15-16 Januari

Pagi setelah di drop oleh jeep kembali ke truk, kami turun dari Cemoro Lawang. Tujuannya mencari tempat parkir yang lain. Beberapa hotel di bawah Cemoro Lawang kami tanyai. Semuanya meminta kami menyewa satu kamar, demi akses ke toilet dan lahan parkir. Hotel ke-3, hotel Yoshi, mempersilahkan kami menggunakan lahar parkir dan akses ke toiletnya dengan hanya membayar 40ribu. Terimakasih hotel Yoshi😊.

Inilah tempat kami menginap malam berikutnya. Abah sempat mengedit video dan anak-anak menyelesaikan tugas-tugas belajarnya.

Oh ya, Maya dan Trevi akhirnya datang di hari ke-2 kami di Bromo.

Siang keesokan harinya kami checkout dan menuju Lumajang dan Jember. Sebelum pulang, kami bertemu rombongan gowes dari dua pesantren besar di Jatim, Pesantren Genggong dan Pesantren Paiton beserta para pimpinannya yang kebetulan meeting pointnya di Hotel Yoshi. Beberapa Ustadz sempat naik ke truk dan bervlog ria di dalamnya😊.

Kami juga sempat ketemu dengan Pak Siswo, sesepuh adat masyarakat Tengger yang menyambut kedatangan rombongan. Menurut Pak Siswo, salah satu sikap yang dipupuk masyarakat Tengger adalah kesyukuran. Rasa syukur timbul dari peristiwa sehari-hari. Sebagai petani, mereka menyaksikan bagaimana biji kol yang hampir tak nampak itu, tumbuh besar menjadi sebesar kepala manusia. Atau bibit kentang yang berasal dari sebiji lalu tumbuh menjadi 10 biji. Maka, makna utama Upacara Kesada juga adalah menghaturkan rasa syukur.

Mudah-mudahan kami termasuk golongan hamba-Mu yang bersyukur, amin yra.

15 Januari

Seperti janjian tadi malam, pagi buta ini kita berlima akan naik jeep untuk menanti sunrise dari Seruni View Point.

Jam 4 pagi kami dijemput, lalu naik jeep sekitar 10 menit dan di drop di jalanan menanjak menuju puncak. Jalan menanjak sekitar 15 menit (tergantung ketahanan napas dan lutut 😁) berujung di serangkaian anak tangga; jalanan sesungguhnya menuju puncak. Tangga ditempuh selama kurang lebih 15 menit, berujung di sebuah bangunan terbuka menghadap hampir ke segala penjuru. Sekitar 10 menit setelah menjejakkan kaki di anak tangga terakhir, langit mulai rekah. Semburat oranye mewarnai angkasa. Pelan-pelan gunung-gunung di kompleks Tengger menampakkan dirinya satu-persatu.

Bromo dan Kaldera Tengger terbentuk akibat aktivitas vulkanik diperkirakan 820,000 tahun yang lalu. Ledakan gunung api purba, Gunung Tengger (4000mdpl) selain membentuk lautan pasir, juga membentuk 5 puncak vulkanik baru; Gunung Widodaren, Gunung Watangan, Gunung Kursi, Gunung Batok dan Gunung Bromo.

Dari Seruni View Point, kami bergerak turun melintas padang pasir. Jalanannya yang biasa berdebu pasir, padat menghitam akibat hujan. Tak lama semak memenuhi pinggiran jalan. Hingga akhirnya jeep berhenti di sebuah padang.

Selain lautan pasir, Kaldera Tengger juga punya padang savana yang cantik, didominasi didominasi tumbuhan tanaman jenis pakis, ilalang dan si cantik statice, yang sering disebut juga sea lavender

Puas berfoto segala pose dan gaya, kami lalu ke Pasir Berbisik.

Kaldera Tengger diperkirakan memiliki luas 9x10km, terbentuk secara bertahap pada masa Pleistosen akhir dan Holosen awal, sekitar 2 juta tahun yang lalu.

Dan tibalah kami di tujuan akhir, cuman Abah yang naik ke kaldera. Sabiya, walaupun naik kuda ternyata nggak naik juga. Sementara Ambu da. Tante Aniel nunggu di bawah.

