8 Oktober pagi
Tanpa sarapan dulu kami segera berangkat meninggalkan Tapak Taun menuju Meulaboh dan Lamno.
Karena tidak sarapan, kami sempat membeli kue sebelum meninggalkan Tapak Tuan.
Persinggahan pertama adalah Meulaboh, rencana menginap di sini dibatalkan karena hari masih siang dan cukup waktu untuk melanjutkan ke Lamno.
Kami masuk ke kota Meulaboh untuk melihat keadaan kota. Abah pertama kali ke Meulaboh 13 tahun yang lalu, untuk liputan setahun Tsunami Aceh. Saat itu, sejauh mata memandang hanya puing dan reruntuhan yang rata dengan tanah. Dan Meulaboh sekarang sudah sangat berubah.
Pilihan makan siang jatuh pada ayam geprek ala Meulaboh yang antriannya panjang sekali. Berbeda dengan di Jawa, dimana cabe domba yang mendominasi panganan pedas, di Meulaboh, sambal atam gepreknya menggunakan cabe rawit hijau, yang rasanya aduhai… ini aja ngetiknya sambil ngeces😋.
Jalan Lintas Barat Sumatera di bagian Aceh Selatan ini cantiik sekali. Bersisian dengan pantai bercemara menghadap Samudera Hindia, jalan-jalan lurus dan datar diselingi sungai-sungai lebaaar, muara, kebun-kebun nipah di rawa-rawa berair tenang dan… sapi-sapi yang berkeliaran bebas. Walau Pak Polisi sudah membuat peringatan keras, cuek aja tuh mereka😋
Kami tiba di Lamno ketika Maghrib. Langsung ambil posisi di sebuah SPBU di pinggir jalan utama. Malam itu Abah mulai mencari informasi mengenai kaum mata biru untuk ditemui esok harinya. Berjumpalah kami dengan Ayah Amin, beliau berjualan kacang dan jagung rebus di SPBU tempat kami menginap. Puterinya dua orang meninggal disapu tsunami. Selama ngobrol selain makan jagung dan kacang rebus, kami disuguhi biskuit dan air mineral segala😊.
Besok paginya kami memburu sarapan di Pasar Lamno. Berjumpa dan ngobrol-ngobrol dengan penjual dan pengunjung lainnya di pasar.
Bu Farida berjualan nasi gurih. Putera sulungnya baru saja selesai sekolah kesehatan dan ditugaskan di Bangka Belitung. Bu Farida belum mengizinkan karena bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Ketika berpamitan, dibekalinya kami dengan pepaya matang, untuk monyet monyet di jalan nanti katanya, anak-anak pasti senang.
Abah juga ngobrol sama Bang Samsul, beliau satu-satunya yang selamat, seluruh anggota keluarganya habis disapu tsunami.
Selesai sarapan, ‘perburuan’ mencari mata biru dimulai. Berbekal petunjuk dari pengunjung di pasar, kami menuju sebuah desa tak jauh dari pasar. Di mulut gang, kami bertanya pada sekelompok bapak-bapak yang sedang ngopi. Dan Bang Puteh yang Abah cari ternyata sedang menggarap tanah tepat di seberang tempat kami berdiri. Rejeki anak soleh. Kami lalu nyebrang dan menyapa Bang Puteh. Bermata biru dan berkulit bule, dari ujung kepala ke ujung kaki, Bang Puteh ini bulee banget. Jika tidak membuka mulut, Bang Puteh sama seperti orang Eropa pada umumnya. Pada saat tsunami, banyak relawan asing yang kecele, dan menyangka Bang Puteh adalah sesama relawan asing. Abah bertemu Bang Puteh pertama kali tahun 2005 lalu. Bang Puteh sudah tidak ingat. Setelah ngobrol sebentar dan berfoto kami pun pamit.
Meninggalkan Lamno, jalanan menanjak menuju Geroethe. Pemandangannya indaah sekali. Di sini nampak sebuah pulau yang tadinya bersatu dengan Lamno, namun setelah tsunami menjadi terpisah. Ya, setelah tsunami, Aceh seperti lebih miring di bagian Barat, sehingga lautan semakin maju ke darat. Di beberapa ruas nampak jalan atau jembatan lama yang sudah dekaat sekali ke pantai. Jalanan menuju Banda Aceh pun lurus dan lebar.
Siang itu kami sudah masuk Banda Aceh. Sesampainya di Banda kami langsung ke rumah Yuni. Rupanya Yuni belum pulang, hanya ada Rais yang sedang demam dan neneknya. Tak lama, Raisa datang bersama kawan-kawan sekolahnya.
Setelah telponan, Yuni kemudian menyusul kami yang sedang mengantarkan Raisa kembali ke sekolah.
Petang itu kami diajak jalan-jalan di Banda Aceh dan sholat Maghrib di Masjid Raya Baiturrahman oleh Yuni. Saya nggak tau berapa banyak masjid di Indonesia yang memiliki parkiran di basement, masjid ini salah satunya. Luasnya 8,600m persegi, bisa menampung lebih dari 250 mobil dan 350 sepeda motor dengan lima pintu akses menuju halaman mesjid.
Dibakarnya mesjid ini di tahun 1873 oleh Belanda memicu kemarahan rakyat Aceh. Salah seorang putri terbaik Aceh, Cut Nyak Dhien sangat marah dan berteriak dengan lantang tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman yang sedang terbakar sambil membangkitkan semangat Jihad Fillsabilillah Bangsa Aceh, kata-katanya direkam oleh penulis Belanda Madelon H. Szekely Lulofs dalam bukunya Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh.
Oh ya sebelum Maghrib kami juga sempat mengunjungi kapal yang naik ke atap rumah terseret arus tsunami ketika bencana 2004 lalu