22 Oktober

Tangkahan!

Beberapa tahun yang lalu saya pernah melihat postingan Nicholas Saputra di IGnya. Fotonya menampakkan sungai yang lebar dan bersih, lalu di tengahnya sang aktor sedang menyiram seekor gajah. Lamaa saya memandanginya, diam-diam saya berjanji dalam hati untuk mendatangi tempat di foto itu.

Kami putuskan berangkat ke Tangkahan tanpa guide. Rencananya dari Tangkahan, setelah menginap selamam, kami langsung ke Medan.

Manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah Yang Menentukan. Ternyata jalanan rusak parah, daripada truk terguling, di tengah jalan kami balik kanan kembali ke Bukit Lawang dan menelpon Pak Aan untuk mencarikan mobil kecil buat di sewa ke Tangkahan. Setelah parkir di tempat aman dan makan siang, kami berangkat ke Tangkahan. Betul saja, kondisi jalanan sangat buruk, mustahil rasanya truk kami bisa sampai, kalaupun sampai mungkin berhari-hari karena harus ekstra hati-hati.

Sore sekitar pukul 3 kami sampai, tepat sebelum waktu memandikan gajah dimulai. Kami dikenakan Rp 100,000/orang untuk memandikan dan memberi makan gajah.

Ternyata menyenangkan sekali berinteraksi dengan mamalia cerdas ini. Truly harmless giant, nature’s great masterpiece. Gajah-gajah ini sebetulnya ditampung di CRU karena kedapatan merusak ladang dan area penduduk, lalu ditangkap dan dilatih di CRU. Menyedihkan sebetulnya karena area tempat mereka mencari makan semakin sempit. Ada 9 ekor gajah, dua diantaranya masih bayi.

Gajah memiliki struktur sosial yang sangat kuat dan berpergian dalam kelompok yang dipimpin oleh gajah betina dewasa. Kawanan biasanya terdiri dari betina dan anak-anak. Gajah betina pada umumnya tetap berada di kawanan yang sama untuk seluruh hidup mereka, tetapi gajah jantan muda akan “didorong” untuk pergi setelah mereka menjadi dewasa.

21 Oktober

Kami sudah janjian dengan Pak Aan, satu dari petugas penagih karcis semalam untuk membawa kami trekking hari ini. Kami ambil paket trekking satu hari sudah termasuk makan siang dan snack buah seharga Rp 250,000/orang

Setelah sarapan alpukat, roti, madu dan tentu saja kopi, kami bersiap untuk treking.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami ketemu primata berbulu wajah putih dan berambut mohawk, guide kami menyebutnya Thomas.

Sekitar setengah jam kemudian kami bertemu penghuni istimewa primadona Bukit Lawang : Orang Utan. Seekor betina dengan bayinya, dipanggil Gantung oleh guide kami.

Kadang ia turun untuk mengambil sesajen dari guide kami berupa pisang dan buah-buahan lain.

Menjelang siang hari mulai panas, Pak Aan mengajak kami istirahat dan menyuguhkan the best pineapple ever; dicucuri markisa.

Setelah makan buah, trekking berlanjut. Tak lama kami berjumpa orang utan lain; Mina. Pak Aan, memberi briefing singkat ketika berjumpa Mina, foto secepatnya, jangan dekat-dekat, berjalan secepatnya jika sudah selesai. Kabarnya Mina agresif dan suka menggigit.

Betul saja, setelah sekitar 5 menit penuh ketegangan mengambil gambar Mina, Pak Dian, asisten guide kami segera menggebah dan memimpin kami meninggalkan lokasi, sementara pak Aan, guide utama, sibuk mengentertain Mina dan mengalihkan perhatiannya dari kami, sehingga kami bisa segera kabur. Untung jalanan menurun, walau curam dan sempit, masih lebih mending jika harus menanjak. Melompat-lompat kami dibuatnya. Seperti kurang drama, Pak Dian bilang kalau Mina kadang menggelinding saja jika dia mengejar, tambah terbirit-birit kami dibuatnya.

Setelah Mina, medan trekking semakin menantang terutama jalanan menuju sungai karena sangat curam dan licin. Kadang kami harus bergelantungan di akar supaya bisa turun. Di ruas terakhir kami harus repling, turun tebing dengan berpegangan pada akar rotan yang diikat sekenanya pada akar pohon besar.

