17 Februari

Sebelum berangkat snorkeling, kami sarapan di pasar dulu di warung langganan Om Olan, Warung Bu Dewi. Sambil makan kita mendengarkan cerita Bu Dewi ketika gempa Agustus lalu menimpa Lombok.

Kita berangkat snorkeling bersama 3 remaja turis dari Brazil dan diguide-i oleh Bang Mail, kawan Om Olan. Bang Mail berperawakan kurus, berambut ikal dan panjang. Aksen bahasa Inggrisnya rasta banget. Hakim langsung akrab dengan beliau.

Spot pertama yang akan dikunjungi adalah patung bawah laut di Gili Meno. Berupa 48 patung yang membentuk for

masi melingkar. Patung ini juga merupakan upaya untuk pengembangbiakan terumbu karang.

Foto asli dan cerita lengkap bisa dilihat di sini.

Spot kedua berdekatan dengan spot pertama, di sini kita bisa melihat penyu hijau. Ada beberapa penyu di sini, walau tidak besar-besar seperti di Derawan, di sini penyunya jinak-jinak. Apa jangan-jangan emang penyu nggak takut manusia ya?

Dari spot kedua, kapal kemudian menepi ke Gili Air untuk makan siang. Kami makan di kapal saja karena sudah membawa bekal nasi bungkus dari Warung Dewi tadi pagi. Setelah makan, kita turun sebentar melihat suasana di Gili Air. Situasi di Gili Air berbeda jauh dengan Gili Trawangan. Di sini, jalanan masih relatif lengang. Suasana kampung nelayan masih terasa walaupun ada turis.

Di tempat ketiga kita berenang-renang aja karena terumbu dan ikannya tidak terlalu banyak. Para remaja Brazil bergantian berlompatan dari atap kapal.

Pukul 2 kita sudah sampai lagi di Sama-sama. Pengurus penginapan memberikan kelonggaran dan memberi kami kesempatan untuk bilas dan memakai kamar hingga sore ini. Terimakasih Penginapan Sama-sama.

Kami pulang kembali ke mainland menumpang kapal milik Sama-sama (juga) dan dijemput oleh Dabil. Tiba di workshop perut sudah keroncongan minta diisi. Ini sudah hari ke-3 di Lombok, tiba waktunya mencari makanan kesukaan Hakim: Ayam Taliwang. Karena di Pamenang (pusat keramaian terdekat) Ayam Taliwang tidak ada, maka diputuskan untuk ke Mataram saja. Kita iya’in aja, tanpa menyadari kalo untuk ukuran Lombok, Mataram itu jauuh dari Teluk Nara, hampir 1 jam! Kenapa ukuran Lombok? Karena tanpa macet dan kecepatan dipacu di atas 80m/jam. Besok-besok nggak pernah lagi kita berani-berani ke Mataram malam-malam, jauh bo!

16 Februari

Kami pamit pagi ini pada Om Yuli dan santri-santrinya untuk melanjutkan petualangan di Lombok.

Perburuan pertama : sarapan. Setelah mengisi perut di sebuah warteg, tanpa rencana jelas, truk diarahkan ke Sengggi. Melihat pantai biru, kami pun minggir dan duduk-duduk sambil menikmati udara pagi.

Tak lama sebuah vespa minggir. Pengemudinya turun lalu menyapa Abah. Rupanya beliau pernah melihat mobil kami di YouTube. Kenalan lah kita. Di sinilah petualangan panjang kami di Lombok, bermula. Mas Olan bekerja untuk Reggae Bar di Gili Terawangan, beliau mengolah sampah menjadi barang-barang yang berguna. Di workshopnya botol-botol kaca, plastik, kaleng diubah menjadi gelas, meja, lukisan dll. Kerennya Mas Olan melibatkan penduduk sekitar dalam proses recycling ini. Kami pun ditawari untuk mengunjungi workshop.

Di tengah jalan Mas Olan memberitahu kalau bannya kempes. Kami lalu menunggu beliau di Pantai Melaka. Tak lama Mas Olan datang bersama adiknya, Dabil. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke workshop.

