7 April

Terus terang Ambu sesungguhnya tidak terlalu tertarik melihat Pacoa Jara atau pacuan kuda Bima ini. Selain dijadikan ajang bermain judi, pacuan kuda ini juga menggunakan anak-anak sebagai jokinya. Tanpa pelana apalagi helm berkuda, anak-anak berusia antara 6-9 tahun berlomba memacu kuda di arena becek yang licin. Tidak terhitung jumlah anak-anak yang cedera karena terjatuh dan terinjak kuda.

Karena Ambu tidak tertarik begitu juga Hakim dan Sabiya, maka hanya Abah yang turun dan mengambil gambar pacuan kuda dari dekat. Satu jam berlalu, Abah belum juga kembali sementara telponnya tidak diangkat. Akhirnya kami bertiga turun dan masuk ke arena dengan maksud mencari Abah dan mengajaknya melanjutkan perjalanan.

Begitu kami tiba di tepi arena, suasana sangat ramai, penonton di podium bersorak-sorai, sampah berserakan dimana-mana. Beberapa laki-laki seperti bandar judi, tampak menggenggam dan mangacung-acungkan segepok uang pecahan seratus ribuan. Di dalam arena tengah melintas 4 ekor kuda dengan joki ciliknya. Tidak lama, tiba-tiba satu joki tampak kehilangan keseimbangan lalu terjatuh dari kudanya kemudian terinjak kuda lainnya. Joki cilik malang itu kemudian digendong dan dibawa ke klinik darurat tidak jauh dari arena. Sementara para laki-laki di podium masih bersorak-sorai mengelu-elukan jagoannya yang tersisa seperti tidak peduli akan nasib joki cilik tadi.

That’s it, we’re out of here. Pada pemerintah Bima jika memang ingin melestarikan budaya ini, mohon untuk memperhatikan faktor keselamatan para penunggang ciliknya.

5-6-7 April

Semenjak belajar surfing di Kuta, Sabiya belum menemukan kesempatan lagi untuk meneruskan pelajaran surfingnya. Mumpung di Bima, maka rapat keluarga memutuskan untuk ke Pantai Lakey di Selatan Dompu, siapa tahu ada kelas surfing untuk Sabiya.

Tiba di Lakey matahari sedang terik-teriknya. Kami menyusuri jalanan di tepian pantai sambil mencari tempat yang cocok untuk tempat parkir dan bermalam. Beberapa hotel kami masuki. Umumnya mengizinkan kami parkir dengan catatan kami menyewa minimal satu kamar. Pilihan jatuh pada Tree House Hotel. Tempatnya agak terpencil dan sendirian, namun pantainya cantiik sekali. Irfan, penjaga dan adik pemilik hotel ini ternyata surfer handal dan bersedia jadi guru surfing Sabiya.

Rencana menginap semalam, mulur menjadi dua malam. Walaupun Ambu booking kamar dengan ukuran lebih kecil untuk malam kedua, Irfan tidak mengizinkan kami pindah kamar dan mempersilahkan kami memakai kamar yang lebih besar dengan alasan tidak perlu ganti sprei dsb. Ya kami senang aja.

Pantai Lakey sering disebut surganya para surfer. Pantai ini memiliki beberapa spot ideal untuk surfing, dengan karakter ombak yang beragam. Dan hotel tempat kami menginap merupakan salah satunya, ombak menyapu dari arah kiri dan kanan pantai bertemu di satu titik tepat di depan hotel. Puas Sabiya belajar surfing dua hari berturut-turut.

4-5 April

Satu hal yang mencolok di Bima adalah banyak banget warung bakso😆. Secara warung bakso identik sama Mas-mas dari Solo dan Bima jauh banget dari Solo😁. Dan penjelasannya ada di Doro Ncanga: daging sapi melimpah ruah di sini dan harganya separuh harga di Jawa. Singkat cerita masuklah kami ke salah satu kedai ini dan mencicipi bakso di Kota Bima. Rasanya sama persis dengan di Jawa karena yang jualannya memang orang Jawa😁.