14 Januari

Kami lewat Probolinggo menuju Bromo. Di Probolinggo kami ketemu yang kami cari sejak di Jawa Tengah: mangga lali jiwo.

Pohon mangga lalijiwo merupakan tumbuhan endemik Jawa. Tumbuhan ini hidup di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Daerah-daerah yang terkenal memiliki banyak pohon mangga jenis ini adalah wilayah sekitar Semarang hingga Yogyakarta, daerah Probolinggo (Jawa Timur), dan Indramayu (Jawa Barat).

Sayangnya pohon mangga lalijiwa ditengarai mulai langka di habitat alaminya. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) memasukkannya dalam Daftar Merah (Red List).

Begitu sampai di Cemoro Lawang, desa tertinggi di Tengger, kami diarahkan untuk parkir di area parkir khusus pengunjung. Malam itu kami masak di truk sambil menikmati hujan rintik yang tak kunjung berhenti. Menunya tumis terong tabur teri, telur dadar dan kering tempe. Setelah makan malam kami didatangi pemilik jeep yang menawarkan jeepnya untuk dipakai menyaksikan sunrise besok. Disepakati harga 550rb untuk 4 spot: sunrise di Seruni view point, Savanah Teletubbies, Pasir berbisik dan terakhir kawah Bromo.

11, 12, 13 dan 14 Januari

Dari Batu, truk diarahkan ke rumah teman dekat yang kebetulan tinggal di Malang, Maya dan Trevi. Kami memang janjian dari jauh-jauh hari untuk singgah ketika kami di Malang.

Alhamdulilah dapat akses toilet san parkiran gratis selama 4 hari 3 malam jazakillah khair ya May🙏, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.

11 Januari

Pagi itu kami checkout dari homestay kami di Surabaya untuk menuju Malang.

Jalanan relatif lancar dan kami tiba di Malang sekitar Dzuhur. Setelah Abah dan Bang Hakim sholat Jumat, meluncurlah kami ke Museum Angkut. Setelah membayar 100ribu (!) per orang, lalu pergelangan tangan dipasangi gelang. Ternyata museumnya buesaaar sekali. Bagi Hakim dan Abah, museum ini seperti surga😁, semua jenis transportasi ada. Berbagai model, usia dan merk. Yang menarik, selesai dari Museum Angkut, di pintu keluar di area pasar apung, pengunjung ditawari untuk masuk ke museum lain, Museum Topeng Indonesia. Tidak kalah dengan koleksi mobil di museum angkut, koleksi artefak di museum ini lumayan lengkap juga. Mulai dari artefak dari situs di Trowulan, hingga patung pemanggil hujan dari Maluku. Perwakilan artefak dari Sabang hingga Merauke sepertinya ada semua.

10 Januari

Satu hal yang kentara ketika truk mulai memasuki kota Surabaya adalah keasriannya. Bukan hanya bersih dan rapih, jalanan kota Surabaya rimbun oleh hijau pepohonan dan aneka rupa warna bunga. Tidak hanya jalan-jalan protokol, tapi sampai ke jalan-jalan non protokol. Semuanya rata terurus. Nggak heran, warga Surabaya cinta mati sama Walikotanya.

Nah, hari kedua di Surabaya kami ke Madura. Begitu tiba di ujung jembatan Suramadu, berasaaa sekali sudah keluar dari Surabaya. Jomplangnya ketara, man.

Yah begitulah, selain karena cerita dan pengalaman tidak menyenangkan mengenai pulau ini dari beberapa kawan dekat, kondisi lingkungan kotanya yang berbeda jauh dengan Surabaya, bikin kami ilfil untuk mengeksplor pulau ini.

Pepatah bilang, tak kenal, maka tak sayang. Maka demi mengenal lebih dekat, kami singgah di Museum Bangkalan yang MasyaAllah tidak terawatnya, mungkin museum terburuk yang pernah kami kunjungi, maaf yah warga Madura🙏

Dalam perjalanan keluar pulau, kami singgah di pusat batik Tresna Art. Unik dan tidak dimiliki daerah lain, batik Madura diwarnai dengan teknik khas yaitu dengan dimasukkan ke dalam gentong. Sehingga warna dan intensitasnya tidak dimiliki batik pesisir lain.

ini cuman patung, mirip batik beneran ya.