Tiba di workshop, kami berkenalan dengan Bangkit dan 2 kawannya yang baru tiba dari Jakarta. Kami lalu disuguhi makan siang ikan bakar dan plecing kangkung yang memang sudah dicari semenjak tiba di pulau seribu pantai ini. Nikmatnya tiada tara.

Sorenya kita berangkat ke Gili Trawangan ditemani Om Olan, Bangkit dan dua kawannya, dengan kapal penumpang. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit. Kami tiba di pelabuhan yang berdekatan dengan Reggae Bar Sama-sama. Kebetulan pemiliknya, Pak Bro, sedang duduk-duduk di depan. Kami lalu singgah dan ngobrol-ngobrol di tepi jalan.

Jalan satu-satunya di Trawangan ini padat dan ramai oleh turis yang lalu lalang, sebagian besar bule. Orang lokal hanya satu dua saja yang nampak. Sekilas, kita tidak merasa sedang di Lombok.

Oleh Pak Bro kami ditawari untuk menginap di Penginapan Sama-sama dengan harga spesial. Penginapannya terletak di belakang bar. Lelah oleh aktivitas seharian membuat kami lelap tidur tanpa terganggu suara bar yang semakin ramai menjelang tengah malam.

15 Februari

Akhirnya tiba juga hari kami meninggalkan Bali. Pagi ini kami sudah di Pesantren Bali Bina Insani untuk sama-sama dengan santri sini nyebrang ke Lombok. Kebetulan adik-adik santri ini akan ikut lomba Pramuka di Pesantren Haramayn di Narmada Lombok.

Setelah persiapan selesai, bismillah, kami pun berangkat ke Pelabuhan Padang Bai. Rombongan sempat berhenti sebentar di sebuah SPBU dekat pelabuhan untuk mengambil peralatan yang belum terangkut.

Kira-kira pukul 10 kami tiba di pelabuhan. Kendaraan yang mengantar sebagian santri dan peralatannya akan kembali ke Tabanan. Maka seluruh barang diangkut ke truk untuk memudahkan ketika penyebrangan nanti. Mulai dari tenda sampai barang bantuan buat korban gempa Lombok masuk ke truk. Ruang toilet pun penuh terisi. Setelah barang masuk truk, kami pun siap untuk naik kapal. Rombongan santri dan Om Yuli jalan duluan masuk ke kapal, kami menyusul di belakangnya. Alhamdulilah penyebrangan selama 4 jam berjalan lancar. Menjelang sore, kami tiba di Lembar.

Pesantren Haramayn mengirimkan satu kendaraan untuk mengangkut barang. Maka sebagian barang diturunkan supaya ada ruang kosong untuk mengangkut santri.

Hari sudah gelap ketika kami tiba di Haramayn. Hujan turun tidak berhenti sejak di pelabuhan tadi. Rombongan yang naik pick up kuyup kehujanan.

Suasana di Pesantren Haramayn sebagai penyelenggara lomba, sudah gegap gempita oleh persiapan. Sebuah panggung pusat aktivitas sudah berdiri. Berbagai spanduk dan atribut pramuka nampak di sana sini menyambut peserta yang mulai berdatangan. Suara musik Islami dari pengeras suara silih berganti dengan pengumuman dalam bahasa Inggris, heboh dan meriah.

Setelah sholat Maghrib kami keluar sebentar mencari makan, tidak banyak pilihannya. Yang penting perut kenyang dan kami bisa tidur nyenyak malam ini setelah hari yang cukup melelahkan.

14 Februari

Rencana akan berangkat lepas Subuh, tinggal rencana. Seperti biasa, Tante Lela istri Om Yuli, sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Terimakasih ya Tante Om🤗. Hampir pukul 8 kami baru keluar dari Tabanan menuju Denpasar.