Tujuan kami hari ini adalah Desa Sambori, desa di ketinggian yang masih memakai bahasa Bima asli atau Mbojo lama. Karena letaknya yang di ketinggian, kami harus melalui jalan berkelok menanjak dengan pemandangan yang indah.

Desa Sambori masih menyimpan sebuah Uma Lengge atau rumah adat masyarakat Bima. Uma Lengge berusia ratusan tahun ini satu-satunya Uma Lengge yang tersisa di Desa Sambori, mungkin satu-satunya juga di Bima. Uma Lengge merupakan bangunan panggung berukuran tidak terlalu besar, sekitar 3×3 meter namun tinggi, terdiri dari 3 lantai. Bagian bawah untuk kegiatan sehari-hari, lantai kedua untuk tidur dan lantai ketiga untuk menyimpan hasil panen.

Kami berjumpa dengan keluarga generasi terakhir pemilik Uma lengge, Ibu Aisyah, guru berusia sekitar 60 tahun yang masih cergas.

Langkanya bahan baku untuk atap menyebabkan Uma Lengge sulit untuk dipertahankan. Ketika direnovasi beberapa tahun yang lalu, bahan untuk atap didatangkan dari Tambora, jauh sekali.

Senagai pemangku terakhir budaya asli Bima, Sambori kaya akan pengetahuan mengenai tanaman obat. Resep obat tradisional diturunkan secara turun temurun selama ratusan tahun. Ibu Aisyah menyimpan beberapa resep ini dalam bentuk tulisan tangannya. Beliau juga pernah mengikuti pameran tanaman obat di ibukota.

Sebagai oleh-oleh kami diberi bermacam buah dan hasil bumi Sambori seperti alpukat, jeruk, bawang putih, beras dan markisa. Terimakasih Ibu Aisyah.

2-3 April

Dari Desa Pancasila, kami menginap semalam lagi di Doro Ncanga, lalu pagi-pagi berangkat ke Dompu.

Dalam perjalanan Sabiya sempat berfoto dan berdekatan dengan binatang kesayangannya, kuda.

Setelah berjalan kurang lebih 30 menit, tiba-tiba terdengar suara angin keluar dari celah kecil, “Ppppppssssss”. Truk ditepikan dan Abah segera turun memeriksa ban kiri belakang, ban langganan kempes. Betul saja, ban yang dimaksud sedang kempes dan mengeluarkan angin. Walaupun kami berhenti tepat di depan sebuah kios tambal ban, pemilik kios tidak bisa berbuat banyak untuk menolong kami. Akhirnya Abah minta diantar ke tambal ban terdekat, sementara kami menunggu di truk. Sekitar 1 jam kemudian ban truk berhasil diganti. Dan 2 jam kemudian kami menunggui ban ditambal. Sambil menunggu, Ambu masak dan kita makan siang.

Hari sudah menjelang sore ketika kami sampai di Kempo, sekitar dua pertiga jalan menuju Kempo. Tiba di Pasar Cabang, Abah sempat ke toko onderdil mencari komponen handle pintu belakang yang rusak (lagi). Kami menghabiskan sekitar 1 jam lagi untuk mengganti handle pintu. Selesai dengan handle pintu, hari sudah benar-benar sore. Abah baru terasa laparnya karena doi nggak ikutan makan siang tadi. Beruntung di Pasar Cabang ada kedai sate solo.

Tiba di Dompu sudah Isya. Suasana kota semarak mempersiapkan Pawai Budaya yang akan diselenggarakan esok sebagai bagian dari Festival Tambora dan Perayaan Ulang Tahun Kota Dompu ke 204.

Gapura Mesjid Raya Dompu tidak memungkinkan truk masuk. Setelah koordinasi dengan Mas Oji dari Dinas Pariwisata Pusat yang kebetulan sedang menghadiri Festival Tambora dan Kepala Dinas Pariwisata Dompu, kami dipersilahkan parkir di Pendopo, kediaman resmi Bupati Dompu.

