Rabu 26 September siang.

Sebelum berangkat ke pedalaman kemarin, Uni Desti menawarkan kami untuk ikut ke Tua Pejat di Pulau Sipora, “Nanti menginap di rumah saya”, katanya. Karena kecuali jadwal kapal pulang ke Padang, kami tidak punya jadwal yang jelas selama di Mentawai, tentu saja kami tidak menyia-nyiakan ajakan Uni, kontan kami iyakan. Jadilah Rabu siang itu, bersama sekitar 8 staf Dinas Pariwisata lainnya, kami mengekor Uni Desti ke Tua Pejat, ibukota Kabupaten Mentawai yang terletak di Pulau Sipora, sekitar 3 jam perjalanan dengan boat.

Dan perjalanan dengan boat kali ini akan menjadi pengalaman yang akan diingat seumur hidup😁. Sebetulnya boatnya tidak kecil juga tidak besar. Cukuplah untuk kami ber 15 berikut crew. Digerakkan 3 mesin motor, jalannya pun cukup laju.

Ternyata perut kami terlalu ringkih bagi lautan Mentawai. Ombak di selat antara Siberut dan Sipora berhasil mengeluarkan kembali sarapan kami tadi pagi, dimulai dari Sabiya, Abah dan akhirya Hakim. Ambu ‘nembak’ di pelabuhan setelah berhasil menahan lonjakan isi perut dengan menutup mata rapat-rapat dan meminimalisasi gerakan di sepanjang perjalanan.

Selama tiga hari ke depan, kami menginap di ‘rumah’ Uni Desti. Homestay cantik bertingkat dua yang menghadap ke Samudera Hindia. Sore itu, rasa lelah hilang seketika melihat matahari terbenam dari teras homestay.

Kami diberi kamar dengan dua king size bed berkelambu. Kamar mandi bersih dengan dinding separuh, sehingga kita mandi sambil memandang Samudera Hindia😍Sarapan, makan siang dan malam hasil masakan Uni Desti sendiri siap tersedia tepat waktu. You know that wonderful, warm-fuzzy feeling that comes over you when someone goes out of his or her way to spoil you, feed you, treat you, welcome you, bless you, support you or help you out? The feeling is gratitude.

Uni Desti,
Terimakasih banyak untuk ilmunya tentang Mentawai, kasur empuk, kamar mandi bersih, makanan lezat dan di atas semuanya sudah memperlakukan kami layaknya keluarga selama 3 hari ini. Allah SWT saja sebaik-baiknya pembalas semua kebaikan. Semoga Uni & keluarga senantiasa dalam lindunganNya.

Besoknya, diantar oleh Bang Tespi, kami jalan-jalan ke Pantai Jati. Pantai panjang berpasir putih dengan terumbu karang tidak jauh dari pantai.

Oh ya, ternyata akibat mabuk laut, Abah sempat tumbang dan tidur seharian untuk memulihkan kondisinya. Alhamdulilah, sehat kembali di hari kedua setelah makan malam ikan bakar ala Uni Desti, yang sedapnya… ah tak terkatakan.
#unlockingindonesiatreasure

1. Secara geologi, kepulauan Mentawai merupakan fore arc (busur muka) yaitu wilayah yang terletak di antara palung samudra dan busur vulkanik yang terbentuk akibat tumbukan Lempeng Samudra Indo-Australia dan Lempeng Benua SE Asian-Eurasian.

sumber gambar : Dongeng Geologi

2. Keberadaan Mentawai di zona tumbukan inilah yang menyebabkannya rawan gempa.

3. Selain 4 Pulau Besar, terdapat 94 pulau kecil di Kepulauan Mentawai

4. Tercatat ada 846 jenis tumbuhan dan 503 jenis tumbuhan diantaranya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan obat tradisional.

5. Pulau Siberut menjadi kawasan yang fenomenal dan unik karena tingkat endemisitas yang sangat tinggi yaitu 15% flora dan 65% untuk mamalia. Artinya 15% tumbuhan dan 65% mamalia HANYA ada di Siberut.