Tiba di Dishub Denpasar, antrian sudah mengular tapi tidak terlalu crowded. Setelah antri di dua loket, akhirnya truk mulai masuk area pengecekan. Pos pertama, pengecekan emisi. Di pos kedua ada petugas yang bertanya truk kami jenis apa lalu berlanjut liat-liat dan masuk ke dalam. Aksi ini diikuti oleh beberapa kawannya dengan keingintahuan yang sama. Bahkan Kepala Dishubnya juga ikut masuk dan ngobrol dengan kami di dalam truk. Singkat cerita, setelah pos pengecekan yang kedua, truk tidak lagi diperiksa, lolos sampai ke pos pengecapan😀. Dapat dispensasi ceritanya😋. Total waktu proses uji KIR kali ini kurang dari 1 jam.

Dari Dishub, kami janjian dengan Mas Nusa, kawan baru yang menghubungi kami melalui IG. Beliau menawarkan untuk berjumpa di Kedai Kopi Bhineka di Jalan Gajah Mada.

Mas Nusa bersama Mas Gobind yang jumpa kami tempo hari, bermaksud akan melakukan perjalanan keliling dunia menggunakan motorhome. Beliau sudah survey motorhome di Australia. Kami saling tukar cerita.


Selesai ngobrol, di parkiran ada beberapa orang sedang mengamati truk kami. Mereka bertanya-tanya mengenai perjalanan. Di ujung obrolan, salah satu kawan baru ini menawarkan cottagenya untuk kami inapi jika kami transit kelak hendak menyebrang dari Padang Bai ke Lembar. Terimakasih ya😊.

Dari jantung Denpasar, kami segera melesat ke Uluwatu. Janji pada diri sendiri untuk nonton Tari Kecak ‘beneran’ di sana. Kali ini kami nonton bertiga aja, Abah yang sudah pernah melihat pertunjukan ini memilih menunggu di truk sambil ngedit video.

Yess, kami tiba tepat waktu. Arena tari masih sepi dan kami bisa memilih tempat dengan leluasa. Dan ternyata beberapa saat kemudian, situasinya menjadi sangat tidak ‘yes’. Setelah dapat tempat duduk strategis, kami harus berjuang mengahadapi matahari sore yang pas ‘nyebrot’ (apa basa endosanya ya?) puanaaaas poll malih😖 Setelah menunggu satu jam, akhirnya pertunjukan dimulai juga (legaaaa).

Setiap penonton dibekali selembar kertas berisi jalan cerita, yang berfungsi sebagai penahan panas juga😋. Jadi kita bisa mengikuti jalan ceritanya walau tidak paham bahasanya.

Walaupun pertunjukan sudah dimulai, penonton masih berdatangan. ‘Kursi’ beton yang melingkari arena full sudah. Lama-lama ada yang duduk di bawah, lesehan. Sungguh kurang profesional untuk sebuah pertunjukan yang dibanderol seharga 150ribu. Banyak sekali komentar mengenai ini di media-media online. Sepertinya penyelenggaranya tidak terlalu perduli, toh pertunjukannya selalu full.

Semakin petang, pertunjukan semakin ‘panas’. Ada Hanoman yang berinteraksi dan selfie dengan penonton, ada api berkobar dan seruan serupa mantra ‘kecak’ pun semakin riuh bergemuruh. Suasananya makin magis karena dilatari langit merah senja.

Setelah pertunjukan selesai, penyelenggara mempersilahkan penonton untuk berfoto dengan pemain. Kami? Lari secepat kilat kembali ke truk😋, supaya nggak terjebak macet ketika semua kendaraan serentak keluar dari Uluwatu. Kami pulang ke Tabanan ke Pesantren Bali Bina Insani untuk sama-sama nyebrang ke Lombok esok hari.

13 Februari

Pagi ini kami tetap berangkat ke Tabanan, meski surat pengantar KIR belum juga sampai. Resi yang dikirim melalui WA oleh staf dari Dishub Tangsel buram sehingga nomor resi tidak bisa dibaca. Padahal, ini sudah lewat 5 hari dari waktu yang dijanjikan.