Keesokan harinya kami bersiap pagi-pagi untuk menyaksikan pawai budaya. Suasana meriah luar biasa. Tingkat partisipasinya walau tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya tapi cukup ramai. Pak Bupati dan stafnya turut serta berpawai. Yang paling menarik perhatian adalah busana tradisional yang dikenakan para Ibu-ibu dan remaja gadisnya. Semacam sarung yang merupakan kain tenun khas Bima dengan warna warni meriah dikenakan di kepala dan separuh badan seperti layaknya kerudung yang dalam bahasa setempat disebut Rimpu. Rimpu merupakan budaya yang dipengaruhi oleh masuknya agama Islam ke Bima yang dibawa oleh penyebar Islam dari Makassar. Selain itu ada juga kelompok masyarakat NTT yang ikut berpawai, seperti dari Flores dan Sumba. Mereka berpawai sambil menari dengan musik tradisional daerahnya sehingga suasana semakin hype dan festive.

Selain Kirab Budaya, turut dipamerkan juga berbagai macam panganan khas Bima terbuat dari jagung. Kami sempat mencicipi jus jagung dalam kemasan yang dingin, sangat menyegarkan di tengah teriknya cuaca Dompu.

Kami lalu meluncur ke Bima dan menginap di hotel, ngelempengin badan setelah lebih dari seminggu tidur di truk semenjak meninggalkan Samawa Seaside.

31 Maret – 1 April

Hari masih sore ketika kami menepi di Pelabuhan Calabai sepulang dari Satonda. Tujuan berikutnya adalah Desa Pancasila berjarak sekitar 45 menit dari sini. Di tengah jalan Ambu mengisi ulang kulkas dengan telur, kacang panjang, kubis dan tomat.

Untuk sampai di Desa Pancasila kami melewati Kantor Polisi Hutan Pancasila yang kelihatannya baru dibangun lengkap dengan homestay sebagai tempat transit para pendaki. Kontak yang akan kami temui di Desa Pancasila adalah Bang Ipul. Nama beliau memang akrab di kalangan pendaki Tambora. Sebelum menjadi Polisi Hutan seperti sekarang, selama bertahun-tahun Bang Ipul menjadi guide dan trekking organizer di Tambora. Tak lama truk memasuki sebuah perkampungan. Rumah Bang Ipul terletak tepat di depan lapangan desa, sebuah padang rumput seluas lapangan sepakbola yang juga berfungsi sebagai tempat ternak sapi merumput. Sore itu sinar matahari senja membuat lapangan jadi coklat keemasan. Kami lalu parkir di situ. Udara di sini sejuk, artinya kami bisa tidur nyaman tanpa kegerahan malam nanti.

Bang Ipul sedang membersihkan halaman homestaynya ketika kami tiba. Setelah ngobrol dan menyusun rencana perjalanan untuk esok hari, kami pamit kembali ke truk.

Lepas Maghrib listrik mati. Lapangan dan sekitarnya gelap gulita. Ketika sedang menyiapkan bahan makanan untuk santap malam, nampak sesosok tubuh memperhatikan kami dari luar. Kemudian Ambu keluar dan menyapanya. Suaranya kecil, tidak pasti apakah perempuan atau laki-laki. Setelah mengobrol beberapa saat, akhirnya mau juga dia naik ke truk dan nampaklah sosoknya. Namanya Adhar, umurnya 12 tahun dan dalam perjalanan pulang dari surau. Adhar duduk dan berbincang banyak dengan kami mengenai keluarga dan pekerjaan sambilannya sebagai pemetik jagung. Sungguh kisah yang tidak biasa bagi kami, mengharukan dan penuh perjuangan. Tidak lama berdatangan beberapa bapak dan ngobrol dengan kami. Ba’da Isya Hakim dan Adhar pamit untuk mengunjungi rumah Adhar. Pukul 9 Hakim pulang sendiri dan membawa cerita tentang keluarga Adhar.