7. Dari 29 mamalia di Siberut, 21 diantaranya endemik dan 4 diantaranya terancam punah akibat menipisnya jumlah hutan

6. Meskipun mayoritas memeluk Katolik dan sebagian beragama Protestan dan Islam. Namun, sebagaian penduduk Mentawai masih tetap memegang teguh religinya yang asli, yaitu Arat Sabulungan. Arat berarti adat, Sa berarti seikat dan bulungan berarti daun. Karena dalam setiap acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau Manua (Tuhan).

7. Pada dasarnya sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu mengjarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.

Selasa 25 September

Azan Subuh dari Mesjid Ar Rahman di parkiran hotel Bumi Minang Kyriad, Padang, membangunkan kami berempat. Bergegas sholat kemudian mandi di dalam mobil. Tepat pukul 6.30 taxi online menjemput dan mengantar kami ke Pelabuhan Muaro untuk menumpang Mentawai Fast, ferry yang akan mengantar kami ke Pulau Siberut pukul 7.

Sekitar pukul 10.30 ferry singgah sekitar 1.5 jam di Pulau Sikabaluan. Pukul 12 tepat, ferry bergerak kembali ke Siberut. Sekitar jam 1.30an tibalah kami di Siberut, salah satu dari 4 Pulau besar di Mentawai; Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Sebelum berangkat ke Mentawai, teman Abah, Om Rino menghubungkan kami dengan Uni Desti, Kepala Dinas Pariwisata Mentawai. Kami kemudian janjian untuk bertemu di Siberut. Uni Desti dan stafnya sudah di dermaga ketika kami sampai. Setelah ngobrol sebentar, Uni Desti melanjutkan perjalanan dinasnya ke pedalaman Siberut. Kami menghabiskan dua ari berikutnya di Siberut dengan Bang Krisnando Sababalat dan Kak Yohana, staf Dinas Pariwisata Siberut.

Sore itu, setelah menyimpan tas di homestay Manai Koat, kami naik bentor ke Muntei. Bentor terhenti do tengah jalan karena jalan setapak beralaskan semen ini putus dan kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kami berjalan bersisian dengan sungai di antara ladang dan perumahan penduduk. Rumah-rumah tradisional masih banyak ditemui di Siberut ini dibanding di pulau-pulau lain di Mentawai. Sekitar 10 menit berjalan, kami tiba di Uma Mamboroigok, Muntei.

Uma adalah rumah tradisional, dalam artian lebih luas Uma bisa berfungsi seperti rumah gadang, pusat aktivitas dan berkumpulnya sebuah keluarga besar atau suku. Uma juga merupakan identitas baik secara sosial maupun spiritual dan jatidiri masyarakat Mentawai. Secara konstruksi, uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.

Kami beruntung, Sikerei Lala pemilik Uma sedang di rumah. Sikerei bisa artikan sebagai pempin adat dan spiritual bagi suku Mentawai. Sikerei juga berfungsi sebagai penghubung arwah juga tabib.

Sikerei Lala berusia 70 tahun, di sebelah dalam tas pinggang kulit modernnya, beliau menggunakan kabit, semacam cawat kain, yang berlapis dengan kain lain terbuat dari kulit kayu. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, kami duduk dan mulai mengobrol dengan Sikerei.

Suara lantang dan lelucon Sikerei membuat semarak suasana. Sabiya dan Hakim juga banyak bertanya. Sabiya tanya apakah Sikerei dan warga dusun ikut nyoblos ketika Pemilu, dijawab ya oleh Sikerei. Hakim lebih fokus pada aktivitas berburu dan tengkorak hewan yang bergelantungan di beberapa bagian Uma. Banyak sekali mutiara kearifan lokal yang kami dapat dari Sikerei.

1. Mengenai mempertahankan adat dan budaya: Golok dan perkakas lain bisa dibeli di kedai, tapi adat istiadat dan tradisi hanya bisa dibawa oleh badan/manusianya.

2. Mengenai tanah dan hutan: Uang 1 milyar bisa habis sebentar saja, tapi tanah dan hutan bisa diturunkan hingga anak cucu.

3. Mengenai kebanggan orang Mentawai : bekerja dan tidak berpangku tangan, memiliki rumah dan tanah sendiri. Menghasilkan sesuatu bagi keluarga dan masyarakat, baik berupa barang maupun karya berupa seni dan budaya. Hidup rukun dan damai dengan alam dan manusianya adalah nilai penting bagi Masyarakat Mentawai.