Tiba di Tabanan, seperti yang sudah kami duga, tidak ada satupun staf dari pesantren yang menerima surat ini, sementara Om Yuli sedang rapat di Denpasar. Kami lalu mencoba menghubungi hotline TIKI di Jakarta. Walau tidak berhasil, stafnya cukup ramah dan helpful, dia berusaha membantu kami melacak keberadaan surat. Sementara itu staf Dishub yang diminta untuk mengirim ulang foto resi tidak bisa dihubungi. Harapan satu-satunya adalah mendatangi kantor TIKI di Tabanan. Sebelumnya kami sempat telpon, tapi stafnya bersikeras tidak bisa membantu jika tidak ada nomor resi.

Tiba di Kantor TIKI, kami menunjukkan resi yang buram itu. Dengan menjelaskan keperluan dan pentingnya surat itu bagi kelangsungan perjalanan kami, akhirnya petugas itu mau membantu dan berhasil. Surat ternyata baru saja dihantar dan sudah diterima di pesantren. Lega dan bahagia, kami kembali ke pesantren. Malam ini kami menginap di pesantren sambil menghabiskan waktu dengan Om Yuli sekeluarga sebelum meninggalkan Bali. Om Yuli sempat cerita kalau santrinya akan ikut lomba pramuka di Lombok akan tetapi masih terkendala masalah transportasi. Kami lalu menawarkan untuk ke Lombok bersama-sama, sebagian santri bisa ikut kami dengan truk. Om Yuli bilang akan mempertimbangkan.

11-12 Februari

Setelah dua hari tidur diselimuti sejuknya Kintamani, ke Denpasar jua kami kembali. Malas tidur bersisian dengan bus wisata di Kuta Central Park, kami mencari hotel untuk istirahat malam ini. Dimana lagi kalau bukan di area Sunset Boulevard 😁.

Karena keburu mager setelah check-in, maka baju bersih dari laundry, dijemput Go-Jek sajalah. Mumpung di peradaban, makan malam pun dimasakin Go-food, menunya markobar dua loyang 😋.

Memang kalau di kenyamanan, waktu cepaat sekali berlalu, tau-tau sudah pagi, tau-tau sudah waktunya check out. Seharusnya kami ke Tabanan lagi hari ini untuk mengambil Surat Pengantar KIR dari Dishub Tangsel yang dikirim memakai alamat Om Yuli di pesantrennya. Tapi ternyata surat belum juga sampai. Kami urung ke Tabanan.

Setelah beberapa hari terus menerus propose makan bebek, akhirnya keinginan Hakim terkabul hari ini. Kita makan siang di Bebek Slamet. Rupanya, Bebek Slamet di Denpasar ini versi premium. Harga seporsi yang biasanya kurang dari 30 ribu, di sini dibanderol 2x lipatnya. Cara penyajiannya persis seperti restoran tetangga yang kesohor (mahalnya😋). Bebek dan nasi disajikan dengan urap dan bermacam sambal termasuk sambal matah. Sementara saudaranya di Jawa, pake sambel korek semacam dan kol 2 lembar😋. Ukuran bebek premium pun lebih besar. Puas deh, dibanding makan mujair tempo hari🤣

Kenyang makan bebek, kami berburu ban pengganti untuk ban yang kempes tempo hari di Bali Utara.

Beberapa kali ke Bali, sebenernya kami udah pernah liat tari kecak di GWK. Tapi kayaknya nggak semagis dan sehapening di Uluwatu deh. Jadilah kami ke Uluwatu sore itu dan maced aja dong Denpasar. Sampai di Uluwatu sudah jam lima lebih. Kalau pun masuk, pasti udh penuh banget dan dapet posisi yang nggak enak. Akhirnya kami cuman liat-liat pura dan tebing Uluwatu sambil sunrise-an.

Lapar dan kehabisan bahan makanan, kami ke supermarket andalan di …mana lagi kalo bukan Sunset Boulevard 😁. Setelah belanja logistik, kami makan malam di food court situh. Kami ngunyah sambil nonton staf pekerja beres-beres dan bersih-bersih area food court. Malam ini kami tepar di Kuta Central Park.

10-11 Februari

Baiklah, kekesalan pada Bapak pemilik restoran tadi malam memang sudah musnah seiring dengan terpejamnya mata dan lelap tidur semalam. Tapi pagi ini, kami malah bersyukuur sekali diberi tempat parkir di sini karena pemandangan matahari terbitnya yang indah tiada tara.