Keesokan paginya Bang Ipul dan 3 pengendara motor lain sudah siap untuk mengantar kami berjalan-jalan di seputar Desa Pancasila. Tujuan pertama adalah Pintu Belajar yang didirikan oleh Mbak Mega di desa atas Pancasila. Mbak Mega adalah alumni Indonesia Mengajar yang pernah mengajar di salah satu SD di sini tahun 2015 lalu. Selain bruga sederhana yang dipakai untuk belajar setiap sore, terdapat juga beberapa buah rak berisi berbagai macam buku sebagai perpustakaan bagi penduduk setempat. Ada semangat besar terpancar dari tempat sederhana ini. Perpustakaan ini representasi dari sikap pantang menyerah para pendirinya, meretas segala keterbatasan di tengah keterpencilannya. Saya berdoa diam-diam dalam hati semoga apa yang dicita-citakan oleh pendiri Pintu Belajar ini bisa tercapai, amin yra.

Tujuan berikutnya Rumah Besar, yaitu rumah peninggalan Belanda yang dijadikan homestay. Kami bertemu dengan Mbak Mega dan kawan-kawannya yang baru saja turun dari Gunung Tambora.

Di Rumah Besar ini juga terdapat beberapa foto dan artefak berasal dari eskavasi di lereng Tambora. Konon ketika meletus tahun 1815, Gunung Tambora menghancurkan tiga kerajaan di lerengnya yaitu Kerjaan Sanggar, Tambora dan Pekat. Artefak-artefak ini diduga merupakan peninggalan ketiga kerjaan ini.

Tempat ketiga adalah pabrik kopi tua peninggalan Belanda. Tanahnya yang subur dan ketinggian di 1200mdpl menjadikan lereng Tambora tempat yang ideal bagi pertumbuhan kopi. Sebuah film dokumenter merekam bagaimana kopi Tambora sudah dikembangkan menjadi sebuah argo industri di tahun 1900an.

Kendati sudah tua, pabrik pengolahan kopi ini masih dipakai oleh penduduk sekitar untuk mengolah kopi dari kebun mereka, walaupun sebagian mesin-mesinnya sudah diganti.

Ketika Belanda pergi, kebun kopi Tambora kemudian diambil alih oleh pemerintah dan saat ini menjadi bagian dari kawasan Hutan Negara . Dengan status meminjam, oleh penduduk lahan ini dikelola dengan sistem Tumpang Sari, tanaman kopi ditanam di sela pohon-pohon besar dengan syarat pohon-pohon tsb tidak diganggu. Satu orang warga hanya bisa menempati lahan 2 hingga 6 hektar.

Tujuan terakhir adalah Pura Agung, situs kuno peninggalan umat Hindu Majapahit yang konon sudah ada sebelum Tambora meletus. Ketika ditemukan pertama kali ukurannya tidak seluas sekarang. Menurut Bang Ipul tempat ini sering dikunjungi oleh pembesar-pembesar dari berbagai daerah dengan berbagai tujuan. Selain sejarah pura, pohon-pohon besar di halaman pura ini juga menarik perhatian kami. Perlu 5-6 orang dewasa untuk bisa memeluk pohon-pohon ini. Konon dulu lereng Gunung Tambora dipenuhi oleh pepohonan sebesar ini. Sekarang pohon-pohon ini hampir habis akibat deforestasi oleh Konsesi HPH dari tahun 90an hingga sekarang.

31 Maret

Setelah menginap di savana Doro Ncanga dua malam, dengan berat hati kami bergerak ke tujuan berikutnya yaitu Satonda dan Desa Pancasila.

Dari Mas Rio Abah dapat kontak untuk menyewa kapal ke Pulau Satonda, namanya Bang Christ.

Kami janjian dengan Bang Chris di pelabuhan Calabai. Di tepi pantai nampak sebuah speedboat sudah siap membawa kami ke Taman Wisata Alam Pulau Satonda. Setelah Bang Chris membeli solar kami pun berangkat. Walau matahari sudah semakin tinggi, angin laut yang bertiup ketika speedboat melaju kencang membuat kami tidak terlalu kepanasan, tau-tau gosong aja😋.

