyak singgah di Flores ini. Semua area wisatanya sudah pernah kami kunjungi di kunjungan pertama (2015) dan kedua (2017). Kebetulan menjelang Paskah, kami ingin menyaksikan Puncak Perayaan Semana Santa atau Jumat Agung di Larantuka. Dan baru pagi itu kami tau kalau acara puncak bukan di hari Ahadnya, melainkan di hari Jumat, alias besok! Gimana sih Ambuu (sebagai planner perjalanan), namanya aja Jumat Agung la yaa😩😒😆😁.

Target ke Larantuka yang tadinya dua hari dimampatkan menjadi satu hari. Maka konsekuensinya adalah Abah bakal nyetir lebih lama dari biasanya. Belum lagi informasi dari Christian bahwa jalan menuju Larantuka akan ditutup mulai pukul 7 malam ini. Hadeuuh…😩😅.

Tapi secara kendaraan kami besar dan lambat, ya nggak bisa ngebut juga. Belum lagi jalanan yang berkelok-kelok naik turun. Yo wis sesampainya aja. Kalau Allah menakdirkan kami kami sampai tepat waktu, alhamdulilah, jika tidak ya tidak apa-apa. Kami makan siang sate kambing di Ende. Ketika hendak sholat, ketemu dengan Bang Ryan, subscriber Keluarga Kusmajadi 😁.

Kami baru sampai di Maumere sekitar jam 7 malam dan sempat ketemu sama Christian dulu.

Dari Maumere perjalanan masih 3-4 jam lagi. Anak-anak membongkar sofa dan membuatnya menjadi kasur. Ambu duduk di depan menemani Abah… untuk beberapa belas menit pertama aja😆. Di sisa perjalanan menuju Larantuka Ambu sukses tertidur, maaf ya Abah😅.

Kami tiba di Larantuka Jumat dini hari, sekitar jam 1 malam. Sehingga total lama perjalanan 17 jam! Jalan utama menuju Katedral sudah ditutup. Kami lalu minta ijin parkir di Keuskupan Larantuka.

jalan seperti cacing

16-17 April

Walaupun ini kali kedua kami ke Flores, ini adalah pengalaman pertama Abah nyetir di Trans Flores. Biasanya disetiri Christian dan kami ‘pingsan’ di jok belakang 😆, sorry Chris. Christian adalah guide kami ketika kami ke Flores tahun 2015 dan 2017 lalu.

Jalanan dari Labuan Bajo menuju Ruteng rupanya lumayan ‘keriting’. Berkelok-kelok dan menanjak, karena bergerak dari pantai menuju dataran tinggi. Di beberapa ruas tampak area longsor yang sudah diperbaiki.

Kondisi medan membuat waktu tempuh mulur jauh dari perkiraan google map. G-map mempredikasi waktu tempuh berkisar 4 jam saja, plus 2 jam makan siang. Kenyataannya kami harus berjalan selama 9-10 jam.

Walaupun kondisi jalan menantang, suguhan pemandangan sepanjang jalan indah sekali. Maklum, Manggarai Barat ini adalah lumbung padinya Flores.

Di tengah jalan kami berhenti untuk masak dan makan siang. Beberapa anak mendatangi dan menyapa kami.

Adzan Maghrib sudah selesai berkumandang kami tiba di kota Ruteng. Sebuah mesjid di tengah kota mengingatkan kami pada perjalanan dua tahun yang lalu. Di mesjid inilah kami singgah dan sholat, sebelum melakukan perjalanan hampir 8 jam menuju Dintor, desa terakhir sebelum ke Wae Rebo.

Kami putuskan untuk terus ke Ranamese, menurut g-map jaraknya sekitar 30 menit dari Ruteng. Keluar dari Ruteng yang bersih dan teratur, jalanan mulai menurun walaupun masih berkelok-kelok.

Tiba di gerbang Taman Wisata Danau Ranamese hari sudah gelap. Lampu remang-remang menerangi teras beberapa bangunan di kompleks taman wisata. Abah turun dari truk dan mengetuk pintu. Bangunan pertama tidak ada yang menjawab, begitu juga bangunan yang kedua. Oh well, mungkin petugas TW cuti dan pulang ke rumah masing-masing karena esok PEMILU.

Hakim yang mendapat cerita dari Om Christ-nya mengenai keangkeran tempat ini, mengajak kami kembali ke Ruteng dan menginap di sana. Melihat waktu dan kondisi jalanan yang gelap, Abah memutuskan untuk menginap dan parkir di sini. Selain itu toiletnya terbuka dan bisa kami dipakai.

Lelah dan dinginnya udara malam itu membuat kami tidur cepat.