Kami lalu jalan-jalan menyusuri tepian kaki Gunung Batur sambil belanja sayur untuk sarapan.

Selesai makan, kami tidak mandi. Udara dingin membuat kami pede untuk cukup membasuh wajah saja 😁.

Truk lalu bergerak ke arah Museum Batur Geopark dengan harapan untuk bisa parkir di situ. Rupanya parkiran khusus kendaraan besar di museum penuh dengan sampah. Kami urung parkir di sini, lalu kembali ke arah tempat kami parkir malam tadi. Melewati restoran semalam, kami terus jalan ke arah Utara. Rupanya sepanjang jalan di kiri dan kanan berderet restoran yang menyediakan area parkir dengan pemandangan lepas baik ke lembah maupun ke arah Gunung dan Danau Batur. Kami pilih satu lapangan kosong beralas kerikil yang sepi di kiri jalan yang pemandangannya mengarah ke lembah. Mungkin semacam area parkir cadangan jika area parkir restoran sudah penuh terisi.

Truk diparkir di bagian tanah sedatar mungkin untuk menghindari beban tak seimbang pada ban. Lalu jack stand diturunkan untuk mengurangi beban pada ban. Abah lalu menyalakan PC, ngedit video. Sabiya dan Hakim menyalakan laptop masing-masing untuk menuntaskan tugas belajar minggu ini. Ambu? Ya nulis blog ini😁.

Tak terasa hari sudah gelap. Abah masih asik mengedit video. Ambu dan anak-anak tidur duluan. Tengah malam Ambu terbangun karena mendengar suara orang menangis dan bertanya pada Abah yang belum juga tidur. Kata Abah bukan suara orang, tapi anjing. Baiklah Ambu tidur kembali…. diikuti Abah karena sebenernya doi nggak yakin-yakin amat kalo itu suara anjing🤣.

Paginya kita kembali ke Ubud, pingin jalan pagi di Campuhan Ridge Walk. Rupanya parkirannya nggak bisa nampung truk. Jadi kami harus parkir di (semacam) central parknya Ubud.

Karena selama di Kintamani kami sarapan di truk dua hari berturut-turut, maka godaan ketika melintas sebuah bakery dengan aroma aduhai tak kuasa ditolak. Gerainya mirip Sub*ay, menunya macam-macam sandwich. Setelah membeli bekal sarapan kami lanjut jalan kaki. Walaupun matahari sebenernya sudah cukup tinggi, Campuhan masih relatif sepi. Hanya satu dua orang aja yang jogging. Kami juga papasan sama orang yang sudah keringetan jogging dari subuh kayaknya.

Ternyata tempat ini seindah foto-fotonya. Udaranya segar. Kebetulan hari cerah, matahari bersinar dan langit biru terang.

Kami jalan terus sampai jalan setapak berakhir dan berganti jalan biasa. Pemandangan lembah di kiri-kanan sudah berganti homestay/spa/cafe/toko kerajinan dan sawah, khas Ubud.

Kami terpisah jadi dua grup; Abang Hakim dan Abah di depan, Ambu dan Dek Biya jalan santai belakangan. Setelah kira-kira satu jam, tanpa janjian kami ketemu di sebuah cafe di tepi sawah untuk ngaso dan numpang pipis.

Seorang kawan merekomendasikan Museum Topeng dan Wayang Ubud. Dari Campuhan, Google Map di set menuju museum ini. Letaknya nggak jauh dari pusatnya Ubud. Jalannya memang agak berliku dan relatif kecil.

Akhirnya kami sampai di sebuah kompleks bangunan di tepi sungai. Dari luar nampak sejuk oleh rimbun pepohonan. Betul saja, ketika tiba di dalam, tampak bangunan berdiri di sela taman asri hijau dan terawat. Area utama pameran merupakan beberapa rumah adat dari berbagai daerah di Indonesia. Bangunan yang umumnya kayu ini, masih tampak kokoh dan terawat walau beberapa sudah berusia ratusan tahun. Di dalam bangunan-bangunan tradisional inilah berbagai koleksi jenis topeng dan wayang dari seluruh Indonesia bahkan dunia, dipamerkan.