Di sungai kedua akhirnya kami berhenti untuk makan siang. Nasi goreng yang kami ragukan kelezatannya tadi pagi, mendadak jadi sedap karena lelah dan lapar, ditambah suasana sungai yang sejuk.

Makan siang ditutp dengan semangka.

Trekking dilanjutkan sambil melewati air terjun.

Tidak jauh dari air terjun, terbentang sungai lebar, sang induk; Sungai Bahorok.

Airnya jernih kehijauan, dari sini kami akan menggunakan tubing untuk turun ke lembah.

Tubing itu ban-ban besar berjumlah 5 buah yang disatukan dengan tali tambang. Barang-barang kami dimasukkan ke dalam plastik tebal dan besar lalu diikat pada ban. Di bagian tengah ban yang berlubang di buat jalinan tapi tambang lalu dialasi semacam tikar.

Ini pengalaman tubing pertama kami. Kami harus setengah berbaring lalu di ban paling depan duduk guide yang mengemudikan ‘kapal’ dengan tongkat kayunya. Walau sudah dilapisi tikar, kadang bagian dudukan kami tetap saja menyentuh dasar sungai dan rasanya menggelikan 😁. Karena asyik tertawa riuh kegelian, perjalanan menuju lembah relatif singkat. Kami di drop di bibir sungai tak jauh dari hotel tempat kami parkir.

Malam itu kami dinner mie instan saja.

19 Oktober

Setelah berpamitan dengan Yuni, kami bergerak ke Selatan menuju Lhokseumawe untuk menuju ke Bukit Lawang SumUt. Sore sekitar pukul 4 kami mengisi air di sebuah mesjid di Idi Rayeuk. Lalu diputuskan untuk menginap di sebuah tanah kosong di tepi pantai. Setelah bertemu Pak Kecik/Kepala Dusun, kami diminta untuk pindah ke lokasi lain yang berdekatan dengan mushola, demi keamanan katanya.

Besok paginya truk bergerak kembali menuju destinasi sesungguhnya. Di tengah jalan kami singgah makan siang di sebuah restoran sate kambing. Perut yang sudah beberapa minggu ini diisi makanan-makanan khas daerah baru, seperti berteriak kegirangan dapat makanan yang akrab dengannya😁. Tidak lupa kami membungkus 40 tusuk sate kambing dan dua porsi sup kambing untuk makan malam di Bukit Lawang nanti.

Jalanan ke Bukit Lawang rusak parah di area Binjai. Lubang-lubang menganga terisi air yang dalamnya selutut balita. Kami sampai di Bukit Lawang ba’da Maghrib. Dua orang menagih karcis di pintu masuk Taman Nasional. Di kiri pintu gerbang terdapat terminal yang sudah sepi karena sudah malam. Sisanya kebun kelapa sawit, sama seperti di bagian luar gerbang. Kami hampir berpikir kalau kami nyasar andai saja dua petugas tadi tidak menagih karcis, karena penampakannya sama sekali tidak mirip Taman Nasional.

Keheranan semakin bertambah ketika kami tiba di tepi sungai, sepanjang DAS sungai Bahorok dipenuhi oleh bangunan rumah penduduk dan homestay. Bahkan Ecolodge, hotel yang kesohor dengan hotel ramah lingkungannya, membangun restorannya tepat di bibir sungai.

Karena tidak tersedia lahan parkir gratis, kami harus menyewa kamar supaya bisa parkir. Akhirnya diputuskan untuk menyewa satu kamar murah dengan toilet di dalam. Jadi selain dapat parkiran, kami juga dapat akses toiletnya, walaupun hanya Hakim yang mau tidur di kamarnya, kami berempat tetap tidur di mobil.

Sebelum makan malam, kami jalan-jalan sekitar sungai dan mencicipi wedang, juice dan kopi sekaligus menikmati sungai di temaram malam di restoran Ecolodge.

Dinner kami malam itu sate dan sup kambing, alhamdulilah.

18 Oktober

Pagi kami terbangun oleh suara azan dari mesjid tempat kami menginap. Setelah sholat Subuh, pelan-pelan danau memperlihatkan dirinya pada kami.

Kami sarapan kopi ditemani pepaya dan alpukat Takengon yang manis.