Pulau Satonda tidak terlalu jauh, hanya setengah jam. Dari pelabuhan yang sama kita bisa juga ke Pulau Moyo.

Keistimewaan Pulau Satonda adalah danau asin di tengah pulaunya. Untuk melihat danau di ketinggian, kami harus trekking di jalanan menanjak yang katanya hanya 500m, tapi berasa 5km buat Ambu 😪. Kami ditemani oleh 5 mitra polisi hutan yang kebetulan akan patroli.

Danau ini terbentuk dari letusan Gunung Satonda ribuan tahun yang lalu. Luas danau ini 335 hektare dan kedalaman 86 meter. Berair asin dengan tingkat kebasaan jauh lebih tinggi daripada air laut biasa. Tidak ada ikan besar yang hidup di sini. Para peneliti menyimpulkan bahwa cekungan Satonda terbentuk dari kawah yang berusia lebih dari sepuluh ribu tahun.

Oh ya di tengah jalan menuju danau kita ketemu gundukan tanah yang rupanya sarang burung Maleo.

Satu sarang bisa dipakai oleh beberapa induk, makanya ukurannya besar sekali. Oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN), Maleo dimasukkan dalam kategori terancam punah.
Walau dinyatakan sebagai endemik di Sulawesi, burung langka ini ternyata bisa ditemui juga Pulau Satonda dan Pulau Moyo.
Burung Maleo mempunyai gaya hidup yang unik. Burung Maleo dewasa berpasangan sehidup semati. Ketika betinanya sudah siap untuk bertelur, bersama pasangannya, dia akan berjalankaki berkilo-kilometer ke tempat bertelur komunal seperti di foto.
Di sana, pasangan Maleo itu menggali lubang yang besar di dalam pasir atau tanah selama berjam-jam. Di dalam lubang tersebut, Burung Maleo betina menelurkan satu butir telur yang sangat besar. Hanya satu! Badan Burung Maleo seukuran ayam, sedangkan telurnya enam kali lipat telur ayam.

Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan Maleo menguruk telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai satu meter.

Kemudian, mereka pulang lagi ke hutan, sementara telur dibiarkan untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diganggu, sesudah 60-80 hari, telur itu menetas di dalam pasir. Begitu menetas, anak Maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk mengirup udara segar di alam bebas.

Sesudah beristirahat selama beberapa menit, anak Maleo langsung terbang ke arah hutan untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.

sumber : https://sains.kompas.com/read/2015/10/13/10574701/Menengok.Habitat.Maleo.Burung.Asli.Sulawesi.yang.Terancam.Punah

Sampai di ketinggian kami istirahat sebentar sambil ngobrol-ngobrol dengan Polisi Hutan yang mengantar kami. Salah satu mitra polhut menemukan tanduk rusa timor yang sudah lepas dan menunjukkannya pada kami.

Setelah cukup beristirahat kami turun kembali menuju ke tepi danau. Di tengah jalan Hakim memanjat pohon yang malang melintang di jalur trekking.

Karena diperkirakan terdapat gas belerang di tengahnya, berenang tidak dianjurkan, jadi kami menikmati kesejukan danau dari tepiannya saja. Begitu juga ketika kami kembali ke pantai. Setelah makan siang, bukannya berenang, malah tidur-tiduran dan ngobrol-ngobrol dengan Bapak-bapak Jagawana dan Bang Chris.

Menjelang sore kami balik ke mainland lalu langsung lanjut ke Desa Pancasila.

30 Maret

Pagi yang istimewa karena kami terbangun di tengah padang savana. What a previlege, alhamdulillah.

Mas Mul dan Mas Panji mengajak kami untuk menengok Tebing breksi Sarae Nduha, bukit-bukit hijau yang berbatasan langsung dengan laut. Perbatasannya dengan laut merupakan tebing pasir hasil abrasi yang menyingkap endapan hasil letusan 200 tahun yang lalu.