4. Hutan adalah hidup bagi Suku Mentawai. Untuk menebang pohon sekalipun ada ritual khusus sebagai simbol meminta izin pada Yang Pencipta. Mengambil seperlunya dari alam, tidak merusak, tidak berlebihan, senantiasa selaras dan seimbang.

Sikerei Lala juga cerita salah satu tantangan terbesar Suku Mentawai adalah ketika orang dari luar Mentawai menerapkan nilai dan standarnya pada mereka. Sikerei yang pernah melanglangbuana hingga ke Jerman ini, pernah dilarang masuk sebuah kantor pemerintah di Jakarta gara-gara beliau tidak bersepatu. Saat itu, Sikerei yang selalu nyeker kemana-mana, memakai sendal jepit demi menghargai instansi yang mengundang beliau. Sebuah bentuk toleransi dari Sikerei karena bagi masyarakat Mentawai menghormati seseorang tidak ditentukan dari alas kaki apa yang mereka pakai.

Karena keahlian menyanyi dan menari beliau, Sikerei Lala banyak diundang untuk menjadi duta budaya. Ketika ditanya tempat yang paling berkesan yang pernah dikunjungi, beliau menjawab Bali, ketika ditanya kenapa, beliau seperti berpikir keras kami pun mendengar serius, dan tiba-tiba dengan nyengir lebar beliau menjawab dengan terkekeh, karena banyak perempuan cantik😁.

Sikerei menutup obrolan dengan nyanyian tradisional Mentawai yang kami nggak tau apa artinya, yang jelas suara Sikerei lantang dan merdu.

Setelah makan malam, kami kembali ke Muntei untuk menyaksikan tarian dan nyanyian tradisional Mentawai. Begitu tiba di sanggar, sudah ada beberapa anak perempuan berusia 9-12thn berkain merah dengan hiasan manik dan bunga dan daun segar di kepala, leher dan lengannya. Anak laki-lakinya berkabit juga dengan hiasan manik dan tumbuhan.

Di sebelah sanggar nampak beberapa bapak sedang mengerumuni api unggun. Rupanya mereka tengah memanaskan semacam kendang, kulitnya berasal dari kulit ular dan badan kendangnya langsing terbuat dari batang enau. Alat musik ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi non verbal bagi seluruh warga dusun. Setiap bunyi-bunyian memiliki artinya masing-masing.

Ada 2 tarian modern dan dua tarian tradisional dibawakan malam itu. Tarian atau turuk dalam bahasa Mentawai merupakan deskripsi dari kehidupan sehari-hari atau tingkah laku hewa-hewan di alam, burung, monyet dll. Sikerei menutup pertunjukan dengan menari dan menyanyi bersama anak-anak. Begitulah ilmu diturunkan di Mentawai. Karena tidak mengenal tulisan, semua kepandaian diturunkan dengan cara dicontohkan.

#unlockingindonesiatreasure

22 September

Semalam kami tiba lagi di Padang dan paginya ketemu dengan temennya Abah, Om Rino dan mengantar pakaian kotor ke laundry.

Petang kami tiba di Pariaman. Setelah singgah sebentar di pasar, kami putuskan mencari keluarga Ambu. Satu-satunya informasi pasti yang kami punya adalah nama dusunnya yaitu Limau Hantu. Alhamdulilah ada dalam google map. Menurut informasi dari Tante Nur di Jakarta, mendekati desa nanti kami akan menemui Simpang Aru lalu belok kiri dan seterusnya. Sampai di Limau Hantu, kami memang ketemu sebuah persimpangan tapi tidak ada satupun papan informasi yang menyebutkan nama simpang tsb. Akhirnya kami tanya orang-orang yang sedang duduk di warung tidak jauh dari simpang tadi. Qadarullah, salah satu Bapak adalah juga kerabat dan tentu saja beliau kenal dengan sepupu 2x saya, Uni Liana. Esok paginya Uni Liana dan suaminya mengajak kami menyusuri dusun, berziarah ke kubur saudara saudari Atok dan mengunjungi tapak rumah gadang. Rumah gadangnya sudah berganti menjadi rumah modern dan tidak lagi beratap gonjong. Rumah gadang lama hanya tinggal patoknya saja.