Selepas subuh kami jalan-jalan dan turun ke danau. Sepagi itu sudah nampak seseorang mengayuh rakit di tengah danau. Melihat rombongan kami orang itu mengayuh rakitnya cepat-cepat dan menepi, entah kenapa. Kami tidak terlalu memperhatikan kemana hilangnya orang itu karena asyik menikmati udara dan pemandangan danau.

Ketika sedang bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan, sebuah Avanza hitam memasuki kompleks. Truk kami yang agak menghalangi jalan yang kebetulan sempit, membuatnya harus parkir berhadapan dengan truk. Supir dan 2 orang penumpang bulenya lalu turun dan menyapa kami. Pak supir yang orang lokal terkejut mendengar bahwa kami bermalam di situ. Menurut beliau tempat ini terkenal angker. Alhamdulilah kami tidak mengalami hal-hal ganjil semalaman menginap di sini.

Hari ini tujuan kami adalah kota dingin Bajawa. Walaupun masih berkelok-kelok dan menanjak, tapi tidak seekstrim kondisi jalanan di hari sebelumnya.

Setiap beberapa ratus meter kami lihat keramaian. Oh tentu saja, hari ini, PEMILU! Pemilihan umum serentak untuk memilih wakil rakyat dan juga presiden untuk lima tahun ke depan. Setiap TPS yang kami lewati nampak ramai dikunjungi penduduk yang mengantri tertib dan teratur. Bangga juga melihatnya.

Sebagai pendatang, dengan berbekal KTP, kami bisa mencoblos pada jam 12 siang nanti, karenanya kami tidak berhenti di TPS-TPS ini, karena masih pagi. Kami pikir masih bisa menunaikan kewajiban ketika mendekati Bajawa nanti. Apa daya, mendekati jam 12 hanya hutan gunung dan lembah yang nampak di kiri kanan jalan, tidak nampak lagi perkampungan apalagi TPS. Ketika tiba di Bajawa waktu sudah menunjukkan pukul 2. Abah turun dan menanyai beberapa TPS hingga ke kota Bajawa, semuanya sudah tutup. Apa boleh buat, kami doakan yang terbaik untuk rakyatlah yang menang.

Sebuah kedai Coto Makassar di tengah Kota Bajawa jadi tempat makan siang kami. Di situ kami disapa oleh seorang ibu, Mbak Wida namanya. Rupanya beliau pernah melihat cerita perjalanan kami di media sosial (sepertinya Mbak Iwed lagi ni sumbernya 😊)

Singkat cerita, Mbak Wida pamit pulang dan nggak lama membawa suaminya bertemu kami. Kami lalu diantar ke desa penghasil kopi Bajawa. Terimakasih banyak ya Mbak Wida dan Mas Iqbal.

Salah satu desa ini, Desa Beiwali adalah juga desa tradisional yang masih mempertahankan perkampungan adatnya.

Kami tiba di Desa Beiwali saat perhitungan suara di TPS desa sedang berlangsung. Penduduk masih ramai, mereka tampak antusias menyaksikan jalannya proses perhitungan suara. Terdengar dari pengeras suara, “Nomor Satu!… Nomor Satu”. Begitu berulang-ulang. Ya capres No.1, memenangkan 91% suara di provinsi ini.

14-15-16 April

Kami tiba di Pelabuhan Sape setelah adzan Ashar. Pelabuhan lengang sekali. Hanya tampak 3 truk sedang parkir di salah satu sudut lapangan parkir pelabuan yang luas.

Tujuan kami sebetulnya adalah Sumba. Namun sejak di Bima kami sudah tahu kalau kapal ke Waikelo Sumba tidak beroperasi karena pelabuhan Waikelo rusak dihantam badai. Pelabuhan ditutup hingga waktu yang belum ditentukan. Dengan demikian satu-satunya kapal yang mengarah ke arah Timur hanya yang menyebrang ke Labuan Bajo, Flores. Waktunya pakai ‘flexibility behavior’ tujuan diubah dari Sumba ke Flores.

Di pelabuhan kami baru tahu kalau kapal ke Labuan Bajo beroperasi dua hari sekali. Itulah sebabnya ada 3 truk yang parkir menunggu kapal. Beruntungnya kami, kapal akan beroperasi esok hari. Kami cukup menginap sehari saja di Sape. Pukul 6 pagi kami sudah sarapan, beberes, cuci piring dan sejam kemudian sudah siap untuk menyebrang.

Perjalanan memakan waktu sekitar 8 jam. Hari masih terang ketika ban truk menyentuh tanah Flores, di pelabuhan yang tengah direnovasi. Kecuali (calon) kedai Starbucks di (calon) Kompleks Niaga di pelabuhan, tanah yang ke-3 kali kami injak ini masih sama; langit biru tak berbatas, semburat jingga kala senja, ladang-ladang hijau di kaki bukit, biru toska lautnya, pantai-pantai berpasir putih, desa-desa tua berusia berabad, wajah-wajah bersahaja yang ramah dan akrab, bukit-bukit coklat di Pulau Rinca tempat para naga hidup ribuan tahun dan tentu saja puncak-puncak vulkaniknya yang berselimut awan.