Setelah sarapan, kami beberes dan bersiap untuk beranjak dan tujuan hari itu adalah mengekplorasi Kopi Gayo. Sambil nunggu kedai kopi buka, kami mengelilingi danau pakai truk. pemandangannya cantiik sekali. Danau ini memiliki panjang 17km dan lebar 3.2km dengan bagian terdalamnya lebih dari 50m

Sebelum ke kedai kopi, kami makan siang dulu. Maksud hati mencari kedai ikan bakar Danau Laut Tawar, ternyata kedainya nun jauh di tempat kami menginap semalam ya sudahlah. Tak ada ikan bakar, kedai makan biasa pun jadi. Kami mencicipi ada ikan depik pepes dan sayur plieuk.

Setelah itu kami singgah di beberapa pabrik kopi; Aman Kuba, Oro dan Aroma Gayo. Di ketiganya kami sempat mencicipi kopi signature masing-masing. Buat orang yang tidak terlalu gemar kopi seperti saya, rasanya terlalu strong, kadang terlalu asam juga. Saya hanya bisa menikmati kopi single origin seperti ini dengan bantuan susu uht.

Di tempat-tempat ini juga kami bisa menyaksikan proses dari mulai sortir green bean hingga ke proses roasting. Walaupun tidak terlalu suka minum kopi, saya sukaa sekali aroma kopi yang sedang diroast. Saya juga jadi tau jenis-jenis biji kopi seperti kopi lanang, long bean, pea berry dll. Saya juga sedikit-sedikit mengenal pemrosesan biji kopi sehingga menghasilkan rasa kopi yang berbeda, seperti honey atau wine.

Petangnya kami ketemu Yuni yang jauh-jauh dari Banda Aceh untuk kembali menemui kami di Takengon. Malamnya kami makan malam di Seladang. Sebuah cafe yang dikelilingi kebun kopi. Malam harinya kami menginap di Perumahan Annisa Mansion Takengon.

17 Oktober

Setelah sarapan di mobil seperti biasa, perjalanan dilanjutkan menuju Takengon. Siangnya kami singgah di Bireun untuk makan siang. Kami tiba di Takengon menjelang Maghrib dan parkir di tepi Danau Laut Tawar seelah Maghrib.

Malam itu kami parkir di tepi danau sebelah mesjid.

16 Oktober

Sebelum keluar dari Banda Aceh, kami makan siang di Ayam Tangkap Pramugari di area menuju bandara bareng Yuni. Yuni bersikeras tidak memperbolehkan kami keluar Banda Aceh sebelum singgah di ayam pramugari ini.

Selain ayam goreng, di sini disediakan juga ati ampela goreng dan gule kambing. Gulenya ringan karena tidak pakai santan. Ayamnya istimewa, bumbunya meresap hingga ke dalam. Paduan rasanya juga pas buat lidah kami. Tidak lupa bungkus untuk makan malam, yang ternyata bertahan sampai dua hari kemudian.

Baru sekitar 10 menit berpisah dengan Yuni, ban truk kempes. Beruntung, tambal ban hanya 5 meter di depan kami. Ternyata ban harus diganti. Alhamdulilah setelah sekitar 45 menit, kami bisa melanjutkan perjalanan kembali. Sekitar pukul 5 kami sampai di Sigli, dipilihlah lokasi di tepi pantai untuk bermalam hari itu.

16 Oktober

Kami bermalam sekali lagi di rumah Yuni. Paginya sarapan bareng Kak Nana kemudian ke Museum Aceh lagi.

Selain alam dan budayanya, hal lain yang mengagumkan dari Aceh adalah peran perempuan di masa keemasannya.

”….yang paling mengagumkan dalam semua contoh pemerintahan wanita di kepulauan Nusantara adalah yang terdapat di Kerajaan Aceh Sumatra, kerajaan yang mempunyai tempat yang sangat tinggi dalam sejarah!” (P.J. Veth, dalam subadio dan Ihromi, 1983: 233).

Perempuan berperan aktif sebagai pemimpin baik di struktur pemerintahan maupun dalam perjuangan fisik melawan Belanda.

Postingan berikut adalah tribute series untuk para Srikandi Aceh.

text dan foto : Wikipedia dan Museum Aceh

Sultanah Narasiah Malikul Zahir (1400-1428)

Sultanah pertama dari Samudera Pasai bergelar Malikah Ratu Nahrasiyah Rawangsa Chadiyu.
Prof Dr T Ibrahim Alfian MA menuliskan, Ratu Nahrasiyah dikenal arif dan bijak. Harkat dan martabat perempuan begitu mulia sehinga banyak yang menjadi penyiar agama pada masa pemerintahannya.