Atok saya Sidi Silin, mulai merantau ketika usianya masih belia. Beliau merantau hingga ke negri seberang, Terengganu Malaysia. Di situ, beliau berjumpa nenek saya, Tengku Hindun dan menikah. Kemudian mereka merantau lagi ke Tarempa, Natuna Kepulauan Riau. Sebelas orang anaknya, yang nomor empat ibu saya.
Seperti akar batang yang sudah berkelindan dan jauh dari pohon asalnya, hari ini saya menemukan salah satu ‘pohon’ asal saya.

Siang harinya kami ke Pariaman kota untuk menyaksikan pesta tabuik. Festival Tabuik merupakan salah satu tradisi tahunan di dalam masyarakat Pariaman. Festival ini telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan diperkirakan telah ada sejak abad ke-19 masehi. Perhelatan tabuik merupakan bagian dari peringatan hari wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, yaitu Hussein bin Ali yang jatuh pada tanggal 10 Muharram. Sejarah mencatat, Hussein beserta keluarganya wafat dalam perang di padang Karbala.

Tabuik sendiri diambil dari bahasa arab ‘tabut’ yang bermakna peti kayu. Nama tersebut mengacu pada legenda tentang kemunculan makhluk berwujud kuda bersayap dan berkepala manusia yang disebut buraq. Legenda tersebut mengisahkan bahwa setelah wafatnya sang cucu Nabi, kotak kayu berisi potongan jenazah Hussein diterbangkan ke langit oleh buraq. Berdasarkan legenda inilah, setiap tahun masyarakat Pariaman membuat tiruan dari buraq yang sedang mengusung tabut di punggungnya.

Menurut kisah yang diterima masyarakat secara turun temurun, ritual ini diperkirakan muncul di Pariaman sekitar tahun 1826-1828 Masehi. Tabuik pada masa itu masih kental dengan pengaruh dari timur tengah yang dibawa oleh masyarakat keturunan India penganut Syiah. Pada tahun 1910, muncul kesepakatan antar nagari untuk menyesuaikan perayaan Tabuik dengan adat istiadat Minangkabau, sehingga berkembang menjadi seperti yang ada saat ini.

Jutaan orang tumpah ruah di Pantai Gondoria, tempat perayaan Tabuik dilaksanakan.

21 September petang

Selesai makan dengan ikan tuna panggang segar tangkapan hari yang sama, kami bergegas membuntuti Angga dengan motornya ke Desa Bayang masih di Kabupaten Pesisir Selatan. Mau lihat apa? Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca artikel mengenai jembatan hidup terbuat dari pohon di India sana. Saya nggak nyangka, ternyata ada lho jembatan yang sama di Sumatera Barat (kemane aje😁). Didirikan oleh seorang ulama bernama Pakiah Sokan. Guna jembatan adalah untuk mempererat tali silaturahmi kedua desa di masing-masing sisi sungai. Juga menambah ilmu pendidikan terutama agama. Hari ini, kedua fungsi ini sudah digantikan oleh smartphone😁😋.

Jembatan ini mulai dibuat tahun 1890 dengan kontruksi awal bambu, kemudian lama kelamaan bambunya lapuk, digantikan oleh akar batang pohon yang sudah berkelindan 26 tahun kemudian. Jadi jembatan akar ini baru utuh menjadi jembatan akar di tahun 1916. Selain cantik dan unik, pohon ini sudah berumur lebih dari 100 tahun! Panjangnya 25 m dengan lebar sekitar 1.5 m. Tingginya dari sungai sekitar 10 m. Aliran sungai di bawahnya deras sekali. Pemerintah sudah membuat sling tambahan guna melestarikan pohon jembatan ini.