Dalam kitab nagarakertagama terutama pada tembang 15, dituliskan bahwa Pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menujukkan bahwa pada tahun 1365an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari komunitas budaya yang sama.

Secara geologis Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa, kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah solo.

Seperti halnya bangunan di Jawa, Madura juga punya gebyok dan rumah tradisionalnya mirip dengan rumah Jawa.

On the way pulang, kami singgah makan siang di Bebek Sinjay yang lagi ngehits. Seperti halnya batik gentong, cara penjualannya bebek sinjai ini juga beda dari yang lain. Menunya dikit, cuman bebek dan ayam . Keduanya disajikan sama: digoreng kremes. Makanan dijual satu paket dengan minumannya. Pilihan minumannya: Es Jeruk atau Es Teh. Kalau di restoran lain akan ada pelayan yang mendatangi meja, memberi menu dan menerima pesanan, maka di Bebek Sinjai, makanan dipesan counter. Setelah membayar kita akan diberi dua kupon, masing-masing kupon makanan dan kupon minuman. Kupon makanan ditukar di counter makanan, kupon minuman ditukar di counter minuman. Bebek dihidangkan bersama kremes, sambal pencit (mangga), lalab dan nasi.

Keluar dari Madura, kami melunasi janji pada Sabiya untuk mengunjungi Museum Pahlawan di Surabaya.

Salah satu museum terbaik yang pernah kami kunjungi👌. Informatif dan ‘decent’ banget.
Pertempuran Surabaya yang puncaknya pada 10 November 1945, merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Raya dan India Britania.

Sekutu yang sesumbar mengatakan akan memenangkan pertempuran dalam 3 hari, pada kenyataannya harus bertempur selama 21 hari.
Usai pertempuran ini, Britania perlahan berhenti membantu Belanda mendirikan kembali koloninya di Indonesia dan menjadi netral. Britania bahkan kemudian mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

#unlockingindonesiatreasure

9 Januari

Kami tiba di Surabaya sore, langsung menuju Museum Sampoerna.

Membaca kisah pendiri salah satu pabrik rokok yang terbesar di negeri ini, kami belajar ketekunan, kerja keras dan keteguhan hati.
Liem Seeng Tee, pendiri PT HM Sampoerna, lahir di Fujian, Tiongkok. Setelah musim dingin merenggut nyawa ibunya, bertiga bersama ayah dan kakak perempuannya, ia berlayar ke Surabaya mencari penghidupan yang lebih baik. Karena kesulitan hidup, dalam perjalanan sang kakak terpaksa direlakan diadopsi oleh sebuah keluarga di Singapura. Tak lama tiba di Surabaya, sang ayah sakit keras. Sebelum wafat, beliau sempat menitipkan Liem Seeng Tee kecil pada sebuah keluarga cina di Bojonegoro. Mulai usia 11 tahun, Liem Seeng Tee mencari uang dengan menjajakan makanan secara berkeliling di Surabaya.

⚠️⚠️⚠️Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin

#unlockingindonesiatreasure

9 Januari

Kami tiba di Trowulan semalam menjelang Maghrib dan parkir di halaman Pendopo Agung yang memang diperuntukkan bagi kendaraan besar. Saya dan Teh Aniel sempat jalan-jalan dan ketemu kios sayur yang menjual jagung. Jadi malam itu kami dinner dengan jagung rebus saja karena perut masih cukup kenyang oleh makan di siangnya.

Pagi hari kami numpang mandi di toilet milik pendopo, bahkan minta air untuk mengisi tank air di truk.

Lalu ke Museum Trowulan. Setelah membayar tiket masuk. Kami meminta petugas untuk dibimbing oleh guide. Setelah menunggu sekitar 10 menit, kami dihampiri seorang laki-laki separuh baya. Beliaulah guide kami dan MasyaAllah pengetahuan beliau luar biasa lengkap, baik mengenai isi museum maupun sejarah Majapahit dan para tokohnya. Menurut beliau, lebih dari 90,000 artefak ditemukan di situs ini. Selain jejak masa keemasan, juga jejak interaksi Majapahit dengan bangsa lain; Tiongkok, Arab dan Eropa.
Artefak keagamaan bukan hanya dari Hindu dan Budha, ditemukan juga kompleks makam bernisan Muslim yang sama tuanya dengan artefak lain.