Ratu Safiatuddin (1641-1675)

Ratu Safiatuddin, Putri Sultan Iskandar’ Muda yang naik tahta menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani. Terjadi kericuhan dalam mencari penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian dua orang Ulama Besar, Nurudin Ar Ranir dan Syekh Abdurrauf as-Singkili menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.

Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan

Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik. Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOCdengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, Indiadan Arab.

Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkilyang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkilmenulis buku berjudul Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.


Sejarah mencatat, Sultanah Zainatuddin Kamalatsyah merupakan ratu keempat atau terakhir yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ia diangkat sebagai sultan usai mangkatnya Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin tahun 1688 Masehi, dan berkuasa selama 11 tahun.
Beberapa prestasi Sultanah Kamalatsyah selama berkuasa diantaranya pernah menerima para pedagang Prancis dan Inggris, bahkan mengizinkan mereka membuka kantor dagangnya di Aceh untuk memperlancar hubungan perekonomian bilateral negara. Hubungan baik ini sangat menguntungkan kedua pihak. Ekspor rempah-rempah dari Aceh makin lancar ke negara-negara lain terutama Inggris dan Prancis.

Keumalahayati: Laksamana Perempuan Pertama di Dunia

Perempuan bangsawan keturunan pendiri Kerajaan Aceh, dengan hasab laksamana, yang hidup pada masa keemasan Kesultanan Aceh. Lulusan terbaik dari Askari Baitul Muqaddas, Royal Military Academy Sultan Selim ll di Aceh.
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Negosiator ulung berbahasa asing, memimpin diplomasi dengan Sir James Lancester utusan Ratu Elizabeth l. Beliau juga menjadi duta diplomasi Aceh menjumpai Prince Maurits. Duta-duta tersebut menjadi utusan pertama kerajaan dari Asia.
Penggagas dibangunnya Benteng Inong Bale sebagai pusat pertahanan Selat Malaka. Pemimpin 2000 pasukan dengan 100 kapal perang. Petarung tangguh yang menikam Cornelis de Houtman di atas kapal Belanda dan bersama Iskandar Muda melawan invasi armada Alfonso de Castro dari Portugis.

Malahayati Ikut menjadikan MARITIM ACEH YANG TERKUAT di Asia Tenggara pada Abad 17.

sumber : Wikipedia dan Museum Aceh

10 Oktober

Pagi ini Abah dan Om Jo ke bengkel Mitsubishi untuk service 5000km. Kami para Ibu ke TPI untuk membeli ikan buat barbeque an malam hari nanti.

Siangnya kami ke Museum Tsunami.
Walaupun masuknya gratis, museumnya relatif bagus tapi agak kurang terawat. Desainnya apik by the one and only Ridwan Kamil. Konsep desainnya menggabungkan konsep Rumoh Aceh sebagai tempat berlindung, cerobong doa dan gelombang laut kalo nggak salah, sila cek Google for more valid and detail explanation ya.

Kebetulan sedang ada special exhibition, judulnya saya lupa. Disitu diterangkan bahwa Tsunami 2004 bukan tsunami yang pertama kali terjadi di Aceh. Di masa lalu bencana dahsyat yang sama sudah pernah melanda, banyak yang terselamatkan karena kebiasaan menceritakan kembali sebuah peristiwa secara turun temurun sebagai nasehat untuk kewaspadaan bersama.

Ie Beuna adalah istilah masyarakat Aceh di bagian Timur Laut untuk menyebut sebuah peristiwa gelombang air yang muncul beruntun dengan kekuatan besar tak terduga. Disebut dalam catatan naskah kuno ta’bir gempa Aceh karangan Syech Abbas KutaKarang.

Konflik menghadapi bencana sesama manusia, dari abad ke abad memudarkan kearifan lokal ini. Pesan kewaspadaan terhadap bencana tidak lagi menjadi kebiasaan untuk diwariskan.

Mudah-mudahan museum tsunami yang keren ini bisa menggantikan peran kearifan tadi, menjadi pesan untuk masa depan, untuk generasi penerus Aceh.

Malam harinya meriah sekali. Terimakasih pada Yuni sekeluarga yang sudah menerima kami layaknya keluarga. Kita makan ikan bakar dengan bumbu ala Oinan Homestay dari Uni Desti. Isinya cabe giling, kecap, minyak goreng, bawang merah, bawang putih dan kunyit. Hasilnya lumayan mendekati rasa di Oinan. Untuk pertama kalinya juga alat panggang kami turun dari roof rack.