21 September

Hari ke 18 atau tanggal 20 September kami habiskan di Padang. Paginya ada beberapa wartawan lokal dan kontributor RCTI Padang yang mewawancarai kami. Siangnya kami survey ke pelabuhan untuk mencari informasi mengenai penyebrangan ke Mentawai nanti. Petangnya kami ke Mandeh. Sekitar 2 jam-an dari Padang. Sampai di Mandeh hari sudah hampir gelap, matahari sedang menuju tenggelam dan kami sempet melihatnya di ketinggian Puncak Mandeh.

Melihat dan memandang gugusan bukit yang muncul dari laut, tidak heran orang menjuluki Mandeh sebagai Raja Ampatnya Sumatera. Mandeh pasti punya keistimewaan dan keunikan tersendiri yang mungkin tidak dimiliki oleh tempat manapun di dunia ini. Di tengah jalan, kami ketemu dengan dua remaja yang sengaja berhenti dan menyapa kami. Mereka pernah melihat profil Keluarga kami di media sosial☺️. Karena kebaikan mereka, kami dapat tempat parkir yang aman dan nyaman malam itu. Kami parkir di Kompleks Perikanan Mandeh. Besoknya petualangan di Mandeh dimulai dengan snorkeling di Pulau Cubadak. Alhamdulilah kami ditemani oleh Angga, mahasiswa Perikanan Universitas Bung Hatta. Beliau jadi pengemudi kapal sekaligus pemandu kami hari itu. Ikan di sekitar Pulau Cubadak, buanyaaaaaak dan beragam jenisnya, walaupun terumbu karangnya sudah mati. Menurut Angga, matinya terumbu karang akibat sedimentasi yang berlebihan yang berasal dari pembangunan jalan di Mandeh.

Tujuan selanjutnya adalah Pulau Sultan, lalu mengunjungi rumah terapung tempat kapal karam di kedalaman 20 m di bawahnya. Kapal ini milik Belanda yang ditembak tahun 1942 oleh Jepang dari udara. Panjangnya 72 m. Tempat ini adalah salah satu tujuan para penyelam. Selanjutnya anak-anak belajar mengenai hutan mangrove sambil menyusurinya. Perairan selebar kurang lebih 5 meter, diapit hutan bakau di kanan kirinya. Airnya tenang kehijauan, berbagai jenis ikan tampak berenang di tepiannya. Selain sebagai penahan abrasi, hutan mangrove sangat penting bagi ekosistem pantai; tempat ikan bertelur, rumah bagi burung, reptil dll.

Di ujung hutan mangrove kami disambut Sungai Gemuruh, air terjun yang mengalir di permukaan batu. Sumbernya dari hutan di atas bukit. Airnya segar. Kami membilas pakaian dan alat snorkeling di sini. Segelas kopi dan bakwan hangat yang disajikan warung di tepi sungai menemani menunggu pakaian dan alat snorkeling kering, sebelum kembali ke pelabuhan.

19 September

Dari Kayu Aro, perjalanan dilanjutkan ke Muara Labuh. Tepatnya di Kawasan Saribu Rumah Gadang. Alhamdulilah, melalui instagram kami ditawari oleh Pak Rezha untuk menginap di rumah gadang keluarganya yang juga berfungsi sebagai homestay. Kami tiba malam hari setelah Maghrib, karena ukuran mobil yang terlalu besar untuk jalan masuknya, kami sempat berputar-putar. Berkat bantuan suami Bu Ita, penjaga homestay, kami akhirnya bisa parkir. Beliau membantu mengangkat dan meninggikan kabel-kabel yang melintang di jalan supaya truk kami bisa lewat.

Kami disambut dengan sangat baik oleh Bu Ita sekeluarga, suami dan kedua anaknya ngobrol bersama kami malam itu. Banyak sekali informasi dari suami Bu Ita. Menurut beliau, rumah gadang di kawasan ini berjumlah sekitar 200an dan yang masih dalam kondisi relatif baik berkisar 120an buah saja.
Kayu tiang rumah gadang asli konon lebih keras dari kayu besi, kayu juwow namanya. Pohonnya masih ada, akan tetapi masih kecil dan belum cukup untuk dibuat tiang rumah. Jadi rumah-rumah gadang itu tidak lagi ada yang bertiang kayu juwow.