Baik Sarae Nduha maupun Doro Ncanga keduanya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Tambora. Taman Nasional ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 11 April 2015, bertepatan dengan peringatan 200 tahun letusan besar Gunung Tambora pada 11 April 1815.

Kawasan konservasi Gunung Tambora memiliki potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Vegetasi yang tumbuh disana terdiri dari 106 jenis pohon, 18 jenis epifit, 6 jenis herba, 39 jenis liana, dan 49 jenis perdu.

Kawasan konservasi Gunung Tambora merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa di antaranya dari kelas mamalia (Rusa Timor), reptil (Biawak, Kadal Pohon, Ular Sanca), primata (Kera Abu) dan aves. Terdapat 8 jenis burung yang dilindungi, 1 jenis di antaranya merupakan spesies perioritas terancam punah dan dua jenis burung endemik NTB.

Potensi wisata alam Gunung Tambora menyuguhkan keindahan panorama dari hutan daratan rendah hingga hutan pegunungan. Berbagai flora dan fauna dapat ditemui yang akan menambah pengalaman dan merupakan sensasi tersendiri bagi wisatawan.
sumber : Wikipedia

Dari Sarae Nduha kami lalu ke Doro Bente lalu kembali ke resort dan menghabiskan sisa hari menikmati savana.

28-29 Maret

Samawa Resort berbaik hati memberi kami late check-out sampai jam 2 siang. Setelah makan siang (dengan berat hati😆) kami tinggalkan resort keren ini.

Sekali lagi kami minta air sama Mas Rio dan ngobrol-ngobrol mengenai tujuan berikutnya. Mas Rio menganjurkan kami untuk langsung jalan ke arah Dompu dan parkir menginap di Sentong instead of menginap di Sumbawa Besar lagi. Di Sentong ada lesehan yang terkenal dengan Sup Ikan Bakarnya atau dikenal dengan nama Sepat di dalam bahasa setempat.

Lesehan Sentong berjarak sekitar 1-1.5 jam dari Sumbawa Besar. Restorannya sederhana dengan beberapa bruga untuk lesehan. Bonusnya yang juara, karena letaknya di teluk, pemadangannya indah dengan gunung Tambora. Mungkin kalau di kota besar, tempat seindah ini sudah dimiliki restoran-restoran mahal.

Dengan meminta izin pada pemilik restoran, kami menginap di sini. Buah-buahan dari Ibu Mas Rio jadi santapan sarapan pagi, ditambah dengan buah serikaya yang kami beli dalam perjalanan dari Pototano. Sumbawa memang penghasil buah srikaya, selain harum, rasanya manis.

Sejak dini hari Abah sudah 3x bolak balik ke toilet, diare. Sepagian Abah tidur, lelah karena dehidrasi. Sambil menunggu Abah pulih, Sabiya dan Hakim mengerjakan tugas mingguan sementara Ambu menulis blog.

Setelah merasakan Sepat kemarin sore, siang ini giliran mencicipi Singgang. Jika sepat adalah ikan bakar yang disantap dengan sup asam, maka Singgang adalah sup ikan yang direbus. Rasanya masam dan segar mirip sepat, hanya ikannya tidak dibakar. Abah sudah mendingan dan ikutan makan siang. Selepas makan kami lalu melanjutkan perjalanan ke Doro Ncanga. Setelah menyusuri Teluk Saleh akhirnya tiba juga di Doro Ncanga petang harinya. Kami ketemu dengan Mas Mul di resort (kantor polisi hutan) Doro Ncanga.

Doro Ncanga merupakan padang savana di kaki Tambora. Letusan Tambora melontarkan piroklastik (material gunung api) dan hampir menutupi seluruh lereng Tambora hingga ke Teluk Saleh. Sisa-sisa material perut bumi yang terlontar ketika letusan terjadi 200 tahun lalu itu, masih nampak tersebar dalam bentuk sebesar kepalan orang dewasa di padang yang sekarang ditumbuhi rumput.