12 Oktober

Pagi-pagi sekitar jam 8.30 kami sudah berpakaian renang, memakai life vest dan menjinjing kaki katak dan full face mask untuk bersnorkeling di sekitar pantai Iboih.

Kami mengambil paket snorkeling setengah hari lalu makan siang sate gurita di Pulau Rubiah.

Spot pertama adalah bagian muka Pulau Rubiah. Spot snorkelingnya di tepi pantai saja. Walau tidak ada terumbu karang, ikannya banyak dan bervariasi. Banyak parrot fish yang ngjreng dan berukuran besar.

Spot kedua adalah karang piring. Karang lebar dan pipih seperti meja terhampar sejauh pengelihatan memandang. Ikannya juga banyak seperti di Pulau Rubiah.

Spot berikutnya karang batik. Saya nggak tau apa nama umum atau ilmiahnya. Warna warni seperti motif batik sebetulnya datang dari bentuk karang seperti pita pipih coklat dan tersususn sedemikian rupa membentuk corak seperti batik.

Spot terakhir disebut Sri Garden, letaknya di belakang Pulau Rubiah yang membelakangi Teluk Iboih. Di sini bukan karang, tapi ikan yang buanyaaaaak jumlah dan variasinya. Nggak heran disebut sri garden. Kami sempet ketemu Morris Eel, antara takut tapi sayang kalo nggak diliat, kapan lagi liat belut segitu cantiknya.

Pengalaman snorkeling kami relatif tidak banyak; Derawan, Flores, Belitung, Pulau Seribu, Pahawang dan Mandeh. Dari kesemuanya yang pernah dikunjungi, rasanya Sabanglah yang paling banyak jenis ikannya, paling terpelihara terumbu karang khasnya. Padahal akibat Tsunami, jumlah karang dan ikan yang menghilang dan rusak cukup banyak.

Sisa hari kedua dihabiskan bermalasan di tepi teluk. Abah demam dan minta dipanggilkan tukang pijit. Sabiya dan Ambu duduk2 di tepi pantai

Hari ke-3 di Iboih hujan gerimis sejak pagi. Sore sekitar pukul 4 kami bergerak pulang ke kota Sabang. Hari sudah cerah. Kami duduk di tepi laut dan menikmati senja.

Foto menyusul

Lepas dari kenyataan sebagai titik paling Barat Indonesia, Sabang adalah Pulau kecil yang cantik dan sangat teratur. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, Teluk Sabang telah melayani kapal-kapal besar dari benua Eropa, Afrika, dan Asia.
Sebelum Perang Dunia II, Pelabuhan Sabang sangat penting dibandingkan dengan Singapura. Karena perannya yang semakin penting, pada tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas untuk perdagangan umum dan pelabuhan transit barang-barang, terutama hasil pertanian dari Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau sejak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh. Sabang pun mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.

Malam itu setelah sholat dan makan malam, kami masuk ke Pelabuhan Sabang dan tidur di sana. Pukul 7 pagi satu persatu kendaraan memasuki lambung kapal.

Sekitar jam 9 kami sudah tiba kembali di Aceh. Lalu ke bengkel Mitsubishi untuk service rem angin yang rusak ketika di Sabang. Kemudian kami ke museum Aceh, yang tutup hari Senin itu. Jam 12 setelah makan Mie Aceh Razali kita putuskan parkir di bandara sambil edit video dan menjemput Teh Aniel.

Kami bermalam sekali lagi di rumah Yuni. Paginya sarapan bareng Kak Nana kemudian ke Museum Aceh lagi.

11 Oktober

Pagi setelah sholat Subuh kami berpamitan pada keluarga Yuni untuk berangkat ke Sabang. Sebetulnya kami dianjurkan oleh petugas di loket untuk datang malam sebelumnya dan mengantri. Alhamdulilah, dapat juga tiket pagi itu dan kami dapat giliran nomor 3 untuk masuk kapal.

Alhamdulilah perjalanan 2 jam berjalan lancar. Kami dapat bonus lumba-lumba di tengah jalan. Jumlahnya buanyak, mereka melompat-lompat di sekitar kapal. Kami berteriak kegirangan.

Tepat sebelum Dzuhur kami tiba di Sabang, setelah Sholat Jumat, perjalanan dilanjutkan ke Titik 0.

Sampai juga kami di sini, titik paling Utara negeri ini.

Kami putuskan parkir dan bermalam di Iboih. Salah satu pantai di Sabang.