Alas tiangnya pun unik, sama seperti rumah adat sama di Lampung dan Bengkulu; disangga oleh batu berbentuk tertentu, bulat dan agak pipih, sehingga relatif tahan getaran/gempa. Selain itu, alas batu juga mencegah pelapukan oleh lembabnya tanah dan serangga.

Rata-rata rumah sudah berusia ratusan tahun, yang tertua didirikan tahun 1700an. Salah satu yang terkenal adalah Rumah Gadang Gajah Maram, mungkin karena salah satu yang tertua dan masih relatif terawat. Rumah Gadang ini berdiri pada tahun 1794 yang dipimpin oleh Rapun Datuak Lelo Panjang yang membawahi suku kaum melayu. Di Rumah Gadang ini terdapat dua pintu masuk dan terdiri dari 9 ruang dan memiliki 2 anjuang. Konon menurut cerita Rumah Gadang ini memiki Aguang (Gong), apabila ada alek elok atau alek buruak Aguang ini akan mengeluarkan suara yang bunyinya terdengar sampai ke Nagari Pasie talang, akan tetapi masyarakat disekitar Rumah Gadang ini tidak mendengarkan apa-apa. Aguang ini tidak dapat terlihat secara kasat mata Yang memellhara Rumah Gadang ini adalah generasi ke 5 yang dipimpin oleh datuak Azhar Datuak Lelo Panjang.

Mesjid di kawasan ini puncaknya tidak berbentuk kubah bawang seperti mesjid pada umumnya, melainkan berbentuk rumah gadang, namanya Mesjid Raya Koto Baru. Dibangun tahun 1922 dengan swadaya masyarakat, kegiatan shalat Jum’at di Masjid Raya Koto Baru dimulai semenjak tahun 1935. Tiang yang lima dalan masjid melambangkan Rukun Islam yang lima, puncak yang tinggi dan gonjong yang empat melambangkan Urang nan Ampek Jinih (Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak pandai, serta Bundo Kanduang) dibawah Panji Alam Minang Kabau.

#unlockingindonesiatreasure

Tanggal 17 September

Selesai rafting, dalam keadaan separuh basah kami naik truk dan memulai perjalanan menuju ke Sungai Penuh. Pamandangan sepanjang Bangko-Sungai Penuh juga menakjubkan. Jalan bersisian dengan Sungai Merangin dipisahkan jurang dan lembah berbukit yang cantik. Semakin mendekat ke Danau Kerinci, morphology mulai datar, sehingga sungai tidak lagi berkelok-kelok dan berarus, melainkan relatif lurus dan tenang.

Di Sungai Penuh tepatnya di tepi Danau Kerinci, kami sudah ditunggu oleh Family Hikers, sebuah kumpulan keluarga penggemar outdoor. Begitu sampai, mereka langsung menggelar kursi, meja dan peralatan masak! Jadilah malam itu kami makan pempek hangat, telur dadar, mie rebus, kari kambing ditemani teh telur sebagai hidangan penutup istimewa. Makan malam yang akrab dan menyenangkan. Terimakasih sudah menerima kami layaknya keluarga.

Esok paginya setelah sarapan dan berpamitan pada beberapa anggota Family Hikers, kami lanjut ke Kayu Aro. Kami sudah diberitahu jika pemandangan menuju Kayu Aro itu bagus. Ketika kami lewat area yang dimaksud, ternyata bagus sekali! Perkebunan Teh Kayu Aro adalah yang tertua di Indonesia. Sebelum menanam teh di Pulau Jawa, Belanda mulai memanam teh di Jambi tahun 1925. Rumah-rumah peninggalan pekerja perkebunan jaman Belanda masih asri terawat berbaris rapi di pinggir jalan. Pekarangannya luas, tertata rapi, semarak ditumbuhi aneka bunga.

Perkebunan ini berada di ketinggian 1600m dpl, kedua tertinggi di dunia setelah Perkebunan Teh Darjeeling di Himalaya (4000m dpl).