Setelah mendapat ijin, kami parkir di samping resort, menghadap padang rumput terhampar luas yang berbatasan langsung dengan laut.

Angin berhembus semilir ditingkahi suara lonceng-lonceng sapi yang berbunyi secara harmonis seperti gamelan menjadi pengantar tidur kami malam itu.

27-28 Maret

Walaupun berkendara dengan motorhome yang dilengkapi kasur untuk tidur, kadang kami menginap di hotel juga. Kami menganggarkan setidaknya satu malam dalam seminggu kami meluruskan badan di kasur sungguhan. Kali ini kami memilih Samawa Resort untuk menginap. Sebuah resort cantik di Utara Sumbawa Besar.

Kami dipilihkan sebuah bungalow dua kamar yang menghadap ke laut. Konon ketika gempa melanda Sumbawa tahun lalu, dalam kunjungannya Presiden Jokowi menginap di bungalow yang sama. “So we are p*oping at the same toilet as Presiden Jokowi!?” ujar Sabiya😁.

Selain beranda luas yang menghadap ke laut, bungalow ini dilengkapi dengan ruang keluarga, dua kamar tidur dan dua kamar mandi. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu. Kasurnya empuk, spreinya bersih dihiasi taburan bunga segar yang cantik. Kamar mandinya bersih dan luas.

Resort ini dilengkapi kolam renang yang menghadap ke laut dan dermaga untuk speed boat ke Pulau Moyo.

Menginap di hotel sebagus ini, dengan suasana yang begitu menyenangkan merupakan hiburan tersendiri dan sarana refreshing setelah berhari-hari melakukan perjalanan dengan truk.

26-27 April

Sepulang dari Pototano, kami langsung ke Sumbawa Besar ketemu Mas Rio lagi. Dengan berkonvoi, malam itu kami menembus kegelapan menuju Desa Labu Sao untuk bermalam karena keesokan harinya kami akan ke Pulau Moyo.

Telur rebus dan sereal jadi pengisi perut kami pagi itu. Dengan kapal nelayan kami berlayar selama 1.5 jam menuju Pulau Moyo.

Persinggahan pertama adalah gusung pasir imut-imut tidak jauh dari Labuan Haji, Takat Sagele namanya. Konon Takat Sagele terbentuk dari kumpulan karang yang sudah hancur karena pengeboman. Serpihan karang ini terbawa arus sedemikian rupa berkumpul dan membentuk gundukan Takat Sagele.

Air di sekitar gusung pasir ini jernih dan biru. Di perairan sekitarnya banyak ikan dan binatang laut lainnya. Mas Rio sempat mengambil bintang laut dan memberi kesempatan pada kami untuk menyentuhnya. Teksturnya permukaannya kasar bersisik. Tentakelnya kaku dan keras seperti batang kayu. Setelah puas snorkeling dan berenang, perjalanan dilanjutkan ke Labuan Haji, dermaga Pulau Moyo.

Begitu tiba di Labuan Haji, tukang ojek sudah stand by siap mengantar ke Air Terjun Mata Jitu dengan biaya Rp 100,000/orang. Selama dua puluh menit berikutnya kami melalui jalanan semen yang rusak parah dengan batuan karang mencuat di sana sini. Walhasil perjalanan ke air terjun seperti sport jantung.

Turun dari motor, setelah treking sekitar 5 menit, sampailah kita di air terjun yang kesohor sampai ke mancanegara itu. Seperti Ai Kalela di Sumbawa Barat, air terjun Mata Jitu juga terbentuk oleh batuan kapur. Di sekitar air terjun ada stalaktit dan stalakmit. Di bawahnya terdapat 7 kolam bertingkat alami. Airnya sejuk dan menyegarkan. Di puncak air terjun terdapat kolam alami sumber air berasal.



Kami mandi seperti tidak ada hari esok. Rasanya tidak mau pulang. Airnya begitu sejuk dan menyegarkan. Bukan hanya badan yang terbasuh, jiwa dan pikiran pun ikut segar.