Selasa 25 September
Azan Subuh dari Mesjid Ar Rahman di parkiran hotel Bumi Minang Kyriad, Padang, membangunkan kami berempat. Bergegas sholat kemudian mandi di dalam mobil. Tepat pukul 6.30 taxi online menjemput dan mengantar kami ke Pelabuhan Muaro untuk menumpang Mentawai Fast, ferry yang akan mengantar kami ke Pulau Siberut pukul 7.
Sekitar pukul 10.30 ferry singgah sekitar 1.5 jam di Pulau Sikabaluan. Pukul 12 tepat, ferry bergerak kembali ke Siberut. Sekitar jam 1.30an tibalah kami di Siberut, salah satu dari 4 Pulau besar di Mentawai; Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Sebelum berangkat ke Mentawai, teman Abah, Om Rino menghubungkan kami dengan Uni Desti, Kepala Dinas Pariwisata Mentawai. Kami kemudian janjian untuk bertemu di Siberut. Uni Desti dan stafnya sudah di dermaga ketika kami sampai. Setelah ngobrol sebentar, Uni Desti melanjutkan perjalanan dinasnya ke pedalaman Siberut. Kami menghabiskan dua ari berikutnya di Siberut dengan Bang Krisnando Sababalat dan Kak Yohana, staf Dinas Pariwisata Siberut.
Sore itu, setelah menyimpan tas di homestay Manai Koat, kami naik bentor ke Muntei. Bentor terhenti do tengah jalan karena jalan setapak beralaskan semen ini putus dan kami lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Kami berjalan bersisian dengan sungai di antara ladang dan perumahan penduduk. Rumah-rumah tradisional masih banyak ditemui di Siberut ini dibanding di pulau-pulau lain di Mentawai. Sekitar 10 menit berjalan, kami tiba di Uma Mamboroigok, Muntei.

Uma adalah rumah tradisional, dalam artian lebih luas Uma bisa berfungsi seperti rumah gadang, pusat aktivitas dan berkumpulnya sebuah keluarga besar atau suku. Uma juga merupakan identitas baik secara sosial maupun spiritual dan jatidiri masyarakat Mentawai. Secara konstruksi, uma ini dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu serta sistem sambungan silang bertakik.
Kami beruntung, Sikerei Lala pemilik Uma sedang di rumah. Sikerei bisa artikan sebagai pempin adat dan spiritual bagi suku Mentawai. Sikerei juga berfungsi sebagai penghubung arwah juga tabib.
Sikerei Lala berusia 70 tahun, di sebelah dalam tas pinggang kulit modernnya, beliau menggunakan kabit, semacam cawat kain, yang berlapis dengan kain lain terbuat dari kulit kayu. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, kami duduk dan mulai mengobrol dengan Sikerei.

Suara lantang dan lelucon Sikerei membuat semarak suasana. Sabiya dan Hakim juga banyak bertanya. Sabiya tanya apakah Sikerei dan warga dusun ikut nyoblos ketika Pemilu, dijawab ya oleh Sikerei. Hakim lebih fokus pada aktivitas berburu dan tengkorak hewan yang bergelantungan di beberapa bagian Uma. Banyak sekali mutiara kearifan lokal yang kami dapat dari Sikerei.
1. Mengenai mempertahankan adat dan budaya: Golok dan perkakas lain bisa dibeli di kedai, tapi adat istiadat dan tradisi hanya bisa dibawa oleh badan/manusianya.
2. Mengenai tanah dan hutan: Uang 1 milyar bisa habis sebentar saja, tapi tanah dan hutan bisa diturunkan hingga anak cucu.
3. Mengenai kebanggan orang Mentawai : bekerja dan tidak berpangku tangan, memiliki rumah dan tanah sendiri. Menghasilkan sesuatu bagi keluarga dan masyarakat, baik berupa barang maupun karya berupa seni dan budaya. Hidup rukun dan damai dengan alam dan manusianya adalah nilai penting bagi Masyarakat Mentawai.
4. Hutan adalah hidup bagi Suku Mentawai. Untuk menebang pohon sekalipun ada ritual khusus sebagai simbol meminta izin pada Yang Pencipta. Mengambil seperlunya dari alam, tidak merusak, tidak berlebihan, senantiasa selaras dan seimbang.
Sikerei Lala juga cerita salah satu tantangan terbesar Suku Mentawai adalah ketika orang dari luar Mentawai menerapkan nilai dan standarnya pada mereka. Sikerei yang pernah melanglangbuana hingga ke Jerman ini, pernah dilarang masuk sebuah kantor pemerintah di Jakarta gara-gara beliau tidak bersepatu. Saat itu, Sikerei yang selalu nyeker kemana-mana, memakai sendal jepit demi menghargai instansi yang mengundang beliau. Sebuah bentuk toleransi dari Sikerei karena bagi masyarakat Mentawai menghormati seseorang tidak ditentukan dari alas kaki apa yang mereka pakai.
Karena keahlian menyanyi dan menari beliau, Sikerei Lala banyak diundang untuk menjadi duta budaya. Ketika ditanya tempat yang paling berkesan yang pernah dikunjungi, beliau menjawab Bali, ketika ditanya kenapa, beliau seperti berpikir keras kami pun mendengar serius, dan tiba-tiba dengan nyengir lebar beliau menjawab dengan terkekeh, karena banyak perempuan cantik😁.
Sikerei menutup obrolan dengan nyanyian tradisional Mentawai yang kami nggak tau apa artinya, yang jelas suara Sikerei lantang dan merdu.

Setelah makan malam, kami kembali ke Muntei untuk menyaksikan tarian dan nyanyian tradisional Mentawai. Begitu tiba di sanggar, sudah ada beberapa anak perempuan berusia 9-12thn berkain merah dengan hiasan manik dan bunga dan daun segar di kepala, leher dan lengannya. Anak laki-lakinya berkabit juga dengan hiasan manik dan tumbuhan.

Di sebelah sanggar nampak beberapa bapak sedang mengerumuni api unggun. Rupanya mereka tengah memanaskan semacam kendang, kulitnya berasal dari kulit ular dan badan kendangnya langsing terbuat dari batang enau. Alat musik ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi non verbal bagi seluruh warga dusun. Setiap bunyi-bunyian memiliki artinya masing-masing.

Ada 2 tarian modern dan dua tarian tradisional dibawakan malam itu. Tarian atau turuk dalam bahasa Mentawai merupakan deskripsi dari kehidupan sehari-hari atau tingkah laku hewa-hewan di alam, burung, monyet dll. Sikerei menutup pertunjukan dengan menari dan menyanyi bersama anak-anak. Begitulah ilmu diturunkan di Mentawai. Karena tidak mengenal tulisan, semua kepandaian diturunkan dengan cara dicontohkan.

#unlockingindonesiatreasure