Perkebunan ini juga pernghasil salah satu teh hitam terbaik di dunia.
Proses pengelolaan daun teh di Perkebunan Teh Kayu Aro sampai saat ini masih menggunakan cara konvensional. Serbuk-serbuk teh tidak menggunakan bahan pengawet atau bahan pewarna tambahan. Untuk lebih menjaga kualitas teh hitam terbaiknya, pekerja dilarang untuk menggunakan kosmetik ketika mengolah teh.
Tahun 1959, melalui PP No 19 Tahun 1959 perkebunan ini diambil alih Pemerintah Republik Indonesia pengawasan dan pengelolaannya dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI). PTPN VI hingga kini yang melakukan perawatan, pemeliharaan tanaman, pemetikan pucuk teh, pengolahan di pabrik, sampai pengemasan dan pengeksporan ke berbagai negara.
Setiap tahun, Perkebunan Teh Kayu Aro dapat menghasilkan rata-rata 5.500 ton teh hitam. Teh artodox grade satu (teh unggulan) ini diekspor ke Eropa, Rusia, Timur Tengah, Amerika Serikat, Asia Tengah, Pakistan, dan Asia Tenggara.

Setelah kira-kira 30 menit menikmati hijau kebun teh, kami tiba di Desa Palumpek, gerbang menuju Rawa Bento. Rawa Bento kami pilih dari sekian banyak tujuan wisata di Kerinci karena aksesnya relatif mudah, juga wisata rawa termasuk langka. Kami ingin mencicipi bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat ini. Terus terang, mungkin ini salah satu tempat favorit saya setelah 16 hari bertualang. Saya tidak menyangka, rawa bisa secantik ini. Air yang kami susuri tenang, eceng gondok memenuhi tepiannya. Dataran rawa yang mengering di beberapa tempat sudah rimbun menyerupai hutan. Batang-batang pohonnya ada yang menjorok ke air. Kerbau sengaja dilepas bebas merumput di sini.

Sementara di bagian rawa yang masih lapang, nampak barisan pegunungan di latarnya. Gunung Kerinci tertutup awan. Barisan Gunung 7 yang masih keliatan.

Rawa ini sebetulnya adalah danau yang mengalaminya pendangkalan akibat sedimentasi aliran sungai di sekitarnya. Rawa di ketinggian 1300an m dpl dengan luas kurang lebih 1000 Ha. Rawa ini dominan tertutup rumput bento, dari situlah dia mendapatkan namanya. Rumah bagi beberapa jenis burung seperti burung jernih, burung layang-layang dan putih, bebek liar dan lain sebagainya. Juga habitat bagi ikan semah (Tor sp.) sama seperti ikan di Sungai Merangin, ikan pareh (Tor tambroides), ikan saluang (Rasbora lateristriata) dan belut (Monopterus albus).

#unlockingindonesiatreasure

17 September

Merangin Geopark adalah tempat yang selalu kami sebut-sebut berbulan sebelum perjalanan dimulai. Saya asyik membayangkan serunya menikmati sungai dengan fosil di tepiannya. Ternyata kenyataanya jauh lebih seru!

Pagi hari di Mesjid Agung Bangko, setelah mengangkat jack stand dan berkemas, kami ke Pasar Atas untuk sarapan. Pak Jabal, petugas dari Organizer Arung Jeram di Merangin akan menemui kami di situ. Perjalanan ke Merangin ditempuh dalam 1 jam. Begitu keluar dari jalan utama, jalanan mengecil dan masih berupa kerikil. Sesampainya di markas arung jeram, kami dibekali jaket pelampung dan helm serta plastik dan karet untuk handphone 😁.

Titik startnya dekat saja. Kami diajak pemanasan, berdoa dan membasuh muka dengan air sungai sebelum mulai. Di 15 menit pertama air masih tenang. Karena kemarau, air relatif surut dan bersahabat. Tak lama, pemandu bilang di depan adalah Jeram Amin. Arus air sungai semakin deras. Kedua pemandu di depan perahu mengambil posisi siaga dan dayung dikayuh lebih cepat. Tak lama, di hadapan perahu nampak jeram berupa turunan kurang lebih 1 meter tingginya, suara air berdebur kian keras. Pemandu perahu semakin kuat mendayung, perahu seperti tersedot ke tepi jeram dan tiba-tiba perahu seperti terjungkal ke depan, jatuh terhempas ke dalam jeram. Air tumpah ruah masuk ke perahu. Perahu berayun keras, berputar. Pemandu semakin kuat mendayung, cepat seperti kesetanan. Belakangan kami diberitahu begitulah teknik mendayung di dalam jeram, menahan perahu supaya tidak terjungal ke belakang, maka bagian depan harus mendayung kuat-kuat supaya perahu segera maju dan menghindari jeram di belakangnya. Tak lama air kembali tenang. Masih ada beberapa jeram lagi di depan, tapi Jeram Amin lah yang paling menegangkan.