Selesai makan siang yang kesorean, kami lalu ke arah Selatan mencari pantai untuk parkir bermalam. Ketika tiba di pantai yang dimaksud, sebuah palang melintang di pintu masuknya. Karena sepi dan tidak ada yang bisa ditanyai kami melanjutkan pencarian terus ke Selatan. Tidak jauh dari Hotel Jayakarta, ada sebuah mesjid jami’, Gorontalo, nama desanya. Parkiraannya luas tanpa gapura dan airnya bersih, fixed ini tempat kami bermalam.

Keesokan pagi, selepas rutinitas pagi; mandi, sarapan dan beres-beres mobil, kami siap melanjutkan petualangan hari ini.

12-13-14 April

Tiga hari ini kami beristirahat ngelempengin badan di King Village Bima, homestay seperti rumah. Tiap rumah terdiri dari dua kamar dan satu ruang tamu yang luas. Ambu dan Abah mulai terserang demam dan flu. Kurang istirahat disertai cuaca panas selama beberapa hari di Doro Ncanga menumbangkan pertahanan tubuh kami.

Namun di hari pertama Abah belum bisa istirahat full karena ternyata ban kiri belakang lagi-lagi kempes. Abah terpaksa harus mengganti ban dan mencari tukang tambal ban.

Hari ke-3, waktunya melanjutkan perjalanan. Om Mul, polhut Doro Ncanga kebetulan sedang di Bima. Kami ketemuan dan Om Mul ikut mencarikan tukang tambal ban. Setelah itu kita makan siang bersama dan berpisah.

Kami melanjutkan perjalanan ke Sape. Di jalan kami singgah di Uma Lengge Wawo. Berbeda dengan Uma Lengge di Sambori, Uma Lengge di sini ukurannya lebih kecil dan berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil panen terutama padi. Letaknya juga berkumpul dalam sebuah kompleks, tidak sendiri-sendiri. Yang menyamakannya dengan Uma Lengge Sambori adalah usianya yang juga sudah ratusan tahun.

7-8-9-10-11-12 April

Kedatangan kami Dompu-Bima ini bertepatan dengan rangkaian Festival Tambora yang puncaknya akan digelar di savana Doro Ncanga tanggal 11 April. Festival Tambora pertama kali diadakan tahun 2015, dibuka oleh Presiden Jokowi dalam rangka memperingati meletusnya Gunung Tambora 200 tahun yang lalu, 11 April 1815.

Mumpung kami sedang di Sumbawa, demi menyaksikan puncak acara, maka kami kembali ke Doro Ncanga.

Doro Ncanga sudah dibersihkan ketika kami datang. Sebetulnya tidak ada sampah di sini, hanya kotoran sapi yang berserakan. Maklum sehari-hari tempat ini adalah feeding ground mamalia satu ini.

Kami sempat pindah tempat parkir beberapa kali karena ada banyak tenda-tenda didirikan untuk kepentingan festival. H-3 dan H-4 Doro Ncanga semakin ramai. Panitia membagi area dalam beberapa zona bagi memudahkan manajemen logistik. Ada area khusus puncak acara dimana panggung dan tenda VIP didirikan. Ada area perkemahan penduduk lengkap dengan toilet-toilet portable. Area perkemahan khusus pengisi acara yang jumlahnya ratusan orang lengkap dengan dapur umumnya. Area khusus penjaja makanan, dll. Kami hampir tidak mengenali lagi Doro Ncanga, padang savana sunyi yang tadinya hanya dihuni sapi dan kuda berubah menjadi area perkemahan massal yang hiruk pikuk.

Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya acara puncak Festival Tambora digelar juga. Dihadiri oleh Gubernur NTB, Bupati serta Staf Kementrian Pariwisata Pusat. Walaupun ada tarian kontemporer kolosal yang menceritakan kehidupan di Tambora, Doro Mantika yang dibawakan oleh 300 penari, selebihnya acara berupa hiburan rakyat pada umumnya. Tidak ditampilkan hiburan tradisional yang sebetulnya banyak dimiliki oleh masyarakat Mbojo.

Sore hari kami mengunjungi mata air Oi Rao. Mata air yang konon keluar dari bawah akar-akar pohon Rao. Air yang keluar ini tertampung di dalam kolam dangkal yang lebar di sekitar mata air. Airnya sejuk, bening dan menyegarkan. Penduduk sekitar memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari. Ketika kami tiba ada yang sedang mandi dan mencuci pakaian. Bukan hanya manusia, bahkan motor dan truk pun mandi di sini.

Dari Oi Rao kami pulang ke Doro Ncanga dan menginap semalam lagi untuk keesokan harinya berangkat lagi ke Bima.