Selesai dari museum kami mengunjungi beberapa situs bangunan yang masih utuh yaitu Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu.



Dari Trowulan, kami ke Surabayaaa.

8 Januari

Malam tadi kami bermalam di kebun jagung tidak jauh dari area pengeboran minyak tradisional warga.

Ketika Indonesia merdeka, Belanda meninggalkan lapangan minyak yang masih berproduksi di sebuah desa bernama Wonocolo, Bojonegoro. Oleh pemerintah setempat, penduduk yang biasa bekerja di situ diberi kewenangan untuk meneruskan proses eksploitasi.

Sumur yang mengeluarkan minyak pertama kali tahun 1870, masih mengalirkan emas hitam hingga sekarang. Profesi penambang minyak tradisional pun diturunkan pada anak cucu. Hari ini, jumlah sumur bertambah lebih dari dua kali lipatnya, tapi metode penambangan masih sama dengan 150 tahun yang lalu.

Kami juga sempat singgah di Museumnya dan belajar lebih detil tentang sejarah ekploitasi minyak di daerah ini. Walau kecil, museumnya lumayan lengkap. Bahkan ada fossil Stegodon yang dipamerkan.

Dari Wonocolo, kami keluar dari Bojonegoro untuk menuju Mojokerto dan mengunjungi situs berusia 8 abad di Trowulan.

6-7 Januari

Kami tiba di Klapaduwur setelah Maghrib. Kebetulan Mbah Lasio dan istrinya, sesepuh Sedulur Sikep di Klapaduwur sedang ada di desanya. Malam itu kami sempat ngobrol. Mbah Lasio bahkan memanggil kawannya yang lebih fasih berbahasa Indonesia untuk berbincang dengan kami.

Masyarakat Samin, biasa komunitas ini disapa, awalnya merupakan gerakan perlawanan secara non fisik terhadap penjajah Belanda. Salah satunya dengan menolak kewajiban membayar pajak.
Dicetuskan oleh Samin Surosentiko pada tahun 1890. Inti ajarannya adalah akhlak mulia pada sesama dan meraih kemuliaan hidup sesudah mati. Kekayaan bagi masyarakat Samin adalah pengetahuan, eling(ingat) dan sabar.
Paham ini menyebar pesat di kalangan petani dan membuat penjajah resah, maka pada tahun 1908 Samin Surosentiko ditangkap dan diasingkan ke Sawah Lunto, Sumatera Barat.
Waktu kami ke Sawahlunto di perjalanan Sumatera, kami sempat berkunjung ke Lubang Mbah Suro. Sebuah lubang bekas penambangan batubara. Dinamakan demikian untuk mengenang jasa Mandor Suro yang bijak dan meninggalkan kesan mendalam di kalangan pekerja batubara saat itu.
Peran Mbah Surosentiko dilanjutkan oleh menantu dan keturunannya, Mbah Lasio, di foto kedua dari kanan.

Malam itu kami tidur nyenyak. Karena AC nyala full sampai pagi. Jadi selama ini batere dari solar panel jarang sekali bisa full terisi, sehingga pemakaian AC tidak bisa sepanjang malam, paling hanya 2 jam. Sisanya kalau tidak berkipas angin, membuka jendela lebar-lebar atau mengisi batere dengan diesel dulu. Nah malam itu karena energi yang tersisa di batere sedikit, sementara udara panas sekali, maka saya membypass batere, lalu menyalakan AC langsung bertenagakan genset.

Paginya kami sarapan dan makan disuguhi si mbah. Mbah Lasio dan istri bahkan sempat baik truk dan ngobrol di dalamnya.

Setelah bebenah dan numpang mandi, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Bojonegoro. Di Bojonegoro kami sempat ketemu teman Mbak Hernik. Pak Heru memberitahu kami tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Bojonegoro, antara lain kebun belimbing milik masyarakat desa dan Wonocolo, kota wisata minyak.

Kami ke kebun Belimbing dulu lalu ke Wonocolo. Dalam perjalanan ketika sudah memasuki area Wonocolo, pompa angguk milik Pertamina, mulai terlihat di sisi kanan dan kiri jalan. Beberapa diantaranya sudah berusia lebih tua dari negeri ini.