Fosil pertama yang kami kunjungi adalah fosil pohon Araucarioxylon lengkap dengan akarnya yang berusia 300 juta tahun, lebih tua dari Dinosaurus! Fosil ini yang tertua di Asia.

Fosil berikutnya adalah fosil kerang yang tercetak di batuan lava sedimen yang berasal dari gunung api purba.

Ada juga fosil seperti kulit reptil yang tersebar di beberapa batuan di sebuah lokasi. Mungkin ini sekumpulan reptil yang sedang berjemur kemudian tiba-tiba entah banjir bandang atau apa menimpa mereka, sehingga terjebak dalam lumpur hingga berjuta-juta tahun kemudian bertemu kami di sini. Saya belum menemukan satu catatan pun mengenai fosil-fosil yang mirip kulit reptil ini.

Di tengah perjalanan kami singgah di Air Terjun Muara Karing, air terjun cantik di atas batuan dengan kemiringan landai.

Formasi batuan di Merangin ini disebut Mengkarang formation berumur Permian Paleozoic, sekitar 300jt tahun, dan lebih tua dari Sumatera Basin.

Tak terasa jarak 13km selesai dalam 3 jam. Ini adalah geological field trip pertama Hakim dan Sabiya. Mereka excited melihat fosil di tempat aslinya, bukan di museum.

#unlockingindonesiatreasure

Jadi hari ke 13, tanggal 15 September lalu kami meninggalkan Kota Bengkulu menuju Curup. Kota sejuk sekitar 2 jam ke arah Timur Laut Bengkulu. Curup penghasil beras, sayur-sayuran dan kopi. Pemandangan perbukitannya indah adem seperti di Lembang, Bandung; kebun sayur dan kebun bunga . Curup adalah tempat transit sebelum kami lanjut ke Bangko, Jambi.

Kami parkir dan bermalam di Mesjid Agung Curup. Ketika sholat Maghrib kami bertemu sepasang suami istri dan puteranya. Ngobrol-ngobrol sebentar, kami diundang ke rumahnya tak jauh dari mesjid. Dari ngobrol-ngobrol kami tahu bahwa putera-puteri beliau berdua sedang mondok di sebuah pesantren tahfiz di Lampung. Setelah sekitar 1 jam kemudian pun pamit. Belakangan kami tahu dari saudaranya bahwa puteri beliau berdua sudah hafal 30 juz Al Quran, ditawari beasiswa ke Mesir dan sedang berencana membangun sekolah Tahfiz gratis di kotanya. Dan semua informasi keren ini tidak sedikit pun keluar dari mulut beliau berdua ketika kami ngobrol. Humbleness tingkat dewa. Semoga keluarga mereka senantiasa diberkahi oleh Allah SWT, tercapai semua cita-cita luhurnya. Amiin yra.

Pagi dini hari kami bersiap untuk berangkat ke Bangko, pintu gerbang menuju Merangin Geopark UNESCO. Untuk itu kami melintas 3 provinsi; Bengkulu, Sumatera Selatan kemudian Jambi. Menurut informasi dari kawan-kawan yang kami temui di perjalanan, jalanan di beberapa ruas tidak aman. Ada begal dan perampok yang tidak segan beraksi di siang hari. Kami juga dianjurkan untuk mengambil jalan memutar menyusuri pesisir Barat Sumatera yang artinya perlu 4 hari untuk sampai di Bangko. Rapat keluarga memutuskan untuk mengambil jalan Lintas Tengah Sumatera tentunya dengan persiapan matang untuk menghadapi resiko tadi. Truk bergerak keluar dari pekarangan masjid tepat pukul 7 pagi. Alhamdulilah tiba di Bangko pukul 1 siang tanpa hambatan apapun.