9 Februari

Sudah masuk jam makan siang ketika Hakim selesai dengan panjat dindingnya. Soto Surabaya tempo hari sekali lagi jadi pemadam kelaparan.

Setelah memenuhi kebutuhan pangan hari itu, giliran menjaga kelangsungan pemenuhan kebutuhan primer berikutnya: sandang alias pakaian bersih! Setelah perburuan yang gagal kemarin sore, hari ini kami mencoba mencari laundry di kawasan Sunset Boulevard. Entah kenapa, kami cinta sekali sama kawasan ini. Dari mulai kedai sushi, hotel hingga laundry, semua kami cari di sini. Akhirnya ketemu juga jalan kecil di belakang Sunset Boulevard tempat berkumpulnya tiga laundry sekaligus! Seketika hati berbunga-bunga, setelah berhari-hari mencari service laundry, akhirnya ketemu juga yang bisa menyelesaikan dalam dua hari dengan harga standar.

Truk lalu keluar dari Denpasar menuju Ubud. Tidak ada tujuan spesifik di Ubud maupun Kintamani. Tiba di Ubud kami sempat mencari-cari barangkali ada hotel dengan parkiran luas tempat kami beristirahat malam itu. Ubud sudah mirip dengan Kuta. Padat dan ramai.

Karena tidak menemukan hotel yang sreg, truk terus berjalan ke Utara menyusuri Jalan Raya Ubud. Toko-toko berjejer sepanjang jalan menjual aneka kerajinan, suasananya artistik sekali. Terkadang terlintas keinginan untuk singgah, siapa tau ada barang lucu yang bisa dipakai di perjalanan. Lalu pikiran lain berbisik, ah mau disimpan dimana? Dipangku sepanjang jalan?😁

Jalan terus menanjak, pertokoan serba art mulai berganti restoran dan cafe aka kebun kopi, mirip dengan yang di Gobleg tempo hari. Iseng kami tanya salah satu cafe, rupanya harus pakai voucher juga walau tidak semahal di Munduk Plantation, voucher di sini dilabel seharga Rp 100,000/kepala.

Udara dingin dan pemandangan indah lama-lama bikin kami tergoda juga untuk singgah di salah satu kebun kopi ini. Pilihan jatuh pada sebuah kebun kopi berparkiran luas dan sepi. Kami satu-satunya tamu yang datang. Begitu kami keluar dari mobil, seorang gadis muda menyambut dan menggiring kami ke dalam. Di balik parkiran luas terdapat kebun kopi dengan pemandangan lepas ke arah lembah. Terdengar samar-samar suara babi yang diternak tidak jauh dari situ. Selagi kami menikmati pemandangan, gadis tadi masuk dan keluar kembali dengan beberapa cangkir kecil berisi kopi dan teh sampel untuk kami cicipi.

Entah karena keramahan gadis itu atau rengekan Hakim & Biya, kami akhirnya membeli dua minuman yaitu kopi vanilla dan bubuk teh manggis. Yang belakangan kami sadari tak lebih dari minuman instan yang dikemas ulang. Yang satu semacam kopi 3 in 1, satunya lagi bubuk sirup lengkap dengan gula. There goes our one day lunch🥴.

Truk lalu jalan kembali hingga tak terasa sudah sampai di tepi Danau Batur. Hari sudah gelap. Kami ditawari parkir dan bermalam di salah satu restoran dengan catatan belanja makan malam di situ. Pemilik restoran menjanjikan harga wajar untuk kami. Tawaran tsb kami terima.

Setelah parkir dan sholat Maghrib, kami bersiap makan di restoran. Menunya ikan mujair Danau Batur. Rasanya biasa saja. Perasaan nggak enak Ambu terbukti, ‘harga biasa’ yang dijanjikan ternyata palsu. Dengan klaim sudah memberi diskon, kami dicharge harga yang tidak masuk akal untuk 4 potong ikan mujair sebesar telapak tangan. There goes our two days meal😞.

