31 Maret
Setelah menginap di savana Doro Ncanga dua malam, dengan berat hati kami bergerak ke tujuan berikutnya yaitu Satonda dan Desa Pancasila.
Dari Mas Rio Abah dapat kontak untuk menyewa kapal ke Pulau Satonda, namanya Bang Christ.
Kami janjian dengan Bang Chris di pelabuhan Calabai. Di tepi pantai nampak sebuah speedboat sudah siap membawa kami ke Taman Wisata Alam Pulau Satonda. Setelah Bang Chris membeli solar kami pun berangkat. Walau matahari sudah semakin tinggi, angin laut yang bertiup ketika speedboat melaju kencang membuat kami tidak terlalu kepanasan, tau-tau gosong aja😋.
Pulau Satonda tidak terlalu jauh, hanya setengah jam. Dari pelabuhan yang sama kita bisa juga ke Pulau Moyo.

Keistimewaan Pulau Satonda adalah danau asin di tengah pulaunya. Untuk melihat danau di ketinggian, kami harus trekking di jalanan menanjak yang katanya hanya 500m, tapi berasa 5km buat Ambu 😪. Kami ditemani oleh 5 mitra polisi hutan yang kebetulan akan patroli.


Danau ini terbentuk dari letusan Gunung Satonda ribuan tahun yang lalu. Luas danau ini 335 hektare dan kedalaman 86 meter. Berair asin dengan tingkat kebasaan jauh lebih tinggi daripada air laut biasa. Tidak ada ikan besar yang hidup di sini. Para peneliti menyimpulkan bahwa cekungan Satonda terbentuk dari kawah yang berusia lebih dari sepuluh ribu tahun.
Oh ya di tengah jalan menuju danau kita ketemu gundukan tanah yang rupanya sarang burung Maleo.


Satu sarang bisa dipakai oleh beberapa induk, makanya ukurannya besar sekali. Oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), Maleo dimasukkan dalam kategori terancam punah.
Walau dinyatakan sebagai endemik di Sulawesi, burung langka ini ternyata bisa ditemui juga Pulau Satonda dan Pulau Moyo.
Burung Maleo mempunyai gaya hidup yang unik. Burung Maleo dewasa berpasangan sehidup semati. Ketika betinanya sudah siap untuk bertelur, bersama pasangannya, dia akan berjalankaki berkilo-kilometer ke tempat bertelur komunal seperti di foto.
Di sana, pasangan Maleo itu menggali lubang yang besar di dalam pasir atau tanah selama berjam-jam. Di dalam lubang tersebut, Burung Maleo betina menelurkan satu butir telur yang sangat besar. Hanya satu! Badan Burung Maleo seukuran ayam, sedangkan telurnya enam kali lipat telur ayam.
Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan Maleo menguruk telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai satu meter.
Kemudian, mereka pulang lagi ke hutan, sementara telur dibiarkan untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diganggu, sesudah 60-80 hari, telur itu menetas di dalam pasir. Begitu menetas, anak Maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk mengirup udara segar di alam bebas.
Sesudah beristirahat selama beberapa menit, anak Maleo langsung terbang ke arah hutan untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.
sumber : https://sains.kompas.com/read/2015/10/13/10574701/Menengok.Habitat.Maleo.Burung.Asli.Sulawesi.yang.Terancam.Punah
Sampai di ketinggian kami istirahat sebentar sambil ngobrol-ngobrol dengan Polisi Hutan yang mengantar kami. Salah satu mitra polhut menemukan tanduk rusa timor yang sudah lepas dan menunjukkannya pada kami.

Setelah cukup beristirahat kami turun kembali menuju ke tepi danau. Di tengah jalan Hakim memanjat pohon yang malang melintang di jalur trekking.



Karena diperkirakan terdapat gas belerang di tengahnya, berenang tidak dianjurkan, jadi kami menikmati kesejukan danau dari tepiannya saja. Begitu juga ketika kami kembali ke pantai. Setelah makan siang, bukannya berenang, malah tidur-tiduran dan ngobrol-ngobrol dengan Bapak-bapak Jagawana dan Bang Chris.
Menjelang sore kami balik ke mainland lalu langsung lanjut ke Desa Pancasila.