9 Februari

Pagi ini kami berempat terbangun dengan kepala pusing. Entah karena asap pembakaran genset yang masuk ke dalam truk selama kami tidur, atau karena makanan yang kami makan. Malam tadi kami makan sate di warung sate Madura tidak jauh dari situ. Apapun alasannya, sakit ini adalah peringatan bagi kami untuk lebih menjaga kesehatan.

Ketika Abah, Bang Hakim dan Sabiya sudah merasa mendingan, kami lalu bergerak ke Mirah Hotel tempat Abang Hakim akan panjat dinding. Ya, panjat dinding memang salah satu kegiatan Hakim selama homeschooling di Kuala Lumpur. Kebetulan sedang di Bali, Hakim ingin melenturkan kembali otot-ototnya.

Rupanya ada miskomunikasi antara kontak person kami dengan instruktur klubnya. Berbeda dengan informasi yang kami dapat sebelumnya, klub ini masih belum aktif, sehingga jika ingin berlatih, harus membuat janji terlebih dahulu. Sementara info yang kami dapat, Hakim bisa datang langsung tanpa membuat janji.

Setelah menunggu 2 jam, keinginan Hakim untuk berlatih kembali, tercapai. Ternyata vakum selama lebih dari 6 bulan membuat ototnya kaku. Perlu waktu untuk penyesuaian. Alhamdulilah, pelatihnya, Mas Andi, baiik sekali. Sabar dan telaten membimbing Hakim. Terimakasih Mas Andi.

8 Februari

Pagi ini setelah sarapan kami akan snorkeling di Pulau Menjangan. Kami berangkat dari pelabuhan penyeberangan sekitar pukul 8 pagi. Selain biaya kapal dan tiket masuk, ada biaya untuk guide. Total biaya snorkeling adalah 911ribu untuk kami berempat. Di awal dikatakan kami akan snorkeling di 3 spot. Dalam pelaksanaannya hanya 2 spot yang kami kunjungi, dengan alasan spot ke-3 tidak terlalu bagus dan keruh airnya.

Spot pertama berupa ‘wall’ dengan ketinggian sekitar 6-8 meter. Kami berenang di tepinya dan mengamati ikan yang mencari makan dan bersarang di terumbu berupa dinding ini. Walaupun karangnya relatif sudah mengalami ‘bleaching’, ikannya besar-besar dengan aneka warna. Kami diajak oleh Pak Nyoman, guide kami, berputar mengitari ‘wall’ selama hampir setengah jam. Menyaksikan aneka rupa ikan sambil memunguti sampah plastik yang berserakan mengambang layaknya ubur-ubur sepanjang jalur snorkeling.

Di spot kedua, keadaan terumbu karangnya masih lebih baik dibanding spot pertama. Di sini, struktur terumbunya tidak lagi menyerupai dinding, melainkan dataran landai yang dangkal. Karang berwarna hijau lime mendominasi gugusan terumbu karang. Ikan-ikan juga tak kalah cantik dan besar. Setelah sekitar setengah jam berenang, datang serombongan anak muda diangkut oleh 3 kapal dan snorkeling di area sama. Suasana tenang lalu berubah hiruk pikuk. Ada yang berenang bergerombol lalu berfoto-foto dengan riuhnya. Kami lalu naik karena ikan-ikan sepertinya menyingkir dari keramaian ini. Sementara Abah masih belum puas lalu nyebur lagi.

Sekitar pukul 12 kapal sudah tiba kembali ke pelabuhan. Kami membersihkan badan di tempat bilas yang disediakan lalu makan siang di warung jawa di area yang sama, supaya perjalanan pulang ke Denpasar sudah tidak perlu singgah lagi untuk makan siang.

Kami singgah untuk sholat daan … meneruskan perburuan mencari laundry! Entah kenapa suliit sekali menemukan tempat laundry. Jikapun ada, hanya melayani satuan atau baru 4-5 hari jadi. Kami tiba di Denpasar ketika hari sudah gelap dan langsung parkir di Kuta Central Park. Besok pagi Abang Hakim akan panjat dinding di klub memanjat tidak jauh